Selasa, 17 Juli 2012

MAULID NABI DALAM LINTASAN SEJARAH


Sejarah Tradisi Perayaan Maulid Nabi

Kata sejarah berasal dari bahasa Arab,  yaitu syajaratun yang berarti pohon, artinya sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau lebih maju. Arti sejarah dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah mengandung tiga pengertian sebagai berikut:
1.        Sejarah berarti silsilah atau asal usul.
2.        Sejarah berarti kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
3.        Sejarah berarti ilmu, pengetahuan, cerita pelajaran tentang kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
Ibnu Khaldun  (1332-1406) mendefinisikan sejarah  sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban manusia yang terjadi pada watak atau sifat masyarakat itu.
Kita mengatakan perayaan Maulid Nabi adalah bagian dari tradisi umat islam karena Maulid Nabi hanyalah sebagai salah satu tradisi dan kebudayaan umat Islam sejak masa lalu dan bukan bagian agama (syari’at) sebuah kegiatan yang bertujuan menyemarakkan syiar dakwah agama, bukan perayaan yang bersifat ritual,  maka perayaaan Maulid Nabi SAW dikatagorikan sebagai kebudayaan Islam yang merupakan hasil kreasi umat Islam yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri dan bertujuan untuk mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Allah SWT karena Dia telah menurunkan hamba-Nya Muhammad sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam.
Dalam bahasan ini nanti kita berusaha untuk merekonstruksi sejarah tradisi perayaan Maulid Nabi ini dengan membuktikan siapa yang pertama kali mencetuskan dan mengadakan perayaan Maulid dengan menggunakan banyak sumber literatur sejarah  untuk membuktikan kevalidan sejarah tersebut. Sebab banyak sekali perdebatan mengenai tradisi Maulid telah mengemuka sejak dulu sampai saat ini. Perdebatan ini bisa dibaca dari banyaknya karya para ulama baik sejarawan barat ataupun sejarawan muslim  yang meneliti tentang awal mula tradisi Maulid Nabi  ini. Diantaranya kitab-kitab yang menjadi sumber utama studi literatur dalam buku kita ini adalah : Pertama “Tarikh al Ihtifal Bil Maulid Annabawi Min Ashril Islam” karangan Prof Hasan Sanduby diterbitkan di Cairo tahun 1948. Kedua “The Birth of the Prophet Muhammad: Devotional Piety in Sunni Islam”. Karangan Prof Dr.Marion Holmes Katz diterbitkan di New York tahun 2007. Ketiga “Muhammad's Birthday Festival: Early history in the Central Muslim Lands and Development in the Muslim West until the 10th/16th Century”. Karangan N.J.G. Kaptein diterbitkan di Leiden tahun 1993.
Tidak tercatat dalam kitab-kitab sejarah Islam informasi adanya Perayaan Maulid Nabi pada masa beliau hidup seperti yang kita rayakan saat ini. Nabi  hanya mengisyaratkan dalam sebuah haditsnya  yang diriwayatkan dalam kitab Sahih Muslim, Kitab As-siyam, bahwa Nabi ditanya tentang puasa hari senin, dan ia menjawab: ". Itu adalah hari aku dilahirkan dan itu adalah hari saya menerima wahyu kenabian".

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka  demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut  untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya bukan pada harinya[1]  maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini juga ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan  melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca Al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini? Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini? Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung daripada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan? Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam syarah hadits ini
Adapun hadits-hadis yang menceritakan secara khusus adanya anjuran perayaan Maulid Nabi di saat beliau hidup yang sering dalam pengajian-pengajian maulid, para muballigh sering ceritakan misalnya adalah:
"Barangsiapa mengagungkan hari kelahiranku, maka kelak ia akan tinggal di surga bersamaku”.
atau 'hadits' lain seperti, "Barang­siapa mendermakan satu dirham untuk merayakan hari kelahiranku maka tak ubahnya ia mendermakan emas sebesar Gunung Uhud," dan lain sebagainya. 
'Hadits-hadits' ini dalam kitab-kitab kompilasi Hadits shahih (kitab-kitab mu’tabar yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar rujukan Hadits) tidak pernah didapati.
Jadi kesimpulannya, pada zaman Nabi peringatan besar agama seperti perayaan Maulid Nabi ataupun peringatan hari besar lainnya yang biasa pada zaman sekarang disebut Perayaan Hari Besar Islam (PHBI) tidak pernah dilakukan. Perayaan Hari Raya resmi sebagaimana yang dilakukan pada zaman Nabi hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Kemudian pada periode khulafa rasyidin dalam perayaan hari-hari besarnya juga belum mengadakan perayaan Hari besar islam seperti Maulid Nabi dan sebagainya. Menurut Prof. Hasan Sandubi saat itu semangat spiritual umat Islam masih kokoh, pada periode ini  hal yang urgen adalah memperkokoh konsolidasi umat Islam  setelah ditinggal wafatnya Rosulullah sang pembawa risalah yang mulia dengan memerangi setiap pemberontakan-pemberontakan internal umat Islam, serta menetapkan praktek-praktek ritual keislaman yang masih sederhana agar lebih meresap dalam jiwa setiap umat islam, serta berjihad untuk menyebarkan ajaran ajaran  suci Islam  melalui penaklukkan-penaklukkan negara-negara sekitarnya .
B.                 Kontroversi Pencetus Perayaan Maulid Nabi
Sebenarnya banyak terjadi perbedaan pendapat sejarawan dalam menentukan siapa yang pertama kali  mengadakan acara perayaan Maulid Nabi. Bisa disimpulkan ada dua pendapat yang menengarai awal munculnya tradisi Maulid ini.
1.         Pendapat Pertama
Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi'i (854 H)[2] (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya "Al-Khutath" menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah[3] di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kapten peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University, sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber  sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari  ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun[4] dan Ibnu Tuwayr[5].
a.         Ibnu Al-Ma’mun
Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun.  Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[6], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi'i .
Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup  sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.
Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali[7] menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang.
b.         Ibn Al-Tuwayr
Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.
Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya.
2.         Pendapat kedua
Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi 'Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil[8] yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kaukabri ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H.
Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai  dilakukan pada permulaan abad ke 4 H  dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada bab hukum merayakan Maulid Nabi.

C.                Acara Maulid Nabi
maulid zaman fat
Ilustrasi sebuah acara keagamaan era fatimiyyah di Masid Al Azhar

Dalam bab ini, kami  akan mendeskripsikan secara detail acara Maulid sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Al-Ma'mun dan Ibnu Al-Tuwayr. Sebagaimana akan kami jelaskan bagaimana acara Maulid terkenal yang dilakukan oleh raja Irbil.

Perayaan Maulid Nabi yang diprakarsai oleh raja Al-Muiz Lidinillah selalu dibarengi dengan acara perayaan Maulid yang lain yaitu Maulid Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan imam yang sedang memerintah. Pihak pemerintah dinasti Fathimiyyah yang mengadakan dan membiayai semua acara peringatan Maulid Nabi.

Perayaan ini adalah hari besar Islam dan manjadi hari libur resmi negara. Perayaan ini didukung oleh seluruh elemen masyarakat Mesir untuk meramaikannya. Pemerintah membagi-bagikan sedekah kepada para fakir miskin dan membagikan hadiah pada masyarakat secara umum. Sebagaimana para pembesar negara dan tokoh masyarakat mengadakan jamuan-jamuan makan untuk merayakan maulid, para qori juga meramaikan maulid dengan tilawah Quran di masjid jami’, ribat[9] dan zawiyah[10] di semua pelosok daerah. Acara-acara diadakan untuk dzikir bersama dan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Itu adalah pemandangan yang sangat menarik pada zaman itu sebagaimana ide raja Muiz Lidinillah untuk mengadakan maulid kemudian diteruskan oleh raja-raja setelahnya.

Ibnu Tuwayr berkata: ”Pada saat 12 Rabiul awwal tiba Khalifah akan memberikan perintah untuk membagikan 20 qintar kue dan roti halawiyyat serta manis-manisan di Dar Fitrah dan ini ditempatkan pada 300 piring tembaga besar dalam rangka jamuan untuk maulid Nabi. Kemudian piring-piring besar tersebut dihidangkan untuk para pembesar-pembesar (rusum Arbab) dan para pegawai pemerintahan (rutab Arbab), dan setiap hidangan itu terus diisi dari qawara, dari mulai waktu shubuh sampai menjelang petang. Pembesar yang paling penting saat itu adalah kepala hakim (qodhil qudhot) kemudian para Da’i, para qori Al-Quran juga masuk di dalamnya para khotib, para guru dari masjid di Kairo dan para juru kunci makam Ahl bayt. Dan undangan ini terbatas pada mereka saja sesuai perintah yang dikeluarkan oleh majelis acara.

Istana khalifah tentu saja adalah tempat pusat  perayaan Maulid, dan hanya para tamu undangan yang bisa hadir. Perayaan Maulid dimulai dengan munculnya Khalifah dari jendela istana,  Dari paviliun acara maulid dimulai dengan sambutan Khalifah yang dibawakan oleh para pemuka kerajaan kemudian para qori membacakan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran, para Da’i dan Muballigh menyampaikan ceramah tabligh akbar yang mencakup banyak audiens, dan diakhiri dengan Khatib dari Masjid Azhar yang tentu saja pada waktu itu, adalah lambang dari lembaga dakwah dan keilmuan dinasti Fathimiyyah.

Juga sejumlah makanan yang dibagikan pada hari itu, terutama di sekitar makam Ahl bayt terkenal Kairo (orang yang dianggap sebagai keturunan Nabi) Perayaan-perayaan seperti ini juga terjadi misalnya pada perayaan hari besar Idul Fitri, Idul Adha, perayaan Layali al-wuqud[11] dan Ghadir Khum[12].
Kemudian pada tahun 487 H pada saat Al-Afdhal naik memerintah sebagai wazir yang sangat berpengaruh kekuasaannya, perayaan Maulid Nabi dan perayaan Maulid yang lainnya dihapuskan dan tidak diperingati lagi, Al-Afdhal ini meninggal pada tahun 515 H. Pada tahun 515 H dilantik Raja yang baru bergelar Al-Amir liah kamillah, dia menghidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut, begitulah seterusnya peringatan maulid Nabi Shallallahu `Alaihi Wasallam yang jatuh pada bulan Rabiul Awal diperingati dari tahun ke tahun hingga zaman sekarang dan meluas hampir ke seluruh dunia.
1.                  Perayaan Maulid Nabi Pada Masa Malik Muzhaffaruddin
Sepeninggal pemerintahan Fathimiyyah, Dinasti Ayyubiyah memelihara tradisi Maulid Nabi, walaupun mereka menghapuskan sebagian perayaan-perayaan lain yang dipraktekkan oleh dinasti  Fathimiyah.  Bahkan menurut Hasan Sandubi justru Sholahuddin menghapus seluruh perayaan Dinasti Fathimiyyah termasuk Maulid Nabi karena alasan politis jadi asumsi sebagian orang yang mengatakan bahwa Sholahuddin adalah yang pertamakali mengadakan perayaan Maulid Nabi adalah sama sekali tidak berlandaskan bukti yang valid. Sejarah hanya mencatat salah satu pembesar Dinasti Ayyubiyah yang memerintah Irbil yaitu Malik Muzhaffaruddin  Al-Kaukabri, pada tahun 630 Hijriyah mengadakan Maulid Nabi secara besar-besaran. Dia juga salah seorang kerabat Sholahudin Al-Ayubi, dimana ia menikahi Rabi’ah Khatun, adik Shalahudin Al-Ayubi karena kontribusinya yang besar dalam menegakkan pondasi dinasti Ayyubiyah, ia juga merupakan teman seperjuangan Shalahudin dalam melawan tentara Salib, terutama kecerdikannya dalam memenangkan peperangan Khittin melawan tentara Salib.
Ibn Katsir bercerita mengatakan: “Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampai Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu.
Menurut ibn khalikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya  Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik,  pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut.
Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi.
2.                  Tradisi Maulid Sepanjang Zaman
Abu’l Husayn Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Ibn Jubayr (540-614H) menceritakan dalam kitab Rihal  [13].
Maulid Nabi (tempat lahir dan rumahnya Nabi) pada setiap hari senin selama bulan Rabiul Awal dibuka untuk umum dan orang-orang Mekkah serta para jamaah umrah berduyun-duyun mendatanginya untuk mengambil berkah (tabarruk)”.
Abu Al-Abbas Ahmad Al-Azafi dalam kitabnya Ad-durr Al-Munazzam fi Al Mawlid Al-mu’azzam menceritakan  bahwa pada hari Maulid Nabi di kota  Mekkah saat itu dalam memperingati Maulid  pintu Ka’bah dibuka dan semua bentuk  transaksi jual-beli diliburkan, semua toko dan halaqah pengajian ditutup. Penduduk Mekkah dan para peziarah sibuk bergegas mengunjungi rumah kelahiran Nabi.
2120100
Gbr. 1. Ini adalah Foto tempat lahirnya Nabi yang saat ini oleh pemerintah Saudi Arabia dijadikan sebagai perpustakaan Mekkah Al-Mukarromah.
RT2
Gbr. 2. Foto Rumah kelahiran Nabi yang oleh ibu khalifah Harun Rasyid dijadikan masjid kemudian oleh pemerintah Saudi Arabia yang bermadzhab Wahabi dan tidak memperbolehkan Maulid Nabi dihancurkan dan dijadikan perpustakaan (lihat foto atas).
Pada malam Maulid Nabi, penduduk Mekkah memperingatinya dengan memasak makanan-makanan yang istimewa sebagaimana menyambut hari besar Islam Idul Fitri. Pemimpin Mekkah (syarif) segera memerintahkan para askar tentara untuk mendatangi tempat kelahiran Nabi dan melafalkan Qasidah maulid di sana. Deretan lilin dan lampu bersinar gemerlapan ditempatkan dari Masjidil Haram sampai rumah tempat lahir  Nabi. Toko dan rumah di jalan-jalan Mekkah juga dihiasi oleh berbagai macam pernak-pernik lampu. Perayaan acara Maulid Nabi dimulai setelah sholat Maghrib dengan membaca Qasidah Maulid di rumah tempat kelahiran Nabi.
Sejarawan terkenal Ibnu Bathuta menjelaskan dalam bukunya Rihla bahwa sejak masuk bulan Rabiul Awwal setiap jum’at setelah shalat pintu Ka’bah dibuka oleh pemimpim Bani Shayba petugas penjaga pintu Ka’bah dan pada tanggal 12 pemimpin Qodhi Najmuddin Muhammad ibn Imam Muhyiddin Al-Tabari membagi-bagikan makanan dan hadiah kepada para syurafa (keturunan Nabi) dan penduduk Mekkah secara umum[14].
Setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam rangka memperingati Maulid Nabi setelah sholat Maghrib keempat qodi Mekkah yang mewakili dari 4 madzhab termasuk diantaranya para ulama tokoh tokoh masyarakat Syeikh Zawiya dan para santrinya, ruasa (para fungsionaris pemerintahan) berduyun-duyun meninggalkan Masjid Haram dan mendatangi tempat kelahiran nabi untuk mengikuti acara perayaan Maulid mereka membaca dzikir dan membaca qosidah Maulid. Rumah-rumah dan jalan umum dihiasi oleh berbagai lentera, lampu dan lilin-lilin besar para penduduk Mekkah menggunakan pakaian istimewa dan mengajak anak-anak dan keluarganya untuk menghadiri acara tersebut. Selepas  acara di tempat kelahiran  Nabi mereka berdesak-desakan kembali ke Masjid Haram untuk melakukan sholat Isya berjamaah dan duduk bersimpuh di depan Maqom Ibrahim kemudian mulai acara Maulid dimulai dengan sambutan kepada khalifah, amir Mekkah dan para qodhi kemudian ceramah tentang sirah Nabi diakhiri dengan doa.


[1]    Lihat  dalam kitab al-Ajwibah al-Mardliyyah karangan al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi
[2]    Karya beliau diantaranya adalah 1. Itti'azhul Khunafa`bi Akhbaril Al Aimmah al fatimiyyin al khulafa (sebuah kitab tentang sejarah khalifah Fathimiyyah) 2. Al-Muqoffa 3. Mawa’iz Al-I’tibar fi Khitat Misr wal Amsar yang biasa disebut kitab Al-Khitat

[3]    Penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam..Dinasti Fathimiyyah berkuasa selama 262 tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai tahun 567 H/ 1171 M. Fathimiyyah didirikan pada 909 oleh ‘Abdullāh Al-Mahdi di Tunisia yang menurut sebagian sejarawan adalah keturunan Fatimah Azzahra putri Rosulullah karenanya disebut dinasti Fathimiyyah. Diantara sumbangsih dinasti Fathimiyyah bagi Islam adalah membangun kota Kairo dan Masjid Al-Azhar yang menjadi lembaga pendidikan Islam tertua dalam sejarah Islam (sekarang menjadi Universitas Al-Azhar)
[4]    Nama lengkapnya adalah  Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah  Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti Fathimiyyah
[5]  Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani Al-Qaysarani (525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah.
[6]    Akbar al-duwal al-munqati‘a, ed. A. Ferre, Cairo, 1972
[7] Seorang wazir yang sangat berkuasa yang memerintah antara tahun 487H/1094M - 515H/1112M di bawah pemerintah khalifah Al Mustansir, Al Musta’li dan Al Amir
[8]   Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil saat itu adalah propinsi dalam wilayah kekuasaan Dinasti Ayyubiyyah. Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq
[9]    Awalnya adalah istilah Arab untuk benteng kecil yang dibangun di sepanjang perbatasan negeri sebagai camp sukarelawan militer (disebut Murabitun). Benteng ini kemudian berfungsi untuk menjaga jalan dan sebagai tempat beristirahat para musafir. kemudian istilah ini menjadi asrama bagi para kaum sufi sejenis zawiyah atau pondok sufi, yang menyebar dari mesir sampai hingga maroko di ujung Afrika Barat, disebut juga Khanqah dalam bahasa Persia.

[10]  Adalah istilah Maghrib dan Afrika Utara sejenis ribat, asrama sufi, madrasah tempat belajar (pesantren). Ini masih berlaku di kebanyakan Negara Maghrib, dan terus menjadi sarana pendidikan yang utama di semenanjung Afrika Utara, dari Mauritania ke Nigeria.
[11] Adalah semacam perayaan negara malam lima belas Sya'ban dirayakan di negara-negara pada zaman Abbasiyah dan Fathimiyah dengan menyalakan api unggun dan lampu-lampu.
[12] Adalah perayaan hari besar Islam  menurut muslim syiah pada tanggal 18 Dzulhijjah dalam penanggalan kalender Islam untuk memperingati pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh Nabi Muhammad sebagai khalifahnya.
[13] Sebuah sebuah catatan perjalanannya menuju kota suci Mekkah dari kampung halamannya di Andalusia (sekarang Spanyol) melakukan perjalanannya selama dua tahun, antara tahun 1183 M dan 1185 M, hanya beberapa tahun sebelum kemenangan Salahuddin Al-Ayyubi dalam Pertempuran Hattin tahun 1187 M, serta penaklukkan Jerusalem. Dia menulis dalam Rihalnya tempat-tempat yang dilaluinya serta budaya dan tradisinya, dan lebih khusus lagi kota Makkah dan Madinah.


[14] Lihat Rihla, Vol. 1, p. 309 dan 347
Wallahu a'lam bisshawab

1 komentar:

  1. Ada baiknya, setiap makalah disertai nama penulisnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah.

    BalasHapus