Selasa, 27 April 2010

Nonton Film , Manfaat atau Mudharat

Siapakah diantara kita yang tidak pernah menonton film ? rasanya sulit kita menjawab pertanyaan ini, di Era kecanggihan tekonologi informasi seperti sekarang ini, rasanya film teramat mudah untuk diakses semua orang baik melalui televisi, internet, Dvd, Cd atau bahkan layar ponsel. Pendek kata, disadari atau tidak bahwa film sudah menjadi budaya baru dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini dan betapapun, seringkali kita jumpai tema-tema sensitif " yang mestinya hanya boleh ditonton orang-orang tertentu", sekarang banyak di filmkan. Akibatnya anak-anak di bawah umur dengan bebasnya nonton hal-hal yang “ begituan “. Ringkasnya tema yang disajikan Produser film dan stasiun televisi lebih banyak mempertimbangkan faktor bisnis dari pada pendidikan. Masyarakatpun tidak perduli lagi. Yang penting senang.

Disaat banyak orang “terbang” bersama impian-impian dalam film, marilah kita mencoba melihat persoalan ini secara jernih dengan pendekatan moral agama. Bagaimana sesungguhnya islam memandang persoalan ini? bolehkah kita menonton fil? dan apakah semua film boleh untuk kita tonton?

Mungkin terlalu arogan jika kita mengatakan semua film jelek dan tidak bermanfaat. Sebab kenyataanya memang ada yang baik. Untuk itu, hukum menonton film pun perlu dipilah-pilah. Paling tidak, ada lima kategori film. Pertama : film yang dimaksudkan sebagai data sejarah ( dokumenter ). Kedua : Film yang bernilai dakwah dan budaya islami ( Seperti Ayat-ayat cinta, Ketika cinta bertasbih, Kiamat sudah dekat, nada dan dakwah dll ) Ketiga : Film yg dapat memberi spirit dari gambaran potret kehidupan seseorang atau budaya masyarakat tertentu seperti film laskar pelangi, si Doel anak sekolahan dll. Keempat : Film yang hanya dimaksudkan sebagai hiburan ( Kartun, animasi, komedi, cerita keluarga, laga, romantic atau fiksi ). Kelima : Film panas ( Syuur ) .
Untuk jenis pertama, kedua dan ketiga barangkali tidak ada masalah karena dapat dijadikan bahan pendidikan dan wawasan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk jenis keempat, dapat dibolehkan ( mubah ) bila memenuhi dua syarat : 1) cerita dan adegan dalam film tersebut tidak mendorong seseorang untuk berbuat kefasikan dan tidak bertentangan dengan aqidah, syariah serta akhlaq islamiyyah dan jika cerita serta adegan dalam film itu mengajak kepada pemikiran yang menyimpang, aqidah yang bathilah atau kebebasan mengumbar aurat, memicu terhadap kriminalitas maka jelas film tersebut tidak layak untuk di tonton 2) Islam tidak menginginkan waktu terbuang sia-sia ( lahwu ). Asal film jenis ini tidak menyebabkan orang lupa akan kewajibannya maka tidak masalah. Demikian pernyataan DR. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal Wal- Haram Fi Al-Islam .
Sedangkan untuk film jenis terakhir, perlu dicermati secara lebih dalam. Bolehkah seseorang melihat aurat wanita lain ? Syekh Al-Qodhi Abi Syuja’ Ahmad bin Al-husain Al-Asfihani dalam kitabnya Matnul Ghoyah Wattaqrib menyatakan : Seorang laki–laki tidak boleh melihat aurat wanita lain tanpa ada keperluan. Seseorang boleh melihat aurat wanita lain dengan syarat, jika ada keperluan seperti (pengobatan) dan hal inipun terbatas pada bagian anggota tubuh yang diperlukan saja.
Lalu bagaimana jika seseorang melihat aurat wanita lain itu secara tidak langsung misalnya melalui layar (televisi, HP, notebook) atau monitor komputer ?
Jika kita melacak literatur hukum fiqh, kita akan menemukan ungkapan yang cukup unik, Syekh Abi Bakar Bin Sayyid Muhammad Syato’ Ad-Dimyati dalam kitabnya I’anatut-Tholibin menyatakan : bahwa melihat wanita melalui cermin atau bayangan pada air tidak masalah . Mengapa ? Sebab yang dilihat hanya bayangan.
Apakah adegan di dalam film dapat disamakan dengan bayangan dalam cermin atau air? Tentu tidak. Sebab gambar yang diperoleh melalui cermin atau air tidak seindah aslinya, sehingga kemungkinan bangkitnya birahi sangat kecil. Lain halnya dengan syuting film. Orang yang kurang cantik, dengan make-up yang sempurna bisa tampak cantik ( karena hanya memperlihatkan bagian-bagian yang “syuur” ), apalagi yang memang cantik ! Oleh karena itulah, kemungkinan bangkitnya syahwat dan birahi oleh adegan dalam film lebih besar.
Apakah salah jika seseorang yang dewasa melihat adegan “ syurr “ kemudian syahwatnya bangkit ? Memang, tidak selamanya salah. Lebih-lebih jika syahwat tadi disalurkan di tempat yang semestinya (Istrinya yang sah). Akan tetap, jika kita analisa masalah ini dengan metodologi ilmu ushul fiqh, maka dapat kita nyatakan bahwa syahwat itu musabbab, sedangkan melihat film itu sebab. Pakai istilah yang lebih lugas, syahwat itu ma’innah, melihat film itu illat. Jika hukum didasarkan pada illat, maka melihat adegan “ syuur “ dalam film, baik bersyahwat atau tidak, hukumnya tidak boleh. Akan tetapi, jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan hukum didasarkan pada ma’innah , maka menonton adegan ‘syuur” dalam film dilarang jika kita bersyahwat.  " Lah wong melihat batu saja ( jika bersyahwat ) tidak boleh kok "

Wallahu a’lam .

Mengapa Wanita Harus Berhijab

Santri TPQ Al-Wustho
Pertanyaan ini sangat penting untuk dilontarkan dan jawabannya sangat lebih penting lagi. Akan tetapi, pertanyaan di atas membutuhkan jawaban yang sangat panjang. Di sini akan kami sebutkan sebagian dari jawaban tersebut:
Pertama; Sebagai Realisasi Ketaatan Kepada Allah dan Rasul-Nya
Karena ketaatan tersebut akan menjadi sumber kebahagiaan dan kesuksesan besar di dunia dan akhirat. Maka seseorang tidak akan merasakan manisnya iman sebelum mampu melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta berusaha merealisasikan semua perintah-perintah tersebut. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al- Ahzab :71)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Sungguh akan merasakan manisnya iman seseorang yang telah rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi (yang diutus Allah).” (H.R. Muslim)
Di samping itu, bahwa tujuan utama Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana yang telah difirmankan di dalam surat adz-Dzariyat ayat 56. Maka segala aktivitas dan kegiatan manusia hendaklah mencerminkan nilai ibadah kepada Allah termasuk dalam berbusana dan berpakaian.Caranya adalah dengan meyesuaikan diri dengan aturan dan ketentuan berpakaian yang telah digariskan dalam syari’at Islam.
Kedua; Menampakkan Aurat dan Keindahan Tubuh Merupakan Bentuk Maksiat yang Mendatangkan Murka Allah dan Rasul-Nya
Allah Subhannahu wa Ta'ala Berfirman,“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab :36).
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Setiap umatku (yang bersalah) akan dimaafkan, kecuali orang yang secara terang-terangan (berbuat maksiat).”(Muttafaqun ‘alaih).
Sementara wanita yang menampakkan aurat dan keindahan tubuh, telah nyata-nyata menampakkan kemaksiatan secara terang-terangan. Hal ini dikarenakan Allah telah menjelaskan batasan aurat seorang wanita, perintah untuk menutupinya ketika di hadapan orang asing (bukan mahram) serta mencela dan melaknat wanita yang memamerkan auratnya di depan umum.
Jika seorang wanita hanya sekedar lewat dengan memakai parfum di hadapan kaum lelaki saja dapat dikategorikan zina, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam di dalam makna memancing dan mengundang perbuatan tersebut, maka bagaimana lagi dengan mempertontonkan sesuatu yang tak selayaknya diperlihatkan?
Bau wangi yang bersumber dari seorang wanita dapat membangkitkan imajinasi kaum lelaki yang mencium aroma tersebut.Maka membuka aurat jelas lebih dilarang dalam Islam karena bukan sekedar memberikan gambaran, namun benar-benar menampakkan bentuk riilnya.
Ketiga; Hijab Dapat Meredam Berbagai Macam Fitnah.
Jika berbagai macam fitnah lenyap, maka masyarakat yang dihuni oleh kaum wanita berhijab akan lebih aman dan selamat dari fitnah. Sebaliknya apabila suatu masyarakat dihuni oleh wanita yang tabarruj atau pamer aurat dan keindahan tubuh, sangat rentan terhadap ancaman berbagai fitnah dan pelecehan seksual serta gejolak syahwat yang membawa malapetaka dan kehancuran. Bagian tubuh yang terbuka, jelas akan memancing perhatian dan pandangan berbisa.
Keempat; Tidak Berhijab dan Pamer Perhiasan Akan Mengundang Fitnah bagi Laki-Laki.
Seorang wanita apabila menampakkan bentuk tubuh dan perhiasannya di hadapan kaum laki-laki bukan mahram, hanya akan mengundang perhatian kaum laki-laki ” Penyair berkata, Berawal dari pandangan lalu senyuman kemudian salam, Disusul pembicaraan lalu berakhir dengan janji dan pertemuan”.
Kelima; Menunjukkan Kepribadian dan Identitas serta Mencegah dari Gangguan.
Jika seorang wanita muslimah menjaga hijab, secara tidak langsung ia berkata kepada semua kaum laki-laki “Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu serta kamu juga bukan milikku, tetapi saya hanya milik orang yang dihalalkan Allah bagiku. Aku orang yang merdeka dan tidak terikat dengan siapa pun dan aku tidak tertarik kepada siapa pun, karena saya jauh lebih tinggi dan terhormat dibanding mereka yang sengaja mengumbar auratnya supaya dinikmati oleh banyak orang.”

Orang berakal kok , mudah mempercayai sesuatu yang tidak masuk akal.

Suatu hari Ibnu abbas mengunjungi Aisyah, lalu ia bertanya kepada Aisya. Wahai Aisyah ! ada seorang laki-laki yang sedikit bangunnya dan banyak tidurnya, kemudian ada lagi orang yang sedikit tidurnya dan banyak bangunnya, mana yang lebih kau sukai diantara keduanya wahai aisyah ? Aisyah lalu menjawab, saya pernah bertanya kepada Rasul sebagaimana yang kau tanyakan saat ini kepadaku, dan jawaban Rasul adalah, “ yang paling baik diantara keduanya adalah orang yang paling baik akalnya.
Dari dialog diatas, jelas bagi kita bahwa nilai pembeda ( value different ) sekaligus nilai tambah ( value added ) antara manusia yang satu dengan yang lain adalah akal, yaitu akal yang dapat dipergunakan dengan semestinya.
Para ulama Mantiq mendefinisikan manusia dengan istilah yang populer ” al-insan hayawan an-natiq ” ( manusia adalah hewan yang berakal ), The thinking animal. artinya bahwa manusia itu adalah hewan, namun yang membedakannnya dengan hewan lain adalah bahwa ia itu berakal. jadi akal adalah nilai pembedanya. sebab jika manusia akalnya sudah konslet tak ubahnya ia seperti hewan dalam sudut pandang psikologis maupun psikis ( bukan fisik )
Dengan landasan ini, sudah cukup bagi kita betapa pentingnya akal dan penggunaannya bagi manusia. Oleh karenanya maka jangan heran bila para ulama fiqh menetapkan : syarat sahnya beribadah adalah jika seseorang dinyatakan a’qil ( berakal ) dan tidak ada taklif apapun bagi orang yang tidak berakal ( Orang yang tidak berakal bukanlah mukallaf ).
Dengan adanya akal yang kita miliki, kita di tuntut untuk mempergunakannya dengan semestinya dalam bentuk berpikir yang sehat, logika yang benar, nalar yang tidak semrawut sebab berpikir yang benar merupakan titik tolak kemajuan seorang manusia dan tergantung kepada kwalitas berpikirnya ukuran keunggulannya.
Memang kita harus mengakui bahwa berpikir secara benar dan teliti adalah sesuatu yang cukup sulit, sebab didalam aktivitas berpikir kita sangat dituntut untuk sanggup mengamati sesuatu yang kita pikirkan secara cermat, mampu melihat segala hubungan dan kejanggalan, menjauhi sikap pembenaran diri ( rasionalisasi ) yang di cari-cari, menepis prasangka dan praduga, membuang jauh-jauh pembutaaan oleh rasa pribadi atau kelompok ( fanatisme ).
Pemikiran kita terhadap sesuatu bisa menjadi subyektif manakala kita menganggap benar apa yang kita sukai, apa yang kita kehendaki. Dan ketika pemikiran kita sudah tercampur dengan perasaan dengan tanpa landasan logika, maka perasaan itu sering kali mengelabui kita, mengaburkan pandangan kita dan berakibat terjadinya suatu kesimpulan yang ngawur dan gegabah.
Dan lebih Subyektif lagi jika seseorang menerima secara bulat-bulat suatu ungkapan-ungkapan dan pemahaman–pemahaman yang salah kaprah ( salah tetapi terlanjur di anggap benar dalam suatu masyarakat yang malas berpikir kritis ). Pendapat dan pemahaman umum tersebut sering kali mempengaruhi jalan pemikiran kita. Sebagai makhluq yang berakal kita harus menggunakan akal sehat dalam semua bidang kehidupan dengan memahami dan meyakini segala sesuatu, serta mendasarkan segala tindakan kita atas pertimbangan-pertimbangan yang ” masuk akal ” .
Hal ini, sangat dibutuhkan bagi kita sebagai penghuni dunia abad ini ( Era kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi ). Dimana kita harus cakap dalam berpikir dengan obyektif, rasional, kritis dan tidak hanya membeo dan memakan mentah-mentah terhadap segala sesuatu yang ada dalam media komunikasi dan informasi maupun yang beredar pada lingkungan masyarakat atau pernyataan seseorang. Dengan demikian kita mampu membedakan mana yang benar dan salah dengan mendasarkan pada nalar dan logika yang tepat, bukan atas dasar emosi ( cinta atau benci ), perasaan pribadi dan prasangka.

Standarisasi Suatu Pemikiran

Tujuan Pemikiran manusia adalah mencapai suatu pengetahuan yang benar, meski dalam kenyataannya hasil pemikiran dan alasan–alasan yang di kemukakan belum tentu selalu benar. Dengan konsep yang sederhana kita dapat merumuskan bahwa : ( Benar = sesuai dengan kenyataaan ) dan ( salah = tidak sesuai dengan kenyataan ).
Dengan demikia, Standar untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang tetapi sesuai atau tidakkah dengan kenyataan yang sesungguhnya. Suatu contoh misalnya ; ” Pohon itu tumbang karena tanah longsor ”, padahal dalam kenyataannya tidak terjadi tanah longsor maka ucapan dan pendapat tersebut tidak benar alias salah besar ( betapapun seseorang merasa yakin atas ucapannya itu ). Sebab faktanya tidak ada tanah longsor di tempat itu.
Kekeliruan lain yang sering kita dapati adalah, banyak orang yang terlalu cepat menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dan menganggap pasti sesuatu yang belum pasti atau melakukan generalisasi yang tergesa-gesa misalnya ucapan seperti ; Orang desa itu bodoh, Orang poris itu doyan kawin, orang timur itu halus, Perokok itu kurus badannya. Ucapan–ucapan seperti itu dikemukakan seakan–akan berlaku universal ( untuk semua ) padahal sama sekali belum tentu adanya demikian. Kalau ada beberapa perokok seperti si Iwan dan si Batok yang kurus badannya, belumlah cukup menjadi dasar bahwa semua perokok itu kurus badannya, nyatanya si Aziz, si Fadli, si Usman, si Ilul. yang kesemuanya itu merupakan pecandu rokok, gemuk badannya. Demikian pula halnya dengan pernyataan ” Orang poris itu doyan kawin ”, Kalau ada sebagian orang poris yang doyan kawin ( kawin lebih dari satu ) belumlah cukup menjadi dasar bahwa semua orang poris itu doyan kawin. Kesalahan seperti ini disebut generalisasi yang tergesa-gesa, karena menyatakan sesuatu berlaku umum, untuk semua. padahal sebenarnya tidak berlaku secara umum dan merata.
Agar suatu pemikiran dan penalaran menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, paling tidak harus memenuhi beberapa syarat :
Pertama : suatu pemikiran harus Realistis ( harus berdasarkan pada kenyataan yang sesungguhnya ) dan titik pangkalnya harus benar. Suatu pemikiran bila tidak berdasarkan pada kenyataan dan dalil yang benar, maka tidak akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, meskipun jalan pemikiran tersebut bersifat logis dan rasional. Suatu contoh misalnya ; Karena sakit si Budi mati, sekilas memang benar menurut kita contoh seperti ini, karena hubungan antara sakit dan mati adalah suatu hubungan yang logis. Tetapi kalau dalam kenyataannya si budi mati bukan sebab sakit, tapi karena di tabrak mobil. Maka kesimpulan seperti ini jelas tidak benar karena titik pangkalnya tidak benar dan tidak sesuai pula dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Meminjam istilah para ulama ushuliyyin ( ahli ushul fiqh ), cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang harus relevan antara dalil dan istidlal.
Kedua : Alasan dan argumentasi yang di ajukan dalam suatu pemikiran bukan dengan landasan mistik, bersifat prediksi dan praduga yang ngaco, namun berlandaskan pada sesuatu yang logis, rasional ( masuk akal ).
Masak orang berakal seperti kita harus percaya sama ki joko bodo, imam suroso, mama laurent dan dedi corbuzier sih.
Dan sangat tidak lucu lagi kalo aktivitas kehidupan kita harus ditentukan dengan bunyi tokek, suara burung tutit-tutit, Hitung-hitungan hari. Sungguh!!! Hal seperti ini sangat tidak rasional .....
Ketiga : Langkah-langkah pemikiran harus lurus dan berimbang. Sebab bisa jadi suatu pemikiran mempunyai titik pangkal yang benar tetapi langkah-langkah pemikiran tersebut tidak mempunyai hubungan yang relevan, akibatnya kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat dan salah.
Suatu contoh :
Semua orang bertato adalah penjahat
Dan semua penjahat harus dihukum
Jadi, semua orang yang bertato harus dihukum.
Sepintas, langkah dan jalan pemikiran ini cukup logis, tetapi kesimpulannya adalah salah sebab titik pangkal yang ditetapkan salah. Orang bertato itu tidak sama dengan penjahat. Meskipun sebagian penjahat itu bertato .
Atau contoh :
Semua sapi itu binatang
Semua kuda itu binatang
Jadi, sapi itu kuda
Titik pangkal pada kalimat pertama dan kedua ini adalah benar, tetapi kesimpulannya salah sebab tidak relevan antara titik pangkal dan kesimpulan .

Dalam suatu bentuk pemikiran, ada juga istilah yang dikenal dengan nama Open system problems ( system terbuka ), dan bentuk pemikiran seperti ini amat banyak beredar di kalangan masyarakat ; seperti contoh: jangan hujan-hujanan nanti terkena demam,jangan duduk diatas bantal lho nanti bisulan, kamu harus membaca amalan ini nanti kamu jadi orang kaya, jangan berenang dan mandi di air sekotor ini nanti terkena penyakit kulit. Bentuk pemikiran seperti ini sebetulnya bersumber dari suatu pengalaman seseorang atau orang lain, lalu di tarik suatu kesimpulan yang bersifat umum ( induksi ); memang berenang di air yang kotor bisa menyebabkan penyakit kulit, tapi apakah setiap orang yang berenang di air yang kotor akan terkena penyakit kulit? mungkin, tapi belum tentu demikian! dan apakah setiap orang yang kehujanan pasti jatuh sakit ! dan apakah setiap orang yang membaca bacaan tertentu pasti jadi kaya !! belum tentu .
Termasuk juga dalam bentuk pemikiran jenis ini, seperti orang yang mengatakan ; kalau ibu A kamu tempatkan di samping ibu B, mereka pasti bertengkar. Seseorang menyatakan dengan sebuah kesimpulan seperti ini, karena di landasi oleh pengetahuannya bahwa ibu A dan ibu B itu bermusuhan, dan ketika ada orang lain yang menginformasikan bahwa kedua ibu tersebut telah berbaikan bahkan sudah menjalin suatu persahabatan yang cukup karib, maka kesimpulan tentang mereka berdua pasti bertengkar bila bertemu sudah tidak pasti lagi.
Dan banyak contoh-contoh lain yang sering kita temui dalam persoalan kehidupan sehari-hari, baik dari pemahaman yang beredar di lingkungan masyarakat kita atau dari berita, ceramah dan isu-isu yang berkembang. Persoalan–persoalan seperti ini disebut Open system problems di mana semuanya tidak dapat di pastikan sebagaimana halnya dalam soal-soal ilmu pasti, selalu ada kemungkinan “dari luar” , yang mungkin bisa mengubah suatu kesimpulan yang telah dinyatakan .
Berbeda halnya dengan jenis pemikiran yang Closed system problems (sistem tertutup) yang telah di landasi oleh suatu rumusan dan aturan–aturan logika yang sudah pasti. Jika sudah di ketahui rumusan-rumusannya, maka dengan jalan pikiran yang logis dapat di tarik kesimpulan-kesimpulan yang pasti; dan tidak akan ada seseorangpun “ dari luar “ yang dapat menggoyangkan jalan pikiran atau kepastian kesimpulan. seperti halnya persoalan-persoalan dalam ilmu matematika, main catur, system mekanika. dan lain-lain. Selamanya, dan siapapun, kapanpun, dimanapun pasti setiap orang menyatakan bahwa 2+2=4 , sebuah segitiga sama sisi ketiga sudutnya adalah 180 derajat .
Lazim bagi kita untuk menumbuh kembangkan sikap kritis di era seperti ini agar kita tidak selalu menjadi obyek pembodohan massal oleh pemikiran–pemikiran seseorang atau informasi-informasi sampah yang banyak kita temui di internet, face book atau media-media informasi lainnya. Dengan kita selalu mempertanyakan kesemuanya itu melalui beberapa pertanyaan kritis :

1- Apa dasar dan alasan seseorang menyatakan pemikiran demikian? dan apakah cukup alasannya? bila pemikiran tersebut bersifat islami, apa dalilnya dan bagaimana cara istidlalnya?
2- Bagaimana jalan pemikirannya ? dan bagaimana langkah-langkahnya? dan apakah relevan keterkaitan satu langkah dengan langkah pemikiran berikutnya?
3- Apakah pernyataan itu tepat dan benar ? pasti ? sangat mungkin? atau sangat mungkin tidak benar?
4- Atas dasar informasi apakah pernyataan itu dikemukakan? apakah informasi tersebut benar?
5- Apa konsekwensinya jika pernyataan tersebut dipikirkan lebih lanjut? dan apakah ada hal lain yang dapat disimpulkan dari pernyataan tersebut?
6- Jika kita tidak setuju dengan pemikiran dan pernyataan seseorang, argumentasi apa yang harus kita miliki untuk membantahnya?

Wallahu a’lam.

Selasa, 20 April 2010

Kami Bangga Sebagai Remaja Masjid

Pengurus Harian IRMAP
Masjid- masjid bertebaran berdiri megah. Di pinggir–pinggir jalan, di perkampungan, bahkan di perkotaan sudah biasa kita saksikan kemegahan masjid-masjid itu. Berdirinya masjid-masjid yang terkesan megah dari satu sisi patut kita syukuri, sebab setidak-tidaknya kaum muslimin memiliki kesadaran betapa pentingnya mendirikan sarana-sarana ibadah, termasuk masjid. Betapapun pada akhirnya masjid–masjid itu kesepian. Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya apalagi Subuh bisa dihitung dengan mudah berapa jumlah orang yang mengunjunginya untuk berjamah. Dan bahkan tidak jarang masjid–masjid itu kosong dari kegiatan-kegiatan selain hanya sebuah tempat untuk sholat saja.

Lalu apa sebenarnya cita-cita islam dengan menganjurkan mendirikan masjid ?

Syekh Sa’id Romadhon Al-Buthi dalam kitabnya Fiqh as-sirah menjelaskan : Ketika Rasulullah Saw hijrah ke Madinah yang merupakan awal kebangkitan islam, Pertama-tama yang di bangun Rasulullah adalah masjid. Setiba di Madinah, Rasul membeli tanah dari dua orang anak yatim seharga sepuluh dinar, pada tanah itu terdapat pohon-pohon dan pekuburan kuno orang yahudi. Selanjutnya Rasul memerintahkan para sahabat untuk memotong pohon-pohon itu dan membongkar kuburan kuno orang-orang yahudi. Dan dibangunlah masjid dengan bahan seadanya, tiangnya dari kayu dan atap-atapnya dari pelepah kurma.

Mengapa Rasulullah memprioritaskan masjid ???

Ternyata apa yang dilakukan oleh Rasul dengan mendirikan masjid merupakan langkah strategis yang efektif untuk menyatukan umat islam. Bukan hanya bersatu dengan jasad melainkan bersatu dalam aturan, akidah ,keyakinan, misi dan visi dan lebih dari itu masjid di jadikan sarana yang paling efektif untuk penyebaran agama islam ( Dakwah ) dan sesuai dengan tengara ini Syekh yusuf Qordhowi menjelaskan dalam kitabnya Hadyul islam fatawa mua’shirah : Masjid pada zaman Rasul, merupakan pusat seluruh kegiatan kaum muslim, maka masjid bukan semata-mata di gunakan untuk shalat dan ibadah lainnya, bahkan ia merupakan pusat ibadah, ilmu pengetahuan, peradaban, sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan sebagai tempat untuk ta’arruf ( perkenalan ) di masjid itulah utusan dari berbagai jazirah arab datang dan disana pula Rasul menerima utusan-utusan itu. Disana pula beliau menyampaikan Khutbah dan pengarahan mengenai semua masalah kehidupan, baik yang berkenaan masalah agama, social maupun politik.
Dan di karenakan Masjid adalah pusat kegiatan umat dan pusat dakwah maka ia butuh kepada sumber daya yang potensial dan tak lain hal itu hanyalah pantas dan layak dibebankan kepada para remaja, sebab remaja ( pemuda ) adalah asset berharga dan benteng ummat yang paling kuat, selain daripada itu mereka adalah tiang, sumber kekuatan dan harapan masa depan ummat. Dan ummat yang sadar adalah yang memperhatikan para pemudanya.
Pemuda dalam pandangan islam adalah orang-orang yang paling mampu memikul beban amanat serta melaksanakan risalah dakwah yang terus menerus. Allah S.W.T. berfirman :

Sesungguhnya mereka itu( Ashabul kahfi ) adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada tuhan mereka dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk-petunjuk
( Q.S Al-Kahfi 18.13 )

Rasulullah Saw menasehati para pengikutnya untuk mempergunakan lima kondisi sebelum datang lima kondisi sebaliknya, antara lain kepemudaan sebelum ketuaan, betapa Rasul dengan hadist-nya ini menyadari bahwa masa muda adalah masa yang paling produktif dalam kehidupan manusia.Lebih dari itu Rasulpun dalam perjuangan dakwahnya banyak di dukung oleh sumber daya pemuda seperti Ali bin abi thalib dll.
Para penjajah, ketika hendak menghancurkan suatu bangsa, memusatkan perhatiannya terhadap penghancuran nilai-nilai, pikiran, dan akhlaq pemudanya sampai ke akar-akarnya. sebaliknya, apabila suatu bangsa ingin bangkit dan maju, hendaknya memperhatikan akidah, pikiran, akhlaq, dan tingkah laku pemudanya.
Para pemuda muslim saat ini sedang menghadapi krisis akidah, akhlaq, alam pikiran, budaya dan social, mereka hanya dapat dan harus diselamatkan dengan Islam, agar pada gilirannya mereka mampu menyelamatkan ummat, dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi ummat dan agen perubahan dalam masyarakat ( Agen of change ). Maka untuk mencapai tujuan ini suatu solusi yang efektif adalah harus dikembangkannya risalah masjid agar secara ideal kembali ke masa lampau sebagai pusat ibadah dan ilmu, pendidikan dan social sehingga para pemuda dapat berperan aktif didalamnya. Dengan demikian masjid akan menjadi pusat pencerahan keagamaan, moral, kebudayaan, social dan wahana ilmiah dalam masyarakat dewasa ini.
Allah menyatakan dalam Al-Qur’an : "Hanyalah yang memakmurkan masjid –masjid Allah ialah orang–orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian" ( Q.S At-taubah, 9.18 ).

Wallahu a’lam bisshowab.

Batasan Tawa dan Canda Menurut agama

Rasanya diantara kita tidak ada seorangpun yang tidak pernah tertawa. Dalam kehidupan kita sehari-hari pun banyak hal – hal yang membuat kita tertawa, tak jarang pula dalam pergaulan kita dengan orang lain, kita seringkali menyisipkan canda yang membuat kita tertawa. Singkat kata, Canda, tawa dan humor adalah sesuatu yang sudah lekat dengan kehidupan kita, lalu bagaimana pandangan agama tentang tawa dan canda ? Apakah hal itu dilarang dalam agama ? Dan sejauh mana kita diperbolehkan tertawa dan bercanda ?

Suatu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa tertawa itu termasuk ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang, karena tertawa itu terjadi setelah seseorang memahami dan mengerti perkataan yang didengarnya atau setelah melihat sesuatu, lalu ia tertawa karenanya.

Oleh sebab itu, kita bisa saja menyatakan : “ Manusia itu itu adalah binatang yang dapat tertawa “ ( Al-Insan hayawan ad-Dhohik ) selain itu para ulama mantiq mengatakan bahwa manusia itu adalah binatang yang dapat berbicara ( Al-Insan hayawan an-Nathiq ) . Maka benarlah jika ada orang yang mengatakan “ Saya dapat tertawa, karena saya manusia “ .
Hidup terasa hambar dan datar tanpa humor dan canda bagaikan masakan tanpa garam. Namun hanya dalam kadar kuantitas, kualitas dan penyajian tertentu akan menjadi penyedap kehidupan. Suatu kali Imam al-Ghazali melontarkan 6 pertanyaan kepada murid-muridnya yang hadir dalam majelis ta’limnya. Salah satunya adalah: Benda apa yang paling tajam di dunia ini?. Beragam jawaban muncul dari murid-murid beliau. Pisau, silet, sampai pedang. Imam al-Ghazali menanggapi jawaban murid-muridnya tersebut. “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tapi ada yang lebih tajam dari itu semua. Yaitu LIDAH”.

Meskipun lidah tidak bertulang, namun memang lidah bisa lebih tajam dari apapun, karena dia bisa ‘merobek’ hati. Bahkan kadang lidah bisa membuat lubang menganga di hati lawan bicara yang mungkin perlu waktu lama untuk mengembalikannya ke kondisi semula.

Dalam keseharian, kewajiban menjaga lidah ini tidak saja harus kita laksanakan baik di kala sedang bicara serius ataupun di kala bercanda. Point terakhir ini seringkali membuat kita tidak sadar telah melukai hati teman kita. Kata-kata yang kita maksudkan sebagai candaan, seringkali menusuk hati teman kita, bisa karena bercanda yang keterlaluan, bercanda di saat yang tidak tepat, dan sebagainya. Karena di saat bercanda, seringkali kita tidak memperhatikan bagaimana mood teman kita itu yang sebenarnya.
Memang bercanda kadang diperlukan untuk memecahkan kebekuan suasana sebagaimana yang dikatakan Said bin Al-’Ash kepada anaknya. “Kurang bercanda dapat membuat orang yang ramah berpaling darimu. Sahabat-sahabat pun akan menjauhimu.” Namun canda juga bisa berdampak negatif, yaitu apabila canda dilakukan melampaui batas dan keluar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nashaihul I’bad menyatakan bahwa Canda atau Tawa yang berlebihan dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, mendatangkan murka Allah dan dapat menimbulkan rasa dengki.

Allah Swt. berfirman, Artinya: “Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis” (QS An-Najm: 43).

Menurut Ibnu ‘Abbas, berdasarkan ayat ini, canda dengan sesuatu yang baik adalah mubah (boleh). Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan ayat diatas bahwa Allah Swt. telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis. Karena itu silahkan Anda tertawa dan menangis, namun tawa dan tangis itu harus sesuai dengan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.

Secara medis-pun terbukti bahwa tertawa dapat merangsang dan meningkatkan pelepasan endorphin, "hormon bahagia" tubuh. Tertawa juga meningkatkan sejumlah sel yang memproduksi antibodi dan meningkatkan efektivitas T-Cells (sel yang masuk ke dalam grup sel darah putih yang diketahui sebagai limfosit dan memainkan peran utama pada sistem kekebalan tubuh) dalam tubuh. Hal ini memperkuat sistem kekebalan tubuh dan juga membantu mengurangi gejala tekanan fisik.
Mungkin sebagian orang merasa aneh dengan pernyataan tersebut dan mencoba mengingkarinya, seperti yang pernah terjadi pada seseorang yang mendatangi Sufyan bin ‘Uyainah ra. Orang itu berkata kepada Sufyan, “Canda adalah suatu keaiban (sesuatu yang harus diingkari).” Mendengar pernyataan itu Sufyan berkata, “Tidak demikian, justru canda itu sunnah hukumnya bagi orang yang membaguskan dan menempatkan candanya sesuai dengan situasi dan kondisi.”

Dalam Kitab Fatawa Mu’asharah, Syekh Yusuf Qardhawi menyatakan : bahwa pada dasarnya tertawa dan bercanda ( bergurau ) itu diperbolehkan oleh syara’, namun harus sesuai dengan beberapa ketentuan dan persyaratan , yaitu :

  1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan candaan dan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?” (QS. at-Taubah: 65).
  2. Jangan menjadikan kebohongan dan mengada-ada sebagai alat untuk menjadikan orang lain tertawa , Sabda Rasulullah saw: “Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim)
  3. Jangan mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan orang lain. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain., karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan); dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk gelar ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” (QS. al-Hujurat:11) “Cukuplah keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
  4. Tidak boleh menimbulkan kesedihan dan ketakutan terhadap orang lain. Sabda Nabi saw: “Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti sesama muslim lainnya.” (HR. ath-Thabrani) “Janganlah salah seorang diantara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan maksud bermain-main maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Tirmidzi)
  5. Jangan bergurau untuk urusan yang serius dan jangan tertawa dalam urusan yang seharusnya menangis. Tiap-tiap sesuatu ada tempatnya, tiap-tiap kondisi ada (cara dan macam) perkataannya sendiri. Allah mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengarkan al-Qur’an padahal seharusnya mereka menangis, lalu firman-Nya: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis. Sedang kamu melengahkannya.” (QS. an-Najm:59-61). Hendaklah gurauan itu dalam batas-batas yang diterima akal, sederhana dan seimbang, dapat diterima oleh fitrah yang sehat, diridhai akal yang lurus dan cocok dengan tata kehidupan masyarakat yang positif dan kreatif.
  6. Islam tidak menyukai sifat berlebihan dan keterlaluan dalam segala hal. Dalam hal hiburan ini Rasulullah memberikan batasan dalam sabdanya; “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). Imam Ali ra juga mengatakan dalam salah satu untaian kata hikmahnya “Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.”Begitupula Sa’id bin Ash ( Sahabat rasulullah ) menyatakan “Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.”

Humor dan Canda Rasulullah SAW

Berikut ini Beberapa riwayat tentang humor dan canda Rasulullah saw. semoga dapat menjadi inspirasi humor yang sehat, cerdas, positif dan menyegarkan.
Syekh az-Zubair dalam kitabnya al-Fukahah wal Mizah meriwayatkan ; bahwa Zaid bin aslam bercerita : seorang wanita yang bernama Ummu Aiman pernah datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata, sesungguhnya suamiku mengundangmu, Rasul bertanya siapakah dia ? apakah orang yang matanya ada putih-putihnya ? ummu aiman menjawab, ‘ Demi Allah, di matanya tidak ada putih-putihnya.’ beliau lalu menimpali,’ ya dimatanya ada putih-putihnya. Ummu aiman berkata lagi, ‘ Tidak, Demi Allah.’ Lalu Rasul bersabda : ‘ Tidak ada seorangpun melainkan dimatanya ada putih-putihnya.’ yakni bagian mata yang putih yang melingkari biji mata yang hitam.
Imam at-Tirmidzi dalam kitabnya Sunan At-Tirmidzi meriwayatkan : Seorang perempuan tua bertanya pada Rasulullah: “Wahai Utusan Allah, apakah perempuan tua seperti aku layak masuk surga?” Rasulullah menjawab: “Ya Ummi, sesungguhnya di surga tidak ada perempuan tua”. Perempuan itu menangis mengingat nasibnya Kemudian Rasulullah mengutip salah satu firman Allah pada surat Al Waaqi’ah ayat 35-37 “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Riwayat At Tirmidzi, hadits hasan)
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Musnad Ahmad meriwayatkan : Seorang sahabat bernama Zahir, dia agak lemah daya pikirannya. Namun Rasulullah mencintainya, begitu juga Zahir. Zahir ini sering menyendiri menghabiskan hari-harinya di gurun pasir. Sehingga, kata Rasulullah : “Zahir ini adalah lelaki padang pasir, dan kita semua tinggal di kotanya”. Suatu hari ketika Rasulullah sedang ke Pasar, beliau melihat Zahir sedang berdiri melihat barang-barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah memeluk Zahir dari belakang dengan erat. Zahir terperanjat dan berkata : “Heii……siapa ini ? lepaskan aku !!!”, Zahir memberontak dan menoleh ke belakang, ternyata yang memeluknya Rasulullah. Zahir-pun segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah. Rasulullah berkata: “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini??” Zahir: “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai di pandangan mereka” Rasulullah: “Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir. Mau dibeli Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa damai dalam pelukan Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad dari Anas ra)
Dan juga suatu riwayat dari Imam al-Bukhari : Suatu ketika, Rasulullah saw dan para sahabat ra sedang ifthor ( Berbuka puasa ) dengan hidangan kurma dan air putih. Dalam suasana hangat itu, Ali bin Abi Tholib ra timbul isengnya. Ali ra mengumpulkan kulit kurma-nya dan diletakkan di tempat kulit kurma Rasulullah saw. Kemudian Ali ra dengan tersipu-sipu mengatakan kalau Rasulullah saw sepertinya sangat lapar dengan adanya kulit kurma yang lebih banyak. Rasulullah saw yang sudah mengetahui keisengan Ali ra segera menanggapi Ali ra dengan mengatakan kalau yang lebih lapar sebenarnya siapa ? (antara Rasulullah saw dan Ali r.a). Sedangkan tumpukan kurma milik Ali r.a sendiri tak bersisa. (HR. Bukhori,).

Wallahu a’lam.