Suatu hari Ibnu abbas mengunjungi Aisyah, lalu ia bertanya kepada Aisya. Wahai Aisyah ! ada seorang laki-laki yang sedikit bangunnya dan banyak tidurnya, kemudian ada lagi orang yang sedikit tidurnya dan banyak bangunnya, mana yang lebih kau sukai diantara keduanya wahai aisyah ? Aisyah lalu menjawab, saya pernah bertanya kepada Rasul sebagaimana yang kau tanyakan saat ini kepadaku, dan jawaban Rasul adalah, “ yang paling baik diantara keduanya adalah orang yang paling baik akalnya.
Dari dialog diatas, jelas bagi kita bahwa nilai pembeda ( value different ) sekaligus nilai tambah ( value added ) antara manusia yang satu dengan yang lain adalah akal, yaitu akal yang dapat dipergunakan dengan semestinya.
Para ulama Mantiq mendefinisikan manusia dengan istilah yang populer ” al-insan hayawan an-natiq ” ( manusia adalah hewan yang berakal ), The thinking animal. artinya bahwa manusia itu adalah hewan, namun yang membedakannnya dengan hewan lain adalah bahwa ia itu berakal. jadi akal adalah nilai pembedanya. sebab jika manusia akalnya sudah konslet tak ubahnya ia seperti hewan dalam sudut pandang psikologis maupun psikis ( bukan fisik )
Dengan landasan ini, sudah cukup bagi kita betapa pentingnya akal dan penggunaannya bagi manusia. Oleh karenanya maka jangan heran bila para ulama fiqh menetapkan : syarat sahnya beribadah adalah jika seseorang dinyatakan a’qil ( berakal ) dan tidak ada taklif apapun bagi orang yang tidak berakal ( Orang yang tidak berakal bukanlah mukallaf ).
Dengan adanya akal yang kita miliki, kita di tuntut untuk mempergunakannya dengan semestinya dalam bentuk berpikir yang sehat, logika yang benar, nalar yang tidak semrawut sebab berpikir yang benar merupakan titik tolak kemajuan seorang manusia dan tergantung kepada kwalitas berpikirnya ukuran keunggulannya.
Memang kita harus mengakui bahwa berpikir secara benar dan teliti adalah sesuatu yang cukup sulit, sebab didalam aktivitas berpikir kita sangat dituntut untuk sanggup mengamati sesuatu yang kita pikirkan secara cermat, mampu melihat segala hubungan dan kejanggalan, menjauhi sikap pembenaran diri ( rasionalisasi ) yang di cari-cari, menepis prasangka dan praduga, membuang jauh-jauh pembutaaan oleh rasa pribadi atau kelompok ( fanatisme ).
Pemikiran kita terhadap sesuatu bisa menjadi subyektif manakala kita menganggap benar apa yang kita sukai, apa yang kita kehendaki. Dan ketika pemikiran kita sudah tercampur dengan perasaan dengan tanpa landasan logika, maka perasaan itu sering kali mengelabui kita, mengaburkan pandangan kita dan berakibat terjadinya suatu kesimpulan yang ngawur dan gegabah.
Dan lebih Subyektif lagi jika seseorang menerima secara bulat-bulat suatu ungkapan-ungkapan dan pemahaman–pemahaman yang salah kaprah ( salah tetapi terlanjur di anggap benar dalam suatu masyarakat yang malas berpikir kritis ). Pendapat dan pemahaman umum tersebut sering kali mempengaruhi jalan pemikiran kita. Sebagai makhluq yang berakal kita harus menggunakan akal sehat dalam semua bidang kehidupan dengan memahami dan meyakini segala sesuatu, serta mendasarkan segala tindakan kita atas pertimbangan-pertimbangan yang ” masuk akal ” .
Hal ini, sangat dibutuhkan bagi kita sebagai penghuni dunia abad ini ( Era kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi ). Dimana kita harus cakap dalam berpikir dengan obyektif, rasional, kritis dan tidak hanya membeo dan memakan mentah-mentah terhadap segala sesuatu yang ada dalam media komunikasi dan informasi maupun yang beredar pada lingkungan masyarakat atau pernyataan seseorang. Dengan demikian kita mampu membedakan mana yang benar dan salah dengan mendasarkan pada nalar dan logika yang tepat, bukan atas dasar emosi ( cinta atau benci ), perasaan pribadi dan prasangka.
Standarisasi Suatu Pemikiran
Tujuan Pemikiran manusia adalah mencapai suatu pengetahuan yang benar, meski dalam kenyataannya hasil pemikiran dan alasan–alasan yang di kemukakan belum tentu selalu benar. Dengan konsep yang sederhana kita dapat merumuskan bahwa : ( Benar = sesuai dengan kenyataaan ) dan ( salah = tidak sesuai dengan kenyataan ).
Dengan demikia, Standar untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang tetapi sesuai atau tidakkah dengan kenyataan yang sesungguhnya. Suatu contoh misalnya ; ” Pohon itu tumbang karena tanah longsor ”, padahal dalam kenyataannya tidak terjadi tanah longsor maka ucapan dan pendapat tersebut tidak benar alias salah besar ( betapapun seseorang merasa yakin atas ucapannya itu ). Sebab faktanya tidak ada tanah longsor di tempat itu.
Kekeliruan lain yang sering kita dapati adalah, banyak orang yang terlalu cepat menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dan menganggap pasti sesuatu yang belum pasti atau melakukan generalisasi yang tergesa-gesa misalnya ucapan seperti ; Orang desa itu bodoh, Orang poris itu doyan kawin, orang timur itu halus, Perokok itu kurus badannya. Ucapan–ucapan seperti itu dikemukakan seakan–akan berlaku universal ( untuk semua ) padahal sama sekali belum tentu adanya demikian. Kalau ada beberapa perokok seperti si Iwan dan si Batok yang kurus badannya, belumlah cukup menjadi dasar bahwa semua perokok itu kurus badannya, nyatanya si Aziz, si Fadli, si Usman, si Ilul. yang kesemuanya itu merupakan pecandu rokok, gemuk badannya. Demikian pula halnya dengan pernyataan ” Orang poris itu doyan kawin ”, Kalau ada sebagian orang poris yang doyan kawin ( kawin lebih dari satu ) belumlah cukup menjadi dasar bahwa semua orang poris itu doyan kawin. Kesalahan seperti ini disebut generalisasi yang tergesa-gesa, karena menyatakan sesuatu berlaku umum, untuk semua. padahal sebenarnya tidak berlaku secara umum dan merata.
Agar suatu pemikiran dan penalaran menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, paling tidak harus memenuhi beberapa syarat :
Pertama : suatu pemikiran harus Realistis ( harus berdasarkan pada kenyataan yang sesungguhnya ) dan titik pangkalnya harus benar. Suatu pemikiran bila tidak berdasarkan pada kenyataan dan dalil yang benar, maka tidak akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, meskipun jalan pemikiran tersebut bersifat logis dan rasional. Suatu contoh misalnya ; Karena sakit si Budi mati, sekilas memang benar menurut kita contoh seperti ini, karena hubungan antara sakit dan mati adalah suatu hubungan yang logis. Tetapi kalau dalam kenyataannya si budi mati bukan sebab sakit, tapi karena di tabrak mobil. Maka kesimpulan seperti ini jelas tidak benar karena titik pangkalnya tidak benar dan tidak sesuai pula dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Meminjam istilah para ulama ushuliyyin ( ahli ushul fiqh ), cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang harus relevan antara dalil dan istidlal.
Kedua : Alasan dan argumentasi yang di ajukan dalam suatu pemikiran bukan dengan landasan mistik, bersifat prediksi dan praduga yang ngaco, namun berlandaskan pada sesuatu yang logis, rasional ( masuk akal ).
Masak orang berakal seperti kita harus percaya sama ki joko bodo, imam suroso, mama laurent dan dedi corbuzier sih.
Dan sangat tidak lucu lagi kalo aktivitas kehidupan kita harus ditentukan dengan bunyi tokek, suara burung tutit-tutit, Hitung-hitungan hari. Sungguh!!! Hal seperti ini sangat tidak rasional .....
Ketiga : Langkah-langkah pemikiran harus lurus dan berimbang. Sebab bisa jadi suatu pemikiran mempunyai titik pangkal yang benar tetapi langkah-langkah pemikiran tersebut tidak mempunyai hubungan yang relevan, akibatnya kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat dan salah.
Suatu contoh :
Semua orang bertato adalah penjahat
Dan semua penjahat harus dihukum
Jadi, semua orang yang bertato harus dihukum.
Sepintas, langkah dan jalan pemikiran ini cukup logis, tetapi kesimpulannya adalah salah sebab titik pangkal yang ditetapkan salah. Orang bertato itu tidak sama dengan penjahat. Meskipun sebagian penjahat itu bertato .
Atau contoh :
Semua sapi itu binatang
Semua kuda itu binatang
Jadi, sapi itu kuda
Titik pangkal pada kalimat pertama dan kedua ini adalah benar, tetapi kesimpulannya salah sebab tidak relevan antara titik pangkal dan kesimpulan .
Dalam suatu bentuk pemikiran, ada juga istilah yang dikenal dengan nama Open system problems ( system terbuka ), dan bentuk pemikiran seperti ini amat banyak beredar di kalangan masyarakat ; seperti contoh: jangan hujan-hujanan nanti terkena demam,jangan duduk diatas bantal lho nanti bisulan, kamu harus membaca amalan ini nanti kamu jadi orang kaya, jangan berenang dan mandi di air sekotor ini nanti terkena penyakit kulit. Bentuk pemikiran seperti ini sebetulnya bersumber dari suatu pengalaman seseorang atau orang lain, lalu di tarik suatu kesimpulan yang bersifat umum ( induksi ); memang berenang di air yang kotor bisa menyebabkan penyakit kulit, tapi apakah setiap orang yang berenang di air yang kotor akan terkena penyakit kulit? mungkin, tapi belum tentu demikian! dan apakah setiap orang yang kehujanan pasti jatuh sakit ! dan apakah setiap orang yang membaca bacaan tertentu pasti jadi kaya !! belum tentu .
Termasuk juga dalam bentuk pemikiran jenis ini, seperti orang yang mengatakan ; kalau ibu A kamu tempatkan di samping ibu B, mereka pasti bertengkar. Seseorang menyatakan dengan sebuah kesimpulan seperti ini, karena di landasi oleh pengetahuannya bahwa ibu A dan ibu B itu bermusuhan, dan ketika ada orang lain yang menginformasikan bahwa kedua ibu tersebut telah berbaikan bahkan sudah menjalin suatu persahabatan yang cukup karib, maka kesimpulan tentang mereka berdua pasti bertengkar bila bertemu sudah tidak pasti lagi.
Dan banyak contoh-contoh lain yang sering kita temui dalam persoalan kehidupan sehari-hari, baik dari pemahaman yang beredar di lingkungan masyarakat kita atau dari berita, ceramah dan isu-isu yang berkembang. Persoalan–persoalan seperti ini disebut Open system problems di mana semuanya tidak dapat di pastikan sebagaimana halnya dalam soal-soal ilmu pasti, selalu ada kemungkinan “dari luar” , yang mungkin bisa mengubah suatu kesimpulan yang telah dinyatakan .
Berbeda halnya dengan jenis pemikiran yang Closed system problems (sistem tertutup) yang telah di landasi oleh suatu rumusan dan aturan–aturan logika yang sudah pasti. Jika sudah di ketahui rumusan-rumusannya, maka dengan jalan pikiran yang logis dapat di tarik kesimpulan-kesimpulan yang pasti; dan tidak akan ada seseorangpun “ dari luar “ yang dapat menggoyangkan jalan pikiran atau kepastian kesimpulan. seperti halnya persoalan-persoalan dalam ilmu matematika, main catur, system mekanika. dan lain-lain. Selamanya, dan siapapun, kapanpun, dimanapun pasti setiap orang menyatakan bahwa 2+2=4 , sebuah segitiga sama sisi ketiga sudutnya adalah 180 derajat .
Lazim bagi kita untuk menumbuh kembangkan sikap kritis di era seperti ini agar kita tidak selalu menjadi obyek pembodohan massal oleh pemikiran–pemikiran seseorang atau informasi-informasi sampah yang banyak kita temui di internet, face book atau media-media informasi lainnya. Dengan kita selalu mempertanyakan kesemuanya itu melalui beberapa pertanyaan kritis :
1- Apa dasar dan alasan seseorang menyatakan pemikiran demikian? dan apakah cukup alasannya? bila pemikiran tersebut bersifat islami, apa dalilnya dan bagaimana cara istidlalnya?
2- Bagaimana jalan pemikirannya ? dan bagaimana langkah-langkahnya? dan apakah relevan keterkaitan satu langkah dengan langkah pemikiran berikutnya?
3- Apakah pernyataan itu tepat dan benar ? pasti ? sangat mungkin? atau sangat mungkin tidak benar?
4- Atas dasar informasi apakah pernyataan itu dikemukakan? apakah informasi tersebut benar?
5- Apa konsekwensinya jika pernyataan tersebut dipikirkan lebih lanjut? dan apakah ada hal lain yang dapat disimpulkan dari pernyataan tersebut?
6- Jika kita tidak setuju dengan pemikiran dan pernyataan seseorang, argumentasi apa yang harus kita miliki untuk membantahnya?
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar