Selasa, 06 Maret 2012

ZAKAT GAJI BULANAN DAN CARA MENGELUARKANNYA


A.      Zakat Gaji Bulanan/ Zakat Profesi.
1.     Pengertian Zakat Gaji Bulanan/ Zakat Profesi
Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam al-Hadits. Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menumbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak.[ [1]] Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang artinya pekerjaan. Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam makalah  ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan gaji (salary) adalah upah kerja yang dibayar di waktu yang tetap, dan di Indonesia biasanya gaji itu dibayar setiap bulan. Disamping gaji merupakan penghasilan tetap setiap bulan, seorang karyawan terkadang menerima honorium sebagai balas jasa terhadap suatu pekerjaan yang dilakukan diluar tugas pokoknya, misalnya seorang dosen PTN mengajar beberapa fakultas yang melebihi tugas pokok mengajarnya, ia berhak menerima honorium atas kelebihan jam kerjanya.
Selain penghasilan gaji dan honor yang bisa diterima oleh pengawas atau karyawan adapula jenis penghasilan yang relative  besar dan bersisa melebihi gaji resmi seorang pegawai negeri. Seperti pengacara, notaris, konsultan, akuntan, dokter spesialis dan profesi lainnya, merupakan  profesi modern yang .tampaknya dengan mudah bisa mendatangkan penghasilan besar. Zakat penghasilan tersebut termasuk masalah ijtihad, yang perlu di kaji dengan skema menurut pandangan hukum syariah dengan memperhatikan hikmah zakat dan dalil-dalil syar’i yang berkaitan dengan masalah zakat.
Dalam prakteknya pekerjaan yang diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  Yang pertama adalah orang-orang yang bekerja memberikan pelayanan atau jasa tanpa terikat dengan suatu kontrak atau perjanjian dengan pihak lain. Contohnya seperti dokter yang melakukan praktek umum, notaris, seniman, pengacara, artis, konsultan (termasuk mediator atau calo), dan sebagainya. Masing-masing memperoleh upah atau imbalan yang cukup besar dari jasa dan pelayanan yang mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap minggu atau setiap praktek dan setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, polisi, pegawai pabrik, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan.[ [2]]
Zakat profesi didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya.[[3]]
2.     Landasan Hukum Zakat Gaji Bulanan.
Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan permasalahan yang berkaitan dengan zakat profesi pada umumnya dan zakat gaji pada khususnya. Masalah zakat gaji di dalam al-Qur’an dan al-Hadis Nabi tidak dapat dijumpai secara tertulis. Walaupun demikian tetap dapat digunakan keumuman ayat 267 surat al-Baqarah untuk dijadikan landasan hukum zakat gaji ini yaitu sebagai berikut :

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا ڪَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ‌ۖ
   Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”…. (QS :Al-Baqarah : 267).
Dalam ayat tersebut, kata “anfiqu” memberikan makna wajib sesuai dengan kaedah ushul fiqh:
الأصل فى الأمر للوجوب
Artinya : “ Kaidah umum dalam kalimat perintah menunjukan wajib “
Ayat di atas dapat dipahami secara umum, yaitu sebagai panggilan kepada orang yang beriman setiap zaman dan generasi, memuat harta yang sampai ketangan mereka, juga harta yang dihasilkan dengan tangan mereka dari yang halal dan yang baik, serta apa yang dikeluarkan oleh Allah untuk mereka dari bumi, tanaman, tambang dan minyak. Dari sana maka nash mencakup semua harta yang dikenal pada masa Nabi dan yang akan datang, sehingga nash itu bersifat universal tidak lepas dari harta yang terjadi di zaman manapun dan nash itu mewajibkan zakat atas semua harta yang ada tersebut. Adapun aturannya terdapat dalam sunah yang menerangkan macam-macam harta yang dikenal pada masa itu.
Kata “ma kasabtum” dalam surat al-Baqarah ayat 267 itu bersifat umum (‘am) dan memang sudah mendapat takhsisnya yaitu hadits Rasulullah Saw tentang bentuk dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi, karena hukum pada ‘am dan khas ini sama, maka keumuman itu tetap berlaku secara utuh untuk menetapkan zakat profesi. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul :
العام بعد التخصيص حجة فى الباقى
Oleh karena itu, mengambil keumuman lafadz dari ayat 267 surat al-Baqarah itu lebih tepat dari pada mempertahankan kekhususan asbabun nuzul nya, sebab kaedah ushul mengatakan :
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Sehingga, meskipun zakat itu termasuk ibadah, tetapi bukan ibadah mahdah melainkan ibadah ijtima’iyah. Zakat pada dasarnya adalah untuk merealisasikan keadilan yang menjadi tujuan Islam. Zakat berfungsi untuk menyucikan harta dan mempersempit jurang pemisah antara si-kaya dan si-miskin.[[4]]
Dalam menafsirkan ayat sebagian ulama  mengatakan : Kata ما  termasuk kata yang mengandung pengertian yang umum, yang artinya “sebagian dari hasil (apa saja) yang kamu usahakan yang baik-baik”. Maka  jelaslah semua macam penghasilan (gaji, honorarium dan lainnya) terkena wajib zakat.
Dapat dikatakan bahwa gaji termasuk al-mal al-mustafad yang dikeluarkan zakatnya begitu diterima, meskipun kepemilikannya belum sampai setahun, berdasarkan kepada pendapat sebagian sahabat (Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Muawiyah), serta pendapat Umar bin Abdul ‘Aziz, al-Baqir, al-Shadiq, al-Nashir, Daud al-Zahiri.[[5]]
Besarnya zakat yang harus dikeluarkan ialah seperempat puluh, berdasarkan nas-nas yang mewajibkan zakat pada uang, baik kepemilikannya telah berlangsung selama setahun penuh maupun belum mencapai setahun.
Jika seorang muslim mengeluarkan zakat atas pendapatan atau profesi atau pekerjaannya ketika dia menerimanya, dia tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun, dengan begitu akan terjadi kesamaan antara pendapatan yang diperoleh melalui profesi-profesi seperti itu dan penghasilan para petani yang diharuskan mengeluarkan zakat tanaman dan buah-buahan ketika mereka memetik dan memanen tanamannya.[[6]]
Mal mustafad sudah disepakati oleh jamaah sahabat dan ulama-ulama berikutnya untuk wajib dikenakan zakat. Perbedaan pendapat hanya pada wajib zakat, yaitu tentang persyaratan haul, diantaranya :
1. Menurut Imam Abu Hanifah
Mal mustafad  tidak dizakati sebelum sempurna satu tahun ditangan pemiliknya, kecuali apabila pemilik mempunyai harta sejenis yang pada permulaan tahun sudah mencapai satu nisab, maka mal mustafad  itu dipungut zakatnya bersamaan dengan harta yang sudah ada setelah harta yang sudah ada itu mencapai satu tahun.
2. Menurut Imam Malik
Mal mustafad tidak dizakati sebelum sempurna setahun, baik si pemilik mempunyai harta yang sejenis ataupun tidak, kecuali binatang ternak. Kalau mal mustafad itu benatang ternak sedangkan si pemilik mempunyai ternak sejenis, maka mal mustafad binatang ternak itu mengikuti tahunnya binatang ternak yang ada.
3. Menurut Imam Asy-Syafi’i
Mal Mustafad tidak dizakati sebelum setahun, meskipun si pemilik mempunyai harta yang sejenis, kecuali anak ternaknya sendiri, maka mal mustafad yang berupa anak ternaknya sendiri dizakati mengikuti induknya.
4. Menurut Imam Ibnu Hazm
Mengkritik penafsiran ulama empat tersebut dan ia menyatakan pendapat-pendapat tersebut tanpa dalil sama sekali. Menurut dia, semua harta itu disyaratkan setahun, baik harta mustafad maupun tidak, baik anak binatang ternak maupun tidak.
5. Menurut Daud az-Zahiri
Mal mustafad wajib zakat tanpa syarat sampai setahun.
5. Menurut Yusuf al-Qardawi
Mal mustafad seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong dan penghasilan modal diluar perdagangan, persewaan mobil, perahu, penerbangan, hotel, tempat hiburan dan lain sebagainya, wajib dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sesampainya setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut.
Landasan fikih (at-takyif al-fiqhi) zakat profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan).  Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul  bagi harta zakat, yaitu hadits Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi Saw  bersabda: "Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul." (HR Abu Dawud). [[7]]

B.       Syarat Wajib Zakat

Ada 2 syarat wajib zakat, yang pertama menyangkut orang dan yang kedua berkenaan dengan harta. Syarat yang berkenaan dengan orang yang wajib zakat, diantaranya :
1.    Islam
Ini berdasar pesan Rasulullah saw. kepada Mua’dz bin Jabal saat mengutusnya ke Yaman, “… beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dari para orang kaya dan dibagikan kepada para orang fakir.” (muttafaq alaih). Artinya zakat adalah kewajiban yang tidak diwajibkan kepada seseorang sebelum masuk Islam. Meskipun zakat itu adalah kewajiban sosial yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat, tetap saja zakat merupakan ibadah dalam Islam. Dan makna ibadah inilah yang lebih dominan sehingga tidak diwajibkan atas non muslim. 
2.    Merdeka
Menurut kesepakatan ulama tidak ada zakat atas hamba sahaya, sebab hamba sahaya tidak bisa memiliki apa-apa, bahkan tuannyalah yang memiliki apa yang ada ditangan hambanya. Begitu juga tidak ada zakat atas mukatab ( hamba sahaya yang dijanjikan akan merdekakan oleh tuannya dengan catatan menebus dirinya ) atau sesamanya, sebab walupun ia memiliki harta, maka kepemilikan hartanya tidak penuh. Dengan demikian menurut mayoritas ulama, zakat diwajibkan atas tuan, sebab dialah yang memiliki harta hambanya. Oleh sebab itu zakat diwajibkan atas tuannya, seperti halnya harta yang berada ditangan syarik dalam sebuah usaha perdagangan dan di tangan wakil. Mazdhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada zakat pada harta milik seorang hamba sahaya, baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas tuannya, sebab harta bendanya milik hamba sahaya yang tidak penuh.Padahal zakat hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh.

3.    Baligh dan berakal
Baligh dan berakal merupakan syarat bagi mazdhab hanafi, sehingga tidak ada beban zakat bagi harta anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak termasuk dalam kriteria orang yang wajib menunaikan ibadah seperti shalat dan puasa. Sedang menurut mayoritas ulama, keduanya dipandang bukan sebagai syarat. Oleh sebab itu zakat wajib dikeluarkan dari harta anak kecil dan orang gila. Namun yang  wajib mengeluarkan zakatnya adalah walinya, berdasarkan hadist berikut :
منْ وَلَى يَِتـيْمًا لهُ مَالٌ فَـلْيَـتَّجِرْ لَهُ. وَلا يَتْرُكهُ حـتَّى تَأكـلهُ الصََّدقَـة
Artinya:
barang siapa menjadi wali atas anak yatim yang mempunyai harta, maka hendaklah ia memperdagangkan untuknya. Dia tidak boleh membiarkannya sehingga harta tersebut habis dimakan zakat “.
Sedangkan yang menyangkut harta, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang telah memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1.      Kepemilikan penuh (Milk at-Taam) Maksudnya, penguasaan seseorang terhadap harta kekayaan sehingga bisa menggunakannya secara khusus. Karena Allah swt. mewajibkan zakat ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya. Perhatikan firman Allah swt. ini, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103)
Karena itulah zakat tidak diambil dari harta yang tidak ada pemiliknya secara definitif. Seperti al-fa’i (harta yang diperoleh tanpa perang), ghanimah, aset negara, kepemilikan umum, dan waqaf khairi. Sedang waqaf pada orang tertentu, maka tetap kena wajib zakat menurut pendapat yang rajih (kuat) .
Tidak wajib zakat pada harta haram, yaitu harta yang diperoleh manusia dengan cara haram, seperti ghasab (ambil alih semena-mena), mencuri, pemalsuan, suap, riba, ihtikar (menimbun untuk memainkan harga), menipu. Cara-cara ini tidak membuat seseorang menjadi pemilik harta. Ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka ia wajib bersedekah dengan keseluruhannya. 
2.      Berkembang (an-Nama) artinya, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus harta yang berkembang aktif, atau siap berkembang, yaitu harta yang lazimnya memberi keuntungan kepada pemilik. Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya.” (HR.Muslim). Dari hadits ini beberapa ulama berpendapat bahwa rumah tempat tinggal dan perabotannya serta kendaraan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harta itu disiapkan untuk kepentingan konsumsi pribadi, bukan untuk dikembangkan. Dari ini pula rumah yang disewakan dikenakan zakat karena dikategorikan sebagai harta berkembang, jika telah memenuhi syarat-syarat lainnya.
3.      Mencapai nishab, yaitu batas minimal yang jika harta sudah melebihi batas itu, wajib mengeluarkan zakat; jika kurang dari itu, tidak wajib zakat. Jika seseorang memiliki kurang dari lima ekor onta atau kurang dari empat puluh ekor kambing, atau kurang dari dua ratus dirham perak, maka ia tidak wajib zakat. Syarat mencapai nishab adalah syarat yang disepakati oleh jumhurul ulama. Hikmahnya adalah orang yang memiliki kurang dari nishab tidak termasuk orang kaya, sedang zakat hanya diwajibkan atas orang kaya untuk menyenangkan orang miskin. Hadits Nabi, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (Bukhari dan Ahmad)
4.      Nishab itu sudah lebih dari kebutuhan dasar pemiliknya sehingga ia terbukti kaya. Kebutuhan minimal itu ialah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi ia akan mati. Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, alat kerja, alat perang, dan bayar hutang. Jika ia memiliki harta dan dibutuhkan untuk keperluan ini, maka ia tidak zakat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah swt., “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.” (Al-Baqarah: 219). Al-afwu adalah yang lebih dari kebutuhan keluarga, seperti yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir. Demikian juga yang Rasulullah saw. katakan, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (HR.Bukhari dan Ahmad). Kebutuhan dasar itu mencakup kebutuhan pribadi dan yang menjadi tanggung jawabnya seperti isteri, anak, orang tua, kerabat yang dibiayai.

5.        Pemilik lebih dari nishab itu tidak berhutang yang menggugurkan atau mengurangi nishabnya. Karena membayar hutang lebih didahulukan waktunya daripada hak orang miskin, juga karena kepemilikan orang berhutang itu lemah dan kurang, orang yang berhutang adalah orang yang diperbolehkan menerima zakat, termasuk dalam kelompok gharimin.

Syarat hutang yang menggugurkan atau mengurangi zakat itu adalah:
a.         hutang yang menghabiskan atau mengurangi nishab dan tidak ada yang dapat digunakan membayarnya kecuali harta nishab itu.
b.         hutang yang tidak bisa ditunda lagi, sebab jika hutang yang masih bisa ditunda tidak menghalangi kewajiban zakat.
c.         Syarat terakhir, hutang itu merupakan hutang adamiy (antar manusia), sebab hutang dengan Allah seperti nadzar, kifarat tidak menghalangi kewajiban zakat.
6.      Telah melewati masa satu  tahun ( haul ). Harta yang sudah mencapai satu nishab pada pemiliknya itu telah melewati masa satu tahun qamariyah penuh. Syarat ini disepakati untuk harta seperti hewan ternak, uang, perdagangan. Sedangkan pertanian, buah-buahan, madu, tambang, dan penemuan purbakala, tidak berlaku syarat satu tahun ini. Harta ini wajib dikeluarkan zakatnya begitu mendapatkannya. Dalil waktu satu tahun untuk ternak, uang, dan perdagangan adalah amal khulafaur rasyidin yang empat, dan penerimaan para sahabat, juga hadits Ibnu Umar dari Nabi saw., “Tidak wajib zakat pada harta sehingga ia telah melewati masa satu tahun.” (HR Ad-Daru Quthni dan Al-Baihaqi).[[8]]
C.  Harta  Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Harta (maal) yang wajib dikeluarkan zakatnya dapat dibedakan atas obyek zakatnya antara lain:
1.      Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba).
a.       Nishab zakat unta
Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Onta yang kurang dari lima  ekor tidak dipungut zakat." 
Maka Nishab onta adalah 5, maka barangsiapa memiliki 4 ekor onta, ia belum wajib zakat. Zakat wajibnya seperti dalam tabel berikut ini :
Jumlah
Zakat wajibnya
5 – 1 9
Seekor kambing
10 – 14
Dua ekor kambing
15 – 19
Tiga ekor kambing
20 – 24
Empat ekor kambing
25 – 35
1 bintu makhadh/anak onta yang induknya sedang hamil (usia > 1 tahun)
36 – 45
1 bintu labun/anak onta yang induknya sedang menyusui (usia > 2 tahun)
46 – 60
1 onta hiqqah (onta betina berusia > 3 tahun)
61 – 75
1 onta jadza’ah ( onta betina berusia  > 4 tahun)
76 – 90
2 ekor onta bintu labun
91 – 120
2 hiqqah
Lebih dari 120, maka setiap 50 ekor zakatnya satu hiqqah, dan setiap 40 ekor zakatnya satu bintu labun.[[9]]
b.    Nishab dan besar zakat sapi
Nishab sapi yang dipilih oleh empat madzhab adalah 30 ekor sapi. Kurang dari itu, tidak wajib zakat.
Mulai
Sampai
Besar zakat wajibnya
1
29
Tidak wajib zakat
30
39
Seekor Ta bi’ ( sapi berusia > 1 th )
40
59
Seekor Mu’sinah ( Sapi berusia > 2th )
60
69
2 ekor anak sapi
70
79
1 ekor Tabi’ dan 1 ekor Mussinah
Setiap 30 ekor, zakatnya 1 ekor sapi jantan/betina umur 1 th Dan setiap 40 ekor, zakatnya 1 ekor
Dalil masalah ini adalah hadits Masruq dari Mu’adz bin Jabal. Muadz berkata, “Rasulullah saw. mengutusku ke Yaman, dan menyuruhku untuk mengambil setiap 30 ekor sapi, seekor tabi’ jantan atau betina, dan setiap 40 ekor zakatnya satu ekor musinnah.”
Namun, Said bin Al Musayyib dan Ibnu Syihab Az Zuhriy berpendapat bahwa nishab sapi adalah sama dengan nishab onta, yaitu 5 ekor. Imam At-Thabari berpendapat bahwa nishab onta adalah 50 ekor. [[10]]
Nishab dan besar zakat kambing :
Hukumnya wajib berdasarkan As-Sunnah dan Ijma’. Abu Bakar r.a. memberikan catatan kepada Anas r.a. tentang nishab hewan ternak, seperti yang telah disebutkan di depan. Al-Majmu’ (Imam An-Nawawi) dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah) menyebutkan telah terjadi ijma’ tentang wajib zakat kambing. Besar zakat kambing seperti yang ditulis Abu Bakar r.a. dapat dilihat dalam table berikut ini:

Mulai
Sampai
Besar zakat wajibnya
1
39
Tidak wajib zakat
40
120
Seekor kambing
121
200
Dua ekor kambing
201
299
Tiga ekor kambing
300
399
Empat ekor kambing
400
499
Lima ekor kambing
Berikutnya setiap seratus ekor kambing zakatnya satu ekor kambing
Perlu dicatat di sini, bahwa syariah Islam meringankan zakat kambing. Semakin banyak, zakatnya 1%, padahal persentase zakat yang lazim 2,5%. Hikmah yang tampak adalah, bahwa kambing itu banyak yang kecil karena dalam setahun ia beranak lebih dari sekali, dan setiap kali beranak lebih dari satu ekor, terutama domba. Kambing-kambing kecil ini dihitung, tetapi tidak bisa digunakan untuk membayar zakat. Dari itulah keringanan ini tidak menjadi kecemburuan pemilik onta dan sapi atas pemilik kambing. Sedangkan bilangan 40 pertama, wajib mengeluarkan zakatnya seekor kambing, karena di antara syaratnya -menurut pendapat yang rajah (kuat) - 4 ekor kambing itu telah dewasa. Dan inilah pendapat madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i dalam membahas zakat seluruh hewan ternak.
2.    Emas Dan Perak ( Nuqud )
Dari Ali bin Abi Thalib r.a. dari Nabi saw. bersabda, "Jika kamu memiliki dua ratus dirham dan sudah sampai haul, maka zakatnya lima dirham, dan kamu tidak wajib mengeluarkan zakat yaitu dari emas sebelum kamu memiliki dua puluh dinar. Jika kamu memiliki dua puluh dinar dan sudah sampai haul, maka zakatnya ½ dinar." (HR Abu Daud )
Dari hadits di atas maka kita ketahui bahwa nishab emas ialah sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar islam. 1 dinar = 4,25 gr emas Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni. sedangkan  perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.  Termasuk dalam kategori emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada waktu itu di masing-masing negara.  Oleh karena segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya, termasuk kedalam kategori emas dan perak. sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak.
Pada emas dan perak atau lainnya yang berbentuk perhiasan yang digunakan, asal tidak berlebihan maka tidak diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.

3.    Barang Perniagaan/Perdagangan
Nishabnya ialah senilai 85 gram emas murni dalam satu tahun = zakatnya 2,5%, Barang perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjualbelikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dan lain-lain.

4.    Hasil Pertanian
Tanaman-tanaman dan buah-buahan yang terkena wajib zakat hanya ada empat macam. Berdasar hadits dari Abi Burdah dari Abu Musa dan Mu'adz r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus keduanya ke Yaman menjadi da'i di sana, lalu beliau memerintah mereka agar tidak memungut zakat, kecuali dari empat macam ini: gandum sya'ir (sejenis gandum lain), kurma kering, dan anggur kering."
Terdapat beberapa pendapat atas jenis tanaman yang terkena zakat diatas :
a.    Hasil pertanian yang terkena wajib pajak ialah hanya seperti tersebut diatas (gandum, padi, kurma dan anggur kering) Pendapat Hasan Bashri
b.    Hasil pertanian yang tumbuh-tumbuhan atau tanaman merupakan makanan pokok (pendapat Imam Syafi’i).
c.    Hasil pertanian yang tanamannya bernilai ekonomis baik makanan pokok atau sayur-sayuran dan buah-buahan kecuali rumput dan pohon yang tidak berbuah.

5.    Kekayaan Laut
Ma’din ( hasil tambang ) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seprti perak,emas, timah,  tembaga, marmer, minyak bumi, batu bara dan lain-lain, kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut, seperti mutiara, ambar dan lain-lain.

6.    Rikaz / Barang temuan
Rikaz adalah  harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut Harta Karun. Termasuk didalamnya harta yang diketemukan dan tidak ada yang mengakui sebagai pemiliknya.
Rikaz, (barang galian) ialah harta karun yang didapat tanpa niat mencari harta terpendam dan tidak perlu bersusah payah. Zakat dari rikaz ini harus segera dikeluarkan, tanpa dipersyaratkan haul (melewati setahun) dan tidak pula nishab. Berdasarkan keumuman sabda Nabi saw., "Dalam barang rikaz itu ada zakat (yang harus dikeluarkan) sebanyak seperlima bagian (20%)." (Muttafaqun ‘alaih).[[11]]

C.    Tujuan dan Manfaat Zakat Uang
Seperti diisyaratkan dalam ayat 103 dari surat At-Taubat, bahwa secara teologis kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan sekaligus membersihkan jiwa pemiliknya dari berbagai kotoran rohani. Dan secara sosial menunjukkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga terjalin persaudaraan yang kokoh di masyarakat yang saling menolong dan saling menyayangi.
            Rasulullah SAW memberikan petunjuk agar mengeluarkan zakat secara proporsional, sehingga harta yang digunakan untuk keperluan keluarga adalah harta yang sudah bersih, sedangkan harta yang dikeluarkan untuk kelompok fakir miskin berfungsi sebagai tali kasih yang memperkokoh persaudaraan dan kekeluargaan. Fungsi dan manfaat zakat yang lain disebutkan oleh Wahbah az-Zuhaily antara lain :
1.   Menghindari kecemburuan sosial sehingga harta menjadi aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di masyarakat.
2.   Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin. Apabila mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan sebagi modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai kerampilan, maka akan dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya.
3.   Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang tidak terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mu’min yang telah membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan.
4.   Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan kemudahan-kemudahan mencari rizki. Bukankah banyak orang  yang telah bekerja keras dan  membanting tulang tetapi rizkinya pas-pasan.[[12]]
Menurut Yusuf  Qardhawi : Sesungguhnya kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar, maka dimanfaatkanlah oleh orang-orang yang mengedarkannya.  Sebaliknya penyimpanan dan pemendamannya akan menyebabkan tidak lakunya pekerjaan-pekerjaan, merajalelanya pengangguran, matinya pasar-pasar, dan mundurnya kegiatan perekonomian secara umum[[13]].
E. CARA-CARA MENGELUARKAN ZAKAT GAJI  BULANAN
Sebelum kita mengetahui bagaimana cara mengeluarkan zakatnya maka terlebih dahulu kita mengetaui berapa kadar / nishab harta ( penghasilan ) yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Muhammad Al-Ghazali menggunakan pendekatan analogis (al-qiyas) dalam menentukan nisab dan kadar zakat profesi. Beliau menyamakan jasa profesi dengan pertanian dan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya hanya memperhitungkan keuntungan (miqdar al-dakhl), tidak memperhitungkan modal, karena modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan pikiran Muhammad Al-Ghazali ini berakar dari masalah pembebanan kewajiban zakat. Menurut beliau obyek zakat secara garis besarnya dapat dibagi dua :
1.               Harta kekayaan yang menggunakan modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang, yaitu modal uang tunai (al-nuqud) dan modal barang-barang dagangan.
2.               Harta kekayaan yang relatif tetap yang hanya memperhitungkan keuntungan yang masuk, seperti tanah-tanah pertanian dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi disamakan dengan jasa tanah-tanah pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya tidak menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya menghitung hasilnya saja. Berbeda dengan modal uang atau barang-barang dagangan, dalam hal ini modal dan keuntungannya dihitung dan dijumlahkan.
Pemikiran Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sector perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller, garmen dan sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata. Nisabnya 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras  dan kadar zakatnya 5-10%.[[14]]
Yusuf Qardhawi mempunyai pendapat lain, beliau mengakui betapa rendahnya nisab sektor pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang diwajibkan, yaitu nisabnya 12 kwintal gabah  x Rp 330.000,- = Rp 3.960.000,-  atau 7.20 kwintal beras x Rp 5.500,- = Rp 3.960.000,- sedangkan kadar zakatnya 10%  yaitu 120 kg gabah atau 72 kg beras = Rp 396.000,-  atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg gabah atau 36 kg beras = Rp 198.000,- (dengan perhitungan 5 wasaq x 60 sha’ x 4 mud x 0,6 kg dan setiap 1 kwintal gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusuf Qardhawi memberikan komentar barang kali pembuat syari’at menghendaki demikian karena hasil pertanian menjadi bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya beliau  menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih tepat, yaitu bahwa hasil profesi disamakan dengan uang emas (al-nuqud), bukan dengan pertanian (al-zuru’). Alasannya karena gaji pegawai atau  imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan uang tunai. Dengan demikian nisabnya 85 gram emas atau  Rp 30.600.000,- (dengan perkiraan harga Rp 360.000,-/gram) dan kadar zakatnya 2,5% Rp 765.000,-  Pendapat Yusuf  Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar :
a.       Pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum).
b.      Pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi).
Maka menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam. Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sektor pertanian sebesar Rp 3.960.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 396.000,- atau Rp  198.000,- adalah  memberatkan. Karena kaum  tani yang memperoleh  penghasilan 12 kwintal permusim (lebih kurang selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum termasuk  kategori orang kaya, apa lagi dengan membebankan kadar zakat yang cukup tinggi, yaitu 10%. Hal ini bertentangan dengan prinsip zakat, yaitu diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang cara penghitungan nisab, maka cara mengeluarkan zakatnya ada beberapa opsi :
1.  Menganalogkan zakat profesi dengan  zakat penghasilan bumi baik nisab maupun kadarnya karena kedua-duanya sama-sama hasil jasa. Maka nisabnya senilai Rp 3.960.000,- dan zakatnya Rp 396.000,- atau Rp  198.000,- dikeluarkan pada saat menerima gaji atau jasa profesi tersebut (wa’tu haqqahu yauma hashadih).
2.  Menganalogkan zakat profesi dengan zakat emas atau perdagangan secara mutlak, mengingat karena kedua-duanya berbentuk usaha (kasab al-’amal). Maka nisabnya Rp 30.600.000,- dan zakatnya Rp 765.000,- dengan memandang bahwa tahun adalah satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan (haul) dan seluruh pendapatan dalam tahun itu dijumlahkan dengan asumsi bahwa zakat adalah kewajiban yang dibebankan kepada nilai (al-qimah), bukan kepada materinya (al-’ain). Pembayarannya dapat dilaksanakan pada akhir tahun (haul) atau dicicil pada setiap menerima gaji atau hasil profesi

3.     Ada pendapat lain yang mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu zakat pada gaji bisa dianalogikan pada dua hal secara sekaligus, yaitu pada zakat pertanian dan pada zakat emas dan perak.. Dari sudut nisab dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu sebesar lima ausaq atau senilai 653 kg padi/gandum dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Karena dianalogikan pada zakat pertanian maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul. Ketentuan waktu menyalurkannya adalah pada saat menerimanya. Penganalogian zakat profesi dengan zakat pertanian dilakukan karena ada kemiripan diantara keduanya, yaitu pada waktu  memanen/menerima gaji itu. Sedangkan dari sudut kadar zakat, maka dianalogikan pada zakat uang, karena memang gaji pada umumnya diterima dalam bentuk uang,  karena itu kadar zakatnya adalah sebesar rub’ul usyri atau 2,5 %.
Contoh qiyas syabah diatas, adalah sebagaimana hamba sahaya yang diqiyaskan pada dua hal sekaligus, yaitu pada manusia dan pada hewan piaraan yang dapat diperjual belikan.[[15]]


[1] Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah.  Jld II (2008) Jakarta :Pena Pundi Aksara. Hal : 276

2 Wahbah az-Zuhaily. Al-Fiqh Islamiyah Al-Wa’adillatuh. Jld 2 (1985) Damaskus:Darul fiqr. Hal: 865-866.

[3] Didin Hafidhuddin.  Zakat dalam Perekonomian Modern (2002) Jakarta:Gema Insani Press. Hal : 95

[4] Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer (2002). Jakarta: Salemba Diniyah. Hal: 62.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, pengantar Jalaluddin Rahmat, (1995) Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal : 275

[6] Loc Cit
[7] Wahbah az-Zuhaily. Al-Fiqh Islamiyah Al-Wa’adillatuh. Jld 2 (1985) Damaskus: Darul fiqr. Hal : 756-758
[8] Wahbah az-Zuhaily. Al-Fiqh Islamiyah Al-Wa’adillatuh. Jld 2 (1985) Damaskus: Darul fiqr. Hal : 738-740
[9] Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib, Jld 1 (1983) Kudus: Menara Kudus. Hal 23-24
[10] Loc Cit
[11] Ibid hal 25
[12] Wahbah az-Zuhaily. Al-Fiqh Islamiyah Al-Wa’adillatuh.Jld II (1985) Damaskus: Darul fiqr. Hal:732-733

[13] Yusuf Qardawi, Hukum zakat,( 2007) Jakarta: Litera Antarnusa. Hal 11
[14] Ibid. hal : 483 & 510
[15] Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (2002) Jakarta: Gema Insani. hal.97-98

Di ajukan untuk memenuhi Tugas mata Kuliah Fiqh.

Wallahu a'lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar