Tim Hadroh IRMAP bersama Habib Husain Al-A'thos |
Setiap rabi’ul awwal datang menyapa, masyarakat muslim Indonesia mulai sibuk menyusun acara untuk mengenang kelahiran Nabi Agung Muhammad Saw yang kerap di sebut Maulid Nabi, bahkan perayaan maulid Nabi ini seakan sudah menjadi sebuah adat dan budaya tersendiri pada masyarakat muslim Indonesia.
Lalu bagaimana sejarah awal mula perayaan maulid Nabi ini ? dan apa motivasi yang melatarbelakanginya ?
Ada beragam versi terkait sejarah tradisi perayaan Maulid Nabi Saw. Ada yang menyebutkan, peringatan Maulid Nabi Saw pertama kali di gelar dan di perkenalkan oleh Abu sa’id al-Qaukabry, seorang gubernur Irbil di negara irak. Syekh Abu bakar bin Muhammad syato’ ad-Dimyati dalam kitabnya I’anat ath-Thalibin menjelaskan : bahwa Imam ibnul jauzy dalam kitabnya Mir’atuz zaman menceritakan tentang peringatan maulid yang di adakan raja Mudhaffar abu sa’id al-Qaukabry, seorang gubernur irbil. diceritakan dalam upacara peringatan itu di sembelih sebanyak 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 roti mentega dan 30.000 piring yang berisi kue-kue. Hadir pada upacara itu, pemuka-pemuka alim ulama , ahli tasawwuf dan orang-orang besar lainnya, biaya seluruhnya mencapai 300.000 dinar, dan mulai saat itu hingga kini umat islam serentak memperingati maulid nabi Muhammad Saw .
Ada pula yang berpendapat bahwa ide itu justru berasal dari sultan shalahuddin al-Ayyubi , the great warrior the crusade ( panglima besar perang salib ), tujuannya untuk membangkitkan kecintan ummat kepada nabi Muhammad Saw, serta meningkatkan semangat juang kaum muslim. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan . Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual saja.
Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi , seorang pemimpin yang pandai mengenal hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub –katakanlah- dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW ( 12 Rabi’ul Awal ) yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera men-sosialisasi-kan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji bin husin bin Abdul karim , Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di seluruh pelosok negeri ini {termasuk masyarakat poris } pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya ( al-Barjanzi ) .
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan masyarakat muslim Indonesia termasuk warga masyarakat Poris. Maka setiap masuk bulan Rabi’ul awwal masyarakat kita tidak pernah lupa untuk mengadakan acara maulid Nabi, Acara yang disuguhkan dalam peringatan maulid Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany, ada yang menyelenggarakan acara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, dimana masyarakat secara serentak mengirimkan hidangan dalam bentuk bongsang atau besek ( box makanan khas warga poris ) lalu di sedekahkan kepada para jama’ah yang menghadiri maulid , bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri ratusan sampai ribuan umat Islam dengan memanggil mubaligh-mubaligh kondang.
Dalam rangkaian acara itu, baik yang besar atau yang sederhana ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan kitab al-barjanzi, lidah orang kita menyebutnya ( baca rawi ) atau kitab-kitab sejenis, semisal Simth ad-Durar, ad-Diba’iy, Syaraful anam atau al-Burdah.
Pada perkembangan berikutny, pembacaan barjanzi ( baca rawi ) di lakukan dalam berbagai kesempatan semisal saat acara kelahiran bay, mencukur rambut bayi, pemberian nama ( tasmiyah ), dan aqiqah khitanan, pernikahan serta walimatus safar dll. - kita sering menyebutnya dengan istilah malam rasul - Sebagai tafa’ulan ( pengharapan mencapai sesuatu yang lebih baik ) dan tabarrukan ( mengharap keberkahan ) dengan banyaknya lantunan shalawat yang termaktub dalam kitab tersebut. maka jangan heran bila banyak orang tua dalam masyarakat kita yang hafal bait-bait dalam kitab barjanzi, karena begitu seringnya mereka mendengar bait-bait itu di berbagai event acara di atas .
Dalam Kitab Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
Akhirnya kita berharap semoga kita semua selalu menjadi ummat yang mencintai dan dicintai Allah dan rasul-Nya.
Wallahu a'lam
Penulis : H. Khoirul Anwar S.Si.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar