Selasa, 27 April 2010

Nonton Film , Manfaat atau Mudharat

Siapakah diantara kita yang tidak pernah menonton film ? rasanya sulit kita menjawab pertanyaan ini, di Era kecanggihan tekonologi informasi seperti sekarang ini, rasanya film teramat mudah untuk diakses semua orang baik melalui televisi, internet, Dvd, Cd atau bahkan layar ponsel. Pendek kata, disadari atau tidak bahwa film sudah menjadi budaya baru dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini dan betapapun, seringkali kita jumpai tema-tema sensitif " yang mestinya hanya boleh ditonton orang-orang tertentu", sekarang banyak di filmkan. Akibatnya anak-anak di bawah umur dengan bebasnya nonton hal-hal yang “ begituan “. Ringkasnya tema yang disajikan Produser film dan stasiun televisi lebih banyak mempertimbangkan faktor bisnis dari pada pendidikan. Masyarakatpun tidak perduli lagi. Yang penting senang.

Disaat banyak orang “terbang” bersama impian-impian dalam film, marilah kita mencoba melihat persoalan ini secara jernih dengan pendekatan moral agama. Bagaimana sesungguhnya islam memandang persoalan ini? bolehkah kita menonton fil? dan apakah semua film boleh untuk kita tonton?

Mungkin terlalu arogan jika kita mengatakan semua film jelek dan tidak bermanfaat. Sebab kenyataanya memang ada yang baik. Untuk itu, hukum menonton film pun perlu dipilah-pilah. Paling tidak, ada lima kategori film. Pertama : film yang dimaksudkan sebagai data sejarah ( dokumenter ). Kedua : Film yang bernilai dakwah dan budaya islami ( Seperti Ayat-ayat cinta, Ketika cinta bertasbih, Kiamat sudah dekat, nada dan dakwah dll ) Ketiga : Film yg dapat memberi spirit dari gambaran potret kehidupan seseorang atau budaya masyarakat tertentu seperti film laskar pelangi, si Doel anak sekolahan dll. Keempat : Film yang hanya dimaksudkan sebagai hiburan ( Kartun, animasi, komedi, cerita keluarga, laga, romantic atau fiksi ). Kelima : Film panas ( Syuur ) .
Untuk jenis pertama, kedua dan ketiga barangkali tidak ada masalah karena dapat dijadikan bahan pendidikan dan wawasan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk jenis keempat, dapat dibolehkan ( mubah ) bila memenuhi dua syarat : 1) cerita dan adegan dalam film tersebut tidak mendorong seseorang untuk berbuat kefasikan dan tidak bertentangan dengan aqidah, syariah serta akhlaq islamiyyah dan jika cerita serta adegan dalam film itu mengajak kepada pemikiran yang menyimpang, aqidah yang bathilah atau kebebasan mengumbar aurat, memicu terhadap kriminalitas maka jelas film tersebut tidak layak untuk di tonton 2) Islam tidak menginginkan waktu terbuang sia-sia ( lahwu ). Asal film jenis ini tidak menyebabkan orang lupa akan kewajibannya maka tidak masalah. Demikian pernyataan DR. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal Wal- Haram Fi Al-Islam .
Sedangkan untuk film jenis terakhir, perlu dicermati secara lebih dalam. Bolehkah seseorang melihat aurat wanita lain ? Syekh Al-Qodhi Abi Syuja’ Ahmad bin Al-husain Al-Asfihani dalam kitabnya Matnul Ghoyah Wattaqrib menyatakan : Seorang laki–laki tidak boleh melihat aurat wanita lain tanpa ada keperluan. Seseorang boleh melihat aurat wanita lain dengan syarat, jika ada keperluan seperti (pengobatan) dan hal inipun terbatas pada bagian anggota tubuh yang diperlukan saja.
Lalu bagaimana jika seseorang melihat aurat wanita lain itu secara tidak langsung misalnya melalui layar (televisi, HP, notebook) atau monitor komputer ?
Jika kita melacak literatur hukum fiqh, kita akan menemukan ungkapan yang cukup unik, Syekh Abi Bakar Bin Sayyid Muhammad Syato’ Ad-Dimyati dalam kitabnya I’anatut-Tholibin menyatakan : bahwa melihat wanita melalui cermin atau bayangan pada air tidak masalah . Mengapa ? Sebab yang dilihat hanya bayangan.
Apakah adegan di dalam film dapat disamakan dengan bayangan dalam cermin atau air? Tentu tidak. Sebab gambar yang diperoleh melalui cermin atau air tidak seindah aslinya, sehingga kemungkinan bangkitnya birahi sangat kecil. Lain halnya dengan syuting film. Orang yang kurang cantik, dengan make-up yang sempurna bisa tampak cantik ( karena hanya memperlihatkan bagian-bagian yang “syuur” ), apalagi yang memang cantik ! Oleh karena itulah, kemungkinan bangkitnya syahwat dan birahi oleh adegan dalam film lebih besar.
Apakah salah jika seseorang yang dewasa melihat adegan “ syurr “ kemudian syahwatnya bangkit ? Memang, tidak selamanya salah. Lebih-lebih jika syahwat tadi disalurkan di tempat yang semestinya (Istrinya yang sah). Akan tetap, jika kita analisa masalah ini dengan metodologi ilmu ushul fiqh, maka dapat kita nyatakan bahwa syahwat itu musabbab, sedangkan melihat film itu sebab. Pakai istilah yang lebih lugas, syahwat itu ma’innah, melihat film itu illat. Jika hukum didasarkan pada illat, maka melihat adegan “ syuur “ dalam film, baik bersyahwat atau tidak, hukumnya tidak boleh. Akan tetapi, jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan hukum didasarkan pada ma’innah , maka menonton adegan ‘syuur” dalam film dilarang jika kita bersyahwat.  " Lah wong melihat batu saja ( jika bersyahwat ) tidak boleh kok "

Wallahu a’lam .

2 komentar:

  1. Permasalahannya sekarang banyak sekali tontonan yang dapat merusak akhlak dan moral generasi kita....tindakan kita yang terbaik gimana ?

    BalasHapus
  2. Yang penting,,,Jangan jadiin tontonan Jadi tuntunan...

    BalasHapus