Akhwat IRMAP |
Singkatnya, pacaran sudah menjadi kenyataan sosiologis dimana saja, dibanyak negara. Alasan dan motifnya bisa jadi macam–macam, tetapi yang jelas, satu anggapan yang seragam bahwa pacaran adalah ajang untuk melakukan penjajakan, saling mengerti pribadi masing-masing, dan akhirnya ada juga yang melanjutkannya ke jenjang pernikahan. meskipun tidak sedikit kenyataan buram yang ditimbulkannya. seperti hamil di luar nikah, kawin lari, degradasi moral, dan lain-lain. Pertanyaannya adalah : Bagaimana hukum islam menyikapi kenyataan ini ? Apa jawaban hukum islam terhadap pacaran ? Bagaimana kalau pacaran adalah bentuk perwujudan cinta kasih tulus antara laki-laki dan perempuan ? Bagaimana, kalau pacaran dilakukan secara serius, dengan motivasi untuk melanjutkannya ke jenjang pernikahan ?
Kita mulai dari bagaimana islam memandang persoalan cinta. Cinta menurut islam adalah sesuatu yang agung. ia ( Cinta ) adalah hak preogratif Allah dan suatu anugerah yang di berikan kepada manusia. Cinta adalah di atas kuasa manusia ( Fauqo mustatha’ al-insan ). Cinta yang tulus, biasanya datang tanpa diundang.dan hanya Allah jua yang mampu menghapus dan membaliknya menjadi rasa yang lain. Al-Qur’an dan hadist menunjukkan kebenaran ungkapan ini .. Dan bahkan orang yang mati karena tak kuasa memanggul beban cinta, termasuk orang-orang yang mati syahid demikian penjelasan Ibnul Qoyyim Al-jauziyah dalam kitabnya Raudhatul muhibbin. Al-Qur’an menggambarkan dengan begitu impressif bagaimana cinta Zulaikha kepada Nabi yusuf As .Qod syagofaha hubba, kata Al-qur’an. Imam Al-alusi dalam kitab tafsirnya Ruhul ma’any menafsirkan syagof sebagai rasa cinta yang menghujam ke dalam lubuk hati, sehingga sulit terhapuskan.
Sampai disini sebenarnya tidak ada masalah, No Problem. Orang bebas untuk mencintai siapa saja dan kapan saja. Asalkan yang bersemayam di dalam hatinya adalah cinta suci, jujur yang merupakan anugerah Allah, ia tidak terkena tuntutan hukum apa-apa. Masalah baru muncul manakala rasa cinta ini berpindah dari dunia rasa ke dunia nyata, berpindah dari alam idiil ke alam riil. Dan oleh karena batas antara cinta dan nafsu teramat tipis, seringkali dalam praktik, sulit membedakan apakah yang sedang kita ekspresikan dan kita nyatakan adalah cinta atau nafsu .
Dan sebagai kelanjutannya, seringkali anak-anak muda menjadikan cinta sebagai landasan pengabsahannya untuk naksir terhadap seorang wanita, mengadakan PDKT ( Pendekatan ) mengirim SMS mesra, telpon-telponan lalu chatting dan on line bersama di facebook, jalan bareng dan pulang larut malam kemudian berpacaran dan bahkan ber-indehoi . Yang memprihatinkan, tidak sedikit orang tua yang cuek bebek dengan kenyataan ini, inilah yang dilansir oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-sunnah :
Lambat laun, banyak orang mengentengkan persoalan ini. Sehingga mereka memperbolehkan puterinya, keluarganya untuk berbaur dengan tunangannya dan berduaan tanpa pengawasan, dan bebas keluyuran kemana saja tanpa arahan, ini yang menyebabkan perempuan kehilangan kemuliaan, rusak akhlaqnya, dan hancur kehormatannya .
Kritik pedas sayyid sabiq ini di tujukan kepada mereka yang sudah sampai pada taraf tunangan ( khitbah ) Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya pacaran ?
Namun bukan berarti islam tutup pintu ( sadd al- bab ) dalam arti laki-laki ditutup aksesnya sama sekali untuk berhubungan dengan perempuan yang belum dinikahinya. Islam tidak menghendaki tindakan ekstrim dalam bentuk apapun. Maka dalam bukunya, Al-hijab, Abul A’la al-Maududi mengambil jalan tengah dalam penjelasannya soal system social dalam islam. Beliau menengahi dua aliran besar system sosial barat dan timur. Barat di wakili oleh struktur budaya yang liberal. Karena tuntutan alami laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling menarik dan menyatu, orang bebas untuk berhubungan dalam bentuk apapun, bahkan kumpul kebo sekalipun. Timur diwakili oleh budaya para rahib, biksu, yang memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang menjijikan dan kotor. Sehingga mereka menjauhi perempuan, sejauh-jauhnya. Islam memandang bahwa hubungan laki-laki dan perempuan adalah insting alami manusia yang wajar dan normal. Tapi, islam tidak lantas mengumbar kebebasan dalam hubungan itu, ia membuat aturan – aturan .
Lantas bagaimana kalau motifasi melakukan pacaran adalah untuk mengenali si perempuan; kecantikannya, bodinya, kesuburannya, sifatnya, kecerdasannya, dan latar belakangnya. Apakah karena semua ini begitu dibutuhkan sebagai landasan awal membangun rumah tangga yang langgeng, bahagia dan sejahtera membuat pacaran menjadi boleh ? tunggu dulu !! untuk inipun hukum islam memberikan rambu-rambu yang jelas .
Pertama-tama, fiqh memang respek dan memberikan perhatian serius soal usaha laki-laki untuk mengerti calon istrinya dan begitu pun sebaliknya. karena pernikahan adalah ikatan kuat ( mitsaqon ghalidza ) yang akan dijalani dalam waktu lama, bahkan sampai ajal merenggut. Sehingga proses awalnya harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak kecewa dan salah pilih.
Maka ketika sahabat mughirah bin syu’bah menyatakan kepada Rasul Saw bahwa ia telah meminang seorang perempuan, Rasul bertanya, “ anadzarta ilayha “ ( sudahkah kau melihatnya ?) " La “ ( tidak ) jawab mughirah . Kemudian Rasul bersabda :
“ lihatlah perempuan itu, karena biasanya, (melihat itu ) bisa melanggengkan ( jalinan cinta kasih ) antara kamu berdua “ ( H.R Tirmidzi )
Dalam riwayat jabir disebutkan :
Jika diantara kalian ada yang meminang seorang perempuan, jikalau ia bisa melihat si perempuan yang ia butuhkan untuk menikahinya, maka hendaklah ia lakukan itu ( H.R Abu dawud )
Kalau dengan cara ini laki – laki belum puas atas pengetahuannya tentang perempuan yang di taksirnya , misalnya ia ingin tahu lebih jauh tentang perangai perempuan tersebut, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-sunnah memberikan jalan keluar yang bijak :
Melihat seperti ini, dapat mengungkapkan kecantikan ( si perempuan ), adapun akhlaqnya, dapat diketahui dengan mengerti sifat-sifatnya dan meminta penjelasan terhadap orang yang akrab dengan si perempuan itu , seperti tetangga, atau dengan meminta penjelasan orang yang sangat pantas di percaya penjelasannya, seperti ibu atau saudari perempuan tersebut .
Jika dengan begini, masih saja ada ganjalan di hati. Sehingga ia perlu ngobrol dan pergi bareng dengan perempuan itu untuk penjajakan dan berbagi rasa, masih dipandang boleh oleh fiqh dengan syarat pertemuan tersebut di sertai mahram si perempuan, agar ada yang mengawasi dan mereka berdua tidak terjerumus melakukan hal-hal yang di haramkan, Sebagaimana Syekh Yusuf Qordowi menjelaskan dalam kitabnya Al-Halal wal Haram fil islam :
Selanjutnya mereka berkata bahwa si laki–laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah satu mahramnya – dengan pakaian menurut syara’ – ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengerti kecerdikannya, perasaannya, dan kepribadiannya, semua ini termasuk dalam kata sebagian yang disebut dalam hadist Nabi di atas yang menyatakan : ‘ Kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya “
Sampai disini, Fiqh masih toleran. Ini semua menunjukkan hasrat besar fiqh untuk mewujudkan struktur social yang mantap dan stabil. Sehingga dari unit keluarga yang merupakan komunitas terkecil dari sebuah masyarakat, Fiqh memberi arahan sedemikian rupa agar misi ini terwujud . Apa jadinya kalau pacaran yang sebebas- bebasnya di justifikasi. Bukan kedamaian dan ketentraman yang di dapat, melainkan kekacauan dan kerancuan . Falyata’ammal ya syabab !!
Tulisan ini diangkat sebagai tanggapan dan jawaban atas pertanyaan Sdr Ahmad Fathuddin Cipondoh. dengan ajuan pertanyaan “ Bagaimana Hukum Pacaran menurut Agama dan Apakah Ada Pacaran Islami ? “
Wallahu a'lam bisshawab.
ngomong-ngomong akhwat a caem2 jg.......
BalasHapus