Kamis, 23 September 2010

Wahai Pemimpin !!! Bawa keluar negeri ini dari keterpurukan

Anggota IRMAP
Kon Fu Tse Seorang Filosuf china kuno yang hidup 1000 tahun sebelum masehi di tanya oleh murid-muridnya tentang tata cara membangun kejayaan suatu bangsa, ia menjawab bahwa ada  tiga Syarat yang harus di penuhi yaitu : tentara yang kuat , tercukupinya kebutuhan rakyat akan sandang, pangan, papan serta keyakinan yang teguh dari bangsa itu sendiri. bila ketiga persyaratan tersebut sulit terpenuhi, maka tanggalkan persyaratan yang pertama yakni tentara yang kuat. suatu bangsa bisa tetap jaya meskipun tidak di dukung oleh tentara yang kuat. selama kebutuhan pokok masyarakat masih bisa di penuhi dan bangsa tersebut masih tetap mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap masa depan bangsanya untuk maju . Bila kedua persyaratan tersebut tetap sulit untuk di penuhi maka yang terpenting adalah bahwa bangsa tersebut mesti tetap memiliki kepercayaan diri / keyakinan yang kuat, meskipun kebutuhan pokok masyarakat belum bisa di penuhi secara memadai .

            Ajaran kon fu tse yang kemudian dituangkan dalam bentuk etika konfusius ini sampai sekarang tetap di jadikan sebagai pedoman hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat oleh bangsa-bangsa asia timur seperti china, jepang dan korea. dan terbukti sukses dalam pembangunan ekonomi jepang pasca perang dunia kedua . meskipun tentara jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu karena serangan bom atom di hirosima dan Nagasaki , bangsa ini ternyata tetap bisa bangkit menjadi kekuatan ekonomi raksasa dan bisa mensejajarkan diri dengan   dengan Negara-negara maju seperti eropa barat dan amerika.

            Apa kunci utama kebangkitan ekonomi bangsa jepang ? selain kepercayaan yang kuat, faktor-faktor penting yang bisa menjelaskan masalah ini adalah faktor agama atau nilai – nilai Takugawa yang pada dasarnya berintikan pada beberapa ajaran pokok yakni : semangat untuk menuntut ilmu, bekerja keras, mengembangkan diri dalam iklim persaingan dan mengembangkan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. seminggu setelah kota hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh pasukan sekutu, kaisar hirohito keluar dari istana dan bertanya kepada rakyatnya “ masih berapa banyak guru yang hidup “ ? pertanyaan sang kaisar ini mempunyai makna bahwa selama guru sebagai penebar ilmu dan pencerdas kehidupan bangsa masih banyak yang hidup , maka bangsa jepang tetap optimis akan mampu bangkit kembali dari keterpurukannya menjadi bangsa yang besar dan berperadaban maju.

            Bila bangsa jepang bisa bangkit setelah terpuruk, lalu bagaimana dengan kita sebagai bangsa Indonesia yang sedang terpuruk. dan salah satu permasalahan utama yang di hadapi bangsa Indonesia dan umat islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini pada saat ini adalah kemiskinan. Bank dunia mencatat antara 2008 sampai 2009, kemiskinan di Indonesia mencapai 90 juta bahkan nyaris 100 juta jiwa. Bila data itu akurat, berarti lebih dari 40 persen penghuni negeri ini masih hidup dalam kemiskinan. Dengan hitungan matematika sederhana bisa dikatakan 4 dari 10 orang yang ada di Indonesia berpenghasilan tidak lebih dari US$ 2 atau uang yang mereka dapatkan dalam sehari tak lebih dari Rp 20.000,- saja.

               Data ini sangat memprihatinkan kita sebagai bangsa Indonesia, Perlu kerja keras ekstra dan kesungguhan dari pemimpin Negara dan kabinetnya untuk memperkecil angka-angka kemiskinan tersebut .

             Kita sebagai muslim dan penghuni mayoritas negeri ini juga harus mampu membangun kembali kepecayaan diri sebagai muslim untuk bangkit dan terus maju dengan berlandaskan keimanan yang kuat, karena masa depan umat islam dan peradabannya akan sangat tergantung kepada sejauh mana kita mampu membangun kepercayaan diri yang kuat dengan keimanan yang kokoh dalam membawa umat islam untuk maju dan berkembang dalam seluruh aspek kehidupan.
 
            Kemajuan ekonomi merupakan syarat mutlak kemajuan dan kesejahteraan  suatu bangsa  disamping jaminan keamanan sebagaimana penjelasan Allah dalam surat Al-Quraisy ayat 4 . dua hal yang disebut terakhir dalam surat ini, yaitu kesejahteraan yang dicapai dengan tersedianya pangan ( Kemajuan ekonomi ) serta jaminan stabilitas keamanan merupakan dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan masyarakat, keduanya saling berkaitan. Pertumbuhan ekonomi melahirkan stabilitas keamanan dan stabilitas keamanan memicu pertumbuhan ekonomi. Demikian juga sebaliknya kerawanan pangan menimbulkan gangguan keamanan dan gangguan keamanan menimbulkan kerawanan pangan.

      

Haji ; antara ibadah ritual dan status social

Abuya KH Muhtadi (kanan), Habib Ahmad bin Alwi Al-A'thos
Setelah bulan syawwal, ummat islam kembali memasuki suatu babak baru, pada bulan dzulhijah atau yang lazim di sebut bulan haji, pada bulan tersebut ummat islam yang mendapat panggilan Swt dari  berbagai belahan dunia berkumpul untuk melaksanakan ibadah haji.
Ibadah haji dapat dikatakan adalah ibadah yang sangat mewah bagi masyarakat secara umum, karena ibadah tersebut tidak dapat dilaksanakan di lain tempat kecuali di Tanah suci mekkah ( Saudi Arabia ) berbeda dengan ibadah lainnya seperti sholat dan puasa yang relative mudah dilaksanakan dimanapun, dengan realitas tersebut, maka dapat kita  fahami ibadah haji adalah suatu ibadah yang sangat mahal dan eksklusif, oleh karena itu kewajiban haji hanya ditekankan pada umat islam yang memiliki istitho’ah ( kemampuan & kesanggupan ) melaksanakan perjalanan ke baitullah makkah, karena memang perjalanan ke makkah memerlukan biaya yang tidak murah disamping kesanggupan fisik serta aman dalam perjalannnya sebagaimana firman Allah dalam surat ali imran ayat 97 :
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup melakukan perjalanan ke baitullah , siapa saja yang mengingkari ( kewajiban haji ) maka sesungguhnya Allah maha kaya ( tidak memerlukan sesuatu ) dari semesta alam .  

Ibadah haji merupakan ibadah penyempurnaan islam seorang muslim sehingga posisinyapun dalam rukun islam berada pada urutan terakhir setelah syahadat, sholat, zakat dan puasa. oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau banyak ummat islam yang merindukan untuk bisa menunaikan ibadah haji tersebut, meski pada dasarnya tidaklah berdosa orang yang tidak melaksanakan ibadah haji karena tidak memiliki istitho’ah (kemampuan). yang terpenting “ haji “ tetap menjadi suatu cita–cita seorang muslim sepanjang  hayatnya. namun siapapun tidak bisa menduga, kalau memang sudah panggilan Allah bisa jadi seseorang yang tidak memilki istitho’ah tetap bisa melaksanakan haji, maka sering kita kenal ada istilah Haji kosasih ( haji ongkos dikasih ) Haji Abidin ( haji atas biaya dinas ), Haji suryanah ( haji gusuran tanah ), Haji karta ( haji karena mertua ) dan Haji kardinah ( haji karena undian berhadiah ) . 
Mengingat taklif haji  hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki istitho’ah saja. jika kita menggunakan rasio perbandingan, maka secara logika mayoritas umat islam di semua penjuru bumi lebih banyak yang tidak memiliki istitho’ah di bandingkan yang memiliki istitho’ah dengan kata lain umat islam yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji lebih banyak dibandingkan yang mampu dan secara tidak langsung hal ini memberikan imbas social terhadap orang yang  telah melakukan ibadah haji dalam bentuk kenaikan status social dalam lingkungan masyarakatnya dan ia berhak menyandang  predikat haji dan menambahkan title di depan namanya dengan ( H ) tidak seperti orang yang telah melakukan ibadah-ibadah lainnya seperti  puasa, zakat dan sholat. Dan oleh sebab itu ibadah haji yang eksklusif dan  prestisius ini sangat rentan dengan penyelewengan niat ibadah dari yang semestinya, misalnya  motivasi bahwa dengan berhaji prestisenye akan meningkat dan status sosialnya akan naik di mata masyarakat. dan sesuai dengan tengara ini Syekh Muhammad Abduh dalam kitabnya Al-A’mal jilid IV Menyatakan : Dan diantara ummat itu ada yang berhaji dengan maksud supaya di depan namanya ditambah sebutan “ haji ” atau supaya kedatangannya nanti disambut dengan penuh hormat. Dan hal ini merupakan model riya yang buruk     

 Dan saking prestisiusnya ibadah ini maka Syekh yusuf qordhowi dalam kitabnya fi fiqh al-uluwiyyat menjelaskan banyak orang yang melakukan ibadah haji berkali –kali tanpa menyadari bahwa bahwa ibadah haji adalah kewajiban sekali seumur hidup dan selebihnya adalah sunnah, padahal disampingnya ada banyak umat islam yang kelaparan karena tidak mampu membeli sesuap nasi, banyak anak yatim yang tidak bisa mengenyam bangku pendidikan karena tidak punya biaya dan tak terhitung jumlahnya orang sakit dengan menahan sakitnya karena tidak mampu berobat sebab tak punya biaya.  mereka telah melupakan sesuatu yang fardhu dan mengutamakan sesuatu yang bersifat sunnah ( uluwiyyatul  as-sunan a’lal fardhi) .
 Pada dasarnya kepentingan naik haji ke dua kali dst adalah qashir ( terbatas ) dan membantu sesama muslim yang sangat membutuhkan adalah muta’addi ( meluas ) dan dalam qowaid fiqh ada istilah al-muta’addi afdolu minal qashir ( kepentingan yang meluas manfaatnya kepada orang lain lebih utama di bandingkan kepentingan yang terbatas hanya kepada diri sendiri ). Dengan demikian, mari kita doakan agar saudara-saudara kita yang  melaksanakan ibadah haji ,semoga diberikan haji yang mabrur  dan diberikan taufiq dan hidayah dari Allah agar bisa senantiasa meluruskan niatnya .
Rasul bersabda :
 
اَلْحَجُّ اْلَمبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَآءٌ ِإلا اْلجَنَّة
haji mabrur itu tiada balasan baginya kecuali surga ) HR.Bukhari dan Muslim.
Wallahu A’lam.

Kesehatan Dalam Pandangan Islam ( Makna & Nilai Kesehatan )


Islam memandang, bahwa kesehatan merupakan nikmat dan karunia Allah swt yang wajib disyukuri. Disamping itu sehat juga adalah obsesi setiap insan berakal; tak seorang manusia pun yang tidak ingin selalu sehat, agar tugas dan kewajiban hidup dapat dilaksanakannya dengan baik.
Meskipun  sehat merupakan kebutuhan fitrah manusia dan nikmat Allah, tetapi banyak manusia yang mengabaikan dan melupakan nikmat sehat ini, sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw :
“Ada dua nikmat yang banyak dilupakan manusia, yaitu nikmat sehat dan peluang kesempatan” (HR Imam Bukhari).
Karenanya kesehatan salah satu perkara yang diminta pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan Allah swt, seperti dalam hadits Nabi : “Nikmat yang pertama ditanyakan kepada setiap hamba pada hari Kiamat dengan pertanyaan “Tidakkah telah Kami sehatkan badanmu dan telah Kami segarkan (kenyangkan) kamu dengan air yang sejuk” (HR Imam Tirmizi).
Maka sebahagian ulama tafsir mengartikan kenikmatan dalam firman Allah “(Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu kenikmatan)” surat al-Takatsur: 8, yaitu nikmat sehat.
Diantara perhatian Islam kepada kesehatan, adalah perintah dan anjuran menjaga kebersihan. Demikian dapat dipahami, jika pembahasan ulama fiqh dalam khazanah intelektual mereka selalu diawali dengan “Bab Thaharah” Bahasan mengenai kesucian atau kebersihan, bersih dari hadats besar dengan mandi junub, atau hadats kecil dengan berwudhu, bersih dari najis dan kotoran.
Demikian juga selain wudhu, syarat sah shalat adalah bersih pakaian, tempat dari segala najis dan kotoran yang menodai.
Allah juga berfirman : “Dan pakaianmu bersihkanlah” (QS al-Mudatsir: 4). “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri (QS al-Baqarah: 222). “Di dalamnya (mesjid) terdapat orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri, sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang selalu membersihkan diri” (QS at-Taubah: 108).

Demikian Rasulullah mengarahkan di banyak hadits-hadits beliau, antara lain :

·       Kebersihan adalah sebagian daripada iman” (HR. Imam Muslim).
·       Kewajiban setiap muslim adalah menggunakan satu hari dari tujuh hari untuk mencuci rambut dan badannya” (HR. muttafaq ‘alaihi).
·       Barangsiapa yang memiliki rambut, hendaknya ia merawatnya dengan baik” (HR. Abu Daud).
·       Sesungguhnya Allah Maha Indah mencintai keindahan, Allah Maha Baik menyukai kebaikan, Allah Maha Bersih mencintai kebersihan. Karena itu bersihkanlah teras rumah kalian dan janganlah kalian seperti orang-orang Yahudi” (HR.Tirmizi).
             
Bentuk memelihara kesehatan yang lain adalah perhatian kepada olah raga yang cukup. Shahabat Salamat bin al-Akwa’ bercerita: “Ketika kami tengah berjalan, ada seorang lelaki dari Anshar yang tidak pernah terkalahkan dalam pertandingan berjalan. Lalu dia bertanya: “Adakah orang yang dapat menandingiku dalam lomba jalan ke Madinah Adakah ada orang yang mau berlomba ? Kemudian saya jawab: “Apakah engkau sudah menghargai orang yang mulia dan tidak takut pada orang yang tinggi derajatnya ? Dia menjawab: “Tidak, kecuali yang menantang saya itu adalah Rasulullah saw. Salamah berkata lagi: “Saya berkata “wahai Rasulullah, demi bapakku, engkau dan ibuku! Izinkanlah saya, saya yang akan berlomba melawan laki-laki itu. Rasulullah menjawab: “ Terserah kamu”. Salamah berkata: “ Kemudia aku yang memenangkan perlombaan jalan ke Madinah itu” (HR Imam Ahmad dan Imam Muslim)

Proses Medis, Menjaga Kesehatan Dan Takdir Allah.
Persepsi yang keliru tentang takdir mengakibatkan sikap anti usaha dan tidak semangat terhadap upaya-upaya produkti. Dalam hal kesehatan dan proses medis, ada yang beranggapan salah bahwa usaha itu bertentangan dengan takdir (ketentuan Allah).
Ketika ada seseorang bertanya kepada Rasulullah saw tentang pengobatan, katanya: “Wahai Rasulullah, apakah obat-obatan, usaha menjaga kesehatan, tindakan preventif dari penyakit, merupakan penolakan terhadap takdir Allah ? Rasulullah saw menjawab: “ Semua itu adalah takdir Allah juga (HR ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim).
Tidak sekedar anjuran teoritis, Rasulullah saw pernah memanggil tabib (dokter) untuk mengobati Ubay bin Kaab. Rasulullah saw sendiri mendatangi seorang tabib saat sakit dan mengatakan:
Siapa di antara kalian yang paling pandai dalam ilmu pengobatan ? Salah seorang mereka berkata: Apakah ilmu pengobatan (kedokteran) ada manfaatnya wahai Rasulullah ? Rasulullah saw menjawab: ” Dzat yang menurunkan penyakit telah pula menurunkan obatnya” (HR. Imam Malik dalam kitab al-muwatha’).
“Setiap penyakit itu ada obatnya, apabila penyakit itu telah kena obat, ia akan sembuh dengan izin Allah swt” (HR Imam Muslim dan Ahmad).
 Karenanya Rasulullah saw di dalam banyak hadits mengajarkan umatnya berdo’a minta kesehatan, keselamatan; hal itu bukan merupakan perlawanan terhadap takdir ketentuan Allah swt. Antara lain :
Ya Allah Robb manusia, hilangkan mara bahaya, sembuhkanlah penyakaitku, Engkau adalah Dzat yang menyembuhkan. Tidak ada obat dapat menyembuhkan melainkan obatMu, ia adalah obat yang tidak meninggalkan penyakit.. “Ya Allah, sehatkan badanku, sehatkan telingaku, sehatkan, penglihatanku, jadikan semua itu pewaris hidupku”. Dan lain-lain.

“Banjir” , Bencana atau kesengajaan kita


Tak dapat dipungkiri lagi bahwa disetiap musim penghujan masyarakat di daerah sekitar Jakarta selalu khawatir dengan datangnya banjir dan seolah–olah banjir ini sudah menjadi tamu rutin yang selalu datang di setiap tahun, hal ini menunjukkan adanya kerusakan ekologis dan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup di sekitar kita .
Pertanyaan kita, bagaimana islam memandang dan memberikan konstribusi terbaik dalam upaya menyelamatkan manusia dari kerusakan ekologis tersebut ?
 Hal pertama yang harus kita ketahui adalah bahwa jagat raya dan seluruh isi alam ini ( gunung, tanah, sungai, tanah ) adalah tanda kebesaran Allah ( ayat kauniah ) yang harus dipelihara dan dijaga oleh manusia . dan inilah fungsi manusia sebagai khalifah fil ardl , maka tugas khalifah adalah  untuk memakmurkan bumi dan menjaganya. Allah Swt berfirman dalam surat Al-hijr ayat 19-20 :

"Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuat menurut ukuran, dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan–keperluan hidup dan kami ( menciptakan pula ) makhluq-makhluq yang kamu sekali–sekali bukan pemberi rizki kepadanya ."

Ayat ini menyatakan kepada kita bahwa bumi dan seisinya adalah salah satu kenikmatan yang di berikan kepada manusia yang keberadaannnya harus kita syukuri dan kita pelihara kelestariannya.Dan oleh karena itu Allah Swt melarang kita untuk melakukan perusakan terhadap bumi ini dengan mencemari, menggunduli hutan dan  melakukan eksploitasi tanpa mempertimbangkan akibat ekologisnya. Sebagaimana firman-Nya :

"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah ( Allah ) memperbaikinya , berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap, sesungguhnya Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik ( QS Al-A’raf : 56 )"  

Peringatan Allah ini harus kita respons dengan langkah-langkah antisipatif agar alam ini bisa di lestarikan dengan baik demi kenyamanan dan kebahagiaan hidup kita bersama dan kita sebagai hamba Allah yang beriman harus mengakui bahwa musibah banjir yang sering melanda masyarakat kita merupakan respons alam yang diakibatkan karena terganggunya keseimbangan alam. dan Allah telah menyatakannya dalam surat Ar-rum ayat 41 : ”Telah nampak kerusakan di daratan dan lautan di sebabkan karena perbuatan tangan manusia , supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka , agar mereka kembali ke jalan yang benar .  
Untuk menghambat laju murka alam dan untuk mendapatkan ampunan dari Allah, maka kita perlu mengamalkan nilai-nilai kesalehan yang merupakan potensi positif dan fitrah manusia sebagai khalifah di muka bumi. Hentikan ! eksploitasi yang berdampak buruk terhadap pelestarian lingkungan, hijaukan kembali lahan – lahan yang gundul dengan jenis-jenis tumbuhan asli setempat, karena jenis tumbuhan local sudah teruji memiliki kemampuan meresapkan air hujan dan menyimpannya di dalam tanah, hentikan buang sampah ke sungai agar ia tidak menjadi dangkal dan   tersumbat di musim penghujan yang bisa berakibat banjir .
Dan sebagai langkah pencegahan terhadap perusakan alam dan lingkungan, sudah seharusnya kita mendayagunakan praktek keagamaan yang ( insaniyyah oriented ) Yang selama  ini sering kita abaikan. maka wajar, kita selama ini sering merasa berdosa apabila tidak puasa atau shalat, namun merasa tidak berdosa apabila merusak lingkungan, membuang sampah sembarangan apalagi ke sungai. Syekh nawawi dalam kitabnya syarh qomi’ut tughyan menyatakan : bahwa menyingkirkan kotoran di jalan termasuk tanda orang yang beriman, artinya membuang sampah di jalan sehingga mengganggu orang adalah adalah perbuatan dosa. 
Di samping upaya di atas tadi kitapun harus menyadari bahwa pemeliharaan lingkungan termasuk daripada upaya mewujudkan kemaslahatan manusia, oleh sebab itu DR. Yusuf Qordhowi dalam kitabnya Ri’ayatul bi’ah fi syari’atil islamiyyah menjelaskan bahwa pemeliharaan lingkungan hidup setara dengan menjaga maqosidus syari’ah .dan tujuan maqosidus syariah adalah untuk menegakkan kemaslahatan agama dan dunia, dimana bila prinsip – prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia, kita bisa membayangkan hal ini ketika dilanda banjir. Urusan shalat, ekonomi, pendidikan, transportasi dll menjadi terbengkalai. untuk mengembalikan seperti semula butuh waktu bermingu-minggu.
Melihat kondisi lingkungan hidup dan alam sekitar yang sudah mengancam kehidupan manusia ini maka  kita di tuntut berperan aktif untuk memelihara lingkungan dan optimalisasi peran ulama, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah dalam proses soasialisasi pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Dan khususnya bagi para aktivis pelestarian lingkungan dan pecinta alam harus lebih tertuntut sehingga dapat mempunyai program strategis  yang berwujud nyata dalam bentuk workshop, diskusi, sosialisasi, sarasehan, mencetak buletin dalam memberikan wawasan dan pemahaman tentang tata cara perawatan lingkungan dan pentingnya pelestarian terhadap alam sekitar dan lingkungan hidup agar banjir sekali – kali tidak akan pernah menyapa daerah kita .

Rabu, 14 Juli 2010

Adab bercanda

Suatu sore saya asyik menikmati suasana sore sambil "Ngopi" diSaung dekat rumah. sedang, keponakan saya sedang main tebak-tebakan dengan kawan-kawannya ( jadi inget masa kecil ), Dan cukup menyenangkan juga mendengarnya, karena ternyata pertanyaan-pertanyaan mereka itu adalah seputar sejarah Islam dan pelajaran-pelajaran keislaman juga pengetahuan lainnya.

Contohnya: “12 + 12 + 12 x 0 = ......? Ada berapa rukun Islam ? Ada berapa jumlah anak Nabi Muhammad ? “ “Siapa sahabat Rasulullah yang menjadi pengganti setelah Nabi meninggal?” ” Nabi apa yang paling pertama di dunia?” “Nabi apa yang paling ganteng?”

Nah, ditengah-tengah pertanyaan-pertanyaan mereka tentang nabi, saya nyeletuk sambil merangkul keponakan saya dan bertanya : ” Nabi apa yang monyong hayooo..?”

Sekilas mereka terbengong-bengong dan tersenyum sambil mencari jawabannya, hingga akhirnya mereka tidak bisa menjawab pertanyaan itu dan geleng-geleng serempak.

Lalu saya jawab : “Nah bibirnya si Agung... !!! Hahahahahaha…”

Pawai Tarhib Ramadhan 1431 H
Dan mereka semua ikut tertawa terbahak-bahak sambil ngeledek si Agung yang terbengong-bengong ngambek. Sekejap setelah itu, kopi digelas saya tumpah membasahi pakaian saya ! Walau nampaknya seperti kecelakaan kecil yang biasa, menurut saya Allah SWT menegur saya lewat "Kopi Panas" karena candaan saya tentang kata-kata “Nabi” tersebut.

Sadar akan makna kata Nabi yang merupakan sebutan mulia untuk orang-orang mulia pilihan Allah…yang saya ‘plesetkan’ dengan maksud bercanda dengan anak-anak, dan rupaya hal itu tidak diridhoi oleh Allah. Saya langsung memohon ampun dan beristigfar perlahan.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pun menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai, Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan sabdanya, “Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.”
(HR. Imam Ahmad. Sanadnya Shahih)

Tertawa dan bercanda memang bukan hal yang dilarang, sebatas hal itu adalah hal yang benar dan tidak merupakan dusta. Rasulullah pernah mencontohkan beberapa sikap bercanda yang teladan.

Dari Anas radhiyallaahu ‘anhu diriwayatkan : bahwa ada seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku jalan-jalan”. Beliau berkata : “Kami akan membawamu berjalan-jalan menaiki anak unta”. Laki-laki itu pun menukas : “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?”. Beliau berkata : “Bukankah setiap unta adalah anak ibunya?” (HR. Abu Dawud)

Atau dalam riwayat lain, ketika ada seorang nenek tua bertanya pada Nabi SAW : ” Ya Rosulullah, apakah aku bisa masuk syurga ” Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu menjawab : “Tidak ada perempuan tua yang masuk surga”, lalu nenek itu menangis. Kemudian rasul meneruskan perkataannya, “Di Surga nanti umur manusia berkisar antara 30-35 tahun (dimudakan lagi) muda,cantik dan tampan kembali”.
Baru nenek-nenek itu tersenyum senang . (HR. Tirmidzi)


Etika Bercanda

* Hendaknya percandaan tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah rasul-Nya atau syi`ar-syi`ar Islam. Karena Allah telah berfirman tentang orang-orang yang memperolok-olokan shahabat Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam, yang ahli baca al-Qur`an yang artimya:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka menjawab: “Sesungguh-nya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman”. (At-Taubah: 65-66).

* Hendaknya percandaan itu adalah benar tidak mengan-dung dusta. Dan hendaknya pecanda tidak mengada-ada cerita-cerita khayalan supaya orang lain tertawa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

* Hendaknya percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Janganlah seorang di antara kamu mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau sungguh-sungguh; dan jika ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus mengembalikannya kepadanya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai hasan oleh Al-Albani).

* Bercanda tidak boleh dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang tidak bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan yang bukan mahrammu.

* Hendaknya anda tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu dan akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain.

Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Wallahu’alam bisshowab.

Catatan kaki :

HR. Tirmidzi dalam Syamail 225 dan Sunan-nya 1992, 3828; Abu Dawud no. 5002; dan Ahmad 3/117, 127. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4182.

HR. Tirmidzi dalam Syamail 240 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul-Maram 375.

HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab Al-Adab – 92 bab Riwayat tentang Bersendau-Gurau hadits no. 3998 (V : 270) dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud III : 943 no. 4180. Dikeluarkan juga oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Birr – 57 bab Riwayat tentang Bersendau-Gurau hadits no. 1992 (VI : 207).

Kamis, 03 Juni 2010

peranan Ilmu dan Ulama dalam membangun ummat

Panitia Tarhib Ramadhan IRMAP bersama Bpk. Drs, KH Ghozali Barmawi dan KH.Masykur Sholeh pada acara Penutupan Pengajian dan Haflatul Ikhtitam 1431 H.
Katakanlah : “ Tuhanku, tambahkanlah bagiku ilmu pengetahuan “ ( Qs Toha : 114 ).

Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya, Kata ilmu sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, contohnya ilmu sosial, dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa.

Sejak kecil kita dididik dan diajarkan tentang berbagai pengetahuan yang nantinya diharapkan dapat berguna dalam kehidupan kita kelak, baik keterampilan (Skill), Seni (Art), Pengetahuan (Sains) dan Agama (Religion).

“ Seseorang yang tidak mengerti akan sesuatu niscaya ia akan mengingkarinya ”, atau dalam Psikologi hal ini disebut dengan Denail ( penyangkalan ), sehingga biasanya seseorang akan menarik diri dari hal-hal yang baru mereka ketahui atau kurang sesuai dengan human ego (perasaan) mereka, lalu yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang disebut rasionalisasi yaitu usaha seseorang mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilaku dan pemikirannya yang padahal belum tentu benar adanya, misalnya seseorang diajak untuk belajar al-Qur’an, karena hal itu dirasa kurang sesuai dengan dirinya atau malu dengan usianya, biasanya ia akan menjawab : nanti aja deh lagi sibuk nih…, Nggak ada temennya…., malu ntar disuruh maju, suara saya jelek……. dan berbagai alasan lainnya untuk mengelak yang kenyataannya belum tentu sesuai karena sebenarnya yang membelenggunya adalah dirinya sendiri. Maka disinilah peranan penting dari Intelektualisasi Ummat ( Proses Peningkatan kecerdasan dan Pengetahuan ) harus dijalankan. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya karena pengetahuan yang dimiliki, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalahan secara obyektif, Dengan kata lain, bila seorang menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya, atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Bila hal ini dapat terwujud niscaya segala perbedaan dikalangan umat akan benar-benar terasa nikmat.

Salah satu faktor penting agar proses intelektualisasi dapat berjalan maksimal adalah adanya pembimbing ( Guru ) yang menguasai ilmu pengetahuan dan dapat menyampaikannya secara gamblang sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan maksimal.

Sejarah mencatat, setelah serangan sekutu yang meluluh-lantakkan kota Nagasaki dan Hirosima, Sang Kaisar keluar kepada rakyatnya dan bertanya : “ Ada berapa orang guru yang masih hidup ? akan kita bangun kembali negeri ini menjadi negeri yang lebih baik dari negeri manapun di dunia”, dan ternyata mereka berhasil, karena menghormati guru, disiplin dalam menjalankan proses intelektualisasi dan memegang teguh ajaran mereka.

“Akan datang pada umatku suatu masa di mana mereka menjauhi ulama ( Ahul ilmi ), lalu Allah mencoba mereka dengan tiga macam cobaan :
1. Pemimpin yang dzolim.
2. Hilangnya keberkahan usaha mereka.
3. Keluar dari dunia ini tanpa membawa iman.”

Pernyataan ini menggambarkan kepada kita bahwa umat ini dapat mengalami keterpurukan yang sangat hebat hanya dengan menjauhi ulama, karena sama saja kita membiarkan diri kita terbelenggu dalam kebodohan, padahal “ulama adalah waratsatul anbiya “ yang dengan keilmuannya dapat membawa cahaya dalam kehidupan ummat yang gelap gulita, banyak sekali ilmu dan hikmah yang dapat kita ambil dari para ahlul ilmi, karena keterbatasan kita sebagai orang awam dalam mengkaji ayat-ayat Allah baik yang tersurat maupun tersirat, maka tempat kita mengadu dan bertanya tentang segala permasalahan adalah para ulama yang notabene-nya Arrosikhuna fil Ilm dan ahli dalam bidangnya, sehingga dapat dikatakan : “celakalah umat ini kalau sudah tidak ada ulama di dunia ini”. Hadits riwayat Abdullah bin Amru bin Ash ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya begitu saja dari manusia, akan tetapi Allah akan mengambil ilmu dengan cara mencabut (nyawa) para ulama, sehingga ketika Allah tidak meninggalkan seorang ulama pun, manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh yang apabila ditanya mereka akan memberikan fatwa tanpa didasarkan ilmu, lalu mereka pun sesat serta menyesatkan. (HR Bukhari Muslim). Betapa besar peranan Ulama dalam kehidupan umat hingga rasulullah berkata : “ Duduk bersama para ulama adalah ibadah.” (HR. Ad-Dailami). lantas yang menjadi pemikiran kita selanjutnya adalah; kalau duduk bersama saja dapat dikatakan sebagai ibadah, apalagi kalau kita dapat menuntut ilmu dan menjadi qorin para ulama.

Dalam kitab Durusul Fiqiyah dituliskan bahwa tujuan agama Islam diturunkan adalah untuk kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia dan akherat, Wajar kiranya untuk mencapai tujuan tersebut rasulullah telah mewajibkan ummat Islam untuk menuntut ilmu apapun tanpa adanya dikotomi ( pemilahan disiplin ilmu ). Hari pendidikan yang diperingati pada tanggal 2 Mei lalu, mari kita jadikan sebagai momentum kesadaran diri, betapa pentingnya peranan Ilmu dalam kehidupan agar dihari kelak kita dapat lebih menghargai ilmu dan ulama sebagai washilah yang akan membawa kita kepada kebahagiaan dunia dan akherat.

Dengan pengetahuan yang luas, umat Islam dapat menjadi “Khaira Ummatin ukhrijat liinaas” dan menjadi panutan umat manapun di dunia, maka marilah kita berjihad melawan kebodohan agar kita dan generasi penerus kita nantinya dapat mencapai kesuksesan dunia dan akherat.

Wallahu a’lam bisshawab.

Sabtu, 01 Mei 2010

Awas Hati-Hati Dengan Surga Di Sekitar Kita

Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary dalam kitabnya Irsyadul I’bad menyatakan: bahwa Imam al-yafi’I mengkisahkan : Suatu ketika nabi Sulaiman diperintah oleh Allah Swt supaya pergi ke tepi pantai untuk menyaksikan sebuah keajaiban, setibanya di sana beliau menoleh ke kanan dan ke kiri, namun hampa yang menyapa, nabi Sulaiman tidak melihat sesuatu yang menakjubkan, beliau lalu memanggil Jin Ifrit dan menyuruhnya menyelam ke dalam laut untuk mencari keajaiban yang dimaksud, akan tetapi jin Ifrit kembali dengan tangan hampa, dia tak sanggup menembus dasar laut, nabi Sulaiman-pun menyuruh jin yang lain untuk melaksanakan tugas itu, tapi nasib serupa menimpa mereka, tidak menemukan apa-apa.
Kemudian nabi yang dikenal fasih dengan bahasa hewan ini memerintahkan kepada wazirnya atau mentri yang bernama Ashif bin Barkhiya, seseorang yang telah disebut dalam al-Qur’an sebagai orang yang mengerti ilmu al-Kitab. Sesaat kemudian Ashif bin Barkhiya datang membawa sebuah kubah yang mempunyai empat pintu dan keempat pintu itu terbuat dari intan, yaqut, mutiara dan permata hijau. anehnya, walau semua pintu terbuka tapi tidak setetes airpun masuk kedalamnya, padahal kubah tersebut berada di dasar laut yang paling dalam. dan sungguh menganehkan di dalam kubah tersebut ada seorang pemuda tampan sedang melaksanakan shalat dan setelah selesai pemuda itu shalat, Nabi Sulaiman lalu mengucapkan salam padanya dan bertanya : hai pemuda, bagaimana kamu bisa bertempat di dasar laut yang paling dalam ? pemuda itu menjawab, wahai nabiyallah . Ayahku lumpuh sedang ibuku buta, tapi aku selalu berbakti dan melayaninya selama 70 tahun. Ketika ibuku hendak wafat ia berdoa, “ Ya Allah panjangkan usia anakku dalam keadan taat kepadamu “ dan sebelum ayahku wafat, beliau juga berdoa “ Ya Allah berilah anakku kesempatan untuk beribadah kepada-Mu di suatu tempat yang tidak bisa ditembus oleh syaithan “. lantas aku menuju ketepi laut ini setelah mereka berdua wafat, kemudian aku melihat kubah ini di hadapanku dan aku masuk ke dalamnya. Nabi Sulaiman bertanya kembali kepadanya “ kapan kamu sampai ketepi pantai ini “. ia menjawab “ kira-kira pada zaman nabi Ibrahim As “. Padahal, rentang waktu antara nabi Ibrahim as dan Nabi Sulaiman as adalah 1400 tahun.
Sekelumit kisah ini memberi teladan pada kita, alangkah mulia dan tingginya derajat orang yang selalu setia dan berbakti kepada kedua orang tuanya, Allah memberikan penghargaan yang tinggi kepada seorang anak yang dengan ketulusan hatinya melayani dan menuruti perintah kedua orang tuanya. Sebaliknya Allah akan melaknat orang yang durhaka dan tidak mau berbakti kepada kedua orang tuanya baik di dunia maupun setelah mati.
Islam sangat menjunjung tinggi derajat kedua orang tua di hadapan anak-anaknya, oleh karena itu kita semua diwajibkan untuk selalu tunduk terhadap perintah kedua orang tua, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama, berkaitan dengan hal ini Allah Swt berfirman :
“ Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” ( an-Nisa’ : 36 ).
Ayat ini cukup memberikan bukti kepada kita betapa Allah memuliakan mereka dengan menyebut nama walidaini ( ayah dan ibu ) setelah menyebut nama-Nya.
Ibnu abbas seorang sahabat dan tokoh besar ulama tafsir menyatakan : tiga ayat diturunkan, bergandengan dengan tiga perkara. Allah tidak akan menerima salah satu tanpa gandengannya : Pertama : athi’ullaha wa athi’u rrosul ( taatlah pada Allah dan taatlah pada rasul ) barangsiapa yang taat pada Allah dan tidak taat pada Rasul maka tidak diterima di sisi Allah.
Kedua : aqimusholah wa aatuzzakah. (Dirikan shalat dan tunaikan zakat ). barang siapa yang menjalankan shalat dan tidak menunaikan zakat, maka tidak akan diterima di sisi Allah.
Ketiga : Anisykurli wa liwalidaik. ( bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu ). maka siapa saja yang bersyukur kepada Allah dan tidak bersyukur kepada kedua orang tuanya maka tidak akan di terima disisi Allah.
Tuhan, orang tua dan anak adalah komponen yang satu sama lainnya saling berkaitan, hakikatnya yang menciptakan manusia adalah Allah. Tetapi kedua orang tua mempunyai andil besar dalam proses terlahirnya manusia kedunia. Karena tanpa keseriusan mereka berdua, mustahil kita bisa menjelma ke dunia. maka tidaklah aneh bila orang tua dan anak memiliki hubungan emosional yang sangat erat, pada hati mereka dipasang tali sambung yang kuat, yang tak akan pernah terputus selamanya.
Kemulyaaan kedua orang tua kita telah lama diisyaratkan oleh nabi Muhammad Saw dengan sabdanya :
“ Ridha allah tergantung ridha orang tua dan dan kebencian Allah tergantung daripada kebencian kedua orang tua “ ( H R. ath-thabrani )
Maka kalau kita menyakiti keduanya, samalah artinya kita telah menyakiti Allah, Allah senang kepada kita, kalau ayah dan ibu senang kepada kita, sebaliknya murka Allah menimpa kita kalau kedua orang tua kita marah lantaran perbuatan kita tidak sesuai dengan keinginan mereka, hal ini wajar, karena sang ibu telah mengandung kita selama 9 bulan, nyawanya sebagai taruhan untuk melahirkan kita kedunia ini, begitu pula ayah, dengan susah payah ia mencari nafkah untuk membesarkan kita, lalu akankah kita rela melihat mereka menitikkan air mata dan hatinya teriris karena luka akibat perbuatan kita.
Ada dua bentuk pengabdian yang dapat kita persembahkan kepada kedua orang tua, pertama diwaktu mereka masih hidup, kedua setelah mereka wafat. Ketika mereka masih hidup, kita berkewajiban menyayangi dan mengasihi mereka, rendah hati dan tidak menyakiti hati mereka dengan ucapan dan tindakan. disetiap selesai shalat, do’a selalu kita lantunkan untuk mereka berdua, berdoa kepada Allah semoga rahmat dan ampunan selalu tercurah kepada keduanya, sebagai imbalan dan belas kasih sayang mereka di waktu kita dalam buaian kasih sayangnya. 

Lalu bagaimana bentuk bakti kita jika kedua orang tua telah wafat ?
Malik bin as’ adi seorang sahabat Rasulullah Saw menyatakan ;
Ketika kami duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki- laki dari Bani Salamah, lalu ia bertanya “ wahai Rasulullah, adakah sesuatu yang bisa aku gunakan untuk berbakti kepada kedua orang tuaku yang sudah meninggal dunia ? Rasul menjawab : “ ya ! ada...
1- memohonkan ampun dosa-dosa mereka.
2- melaksanakan dan melanjutkan cita-cita dan keinginan mereka setelah mereka berdua telah tiada .
3- silaturrahmi kepada kerabat mereka berdua.
4- menghormati teman- teman mereka. ( H.R Abu dawud dan ibnu majah ).

bakti kita kepada kedua orang tua, adalah ladang yang dapat menghantarakan kita menuju surga, oleh sebab itu Allah Swt memerintahkan kita untuk bergaul secara baik dengan kedua orang tua kita – perintah ini disebut-Nya berulangkali dalam al-Qur’an -, hingga nabi Muhammad Saw membuat suatu ungkapan yang populer ;
“ Surga itu di bawah telapak kaki ibu “. ( HR. Qadha’I )

Dengan logika yang sederhana kita dapat menyatakan : Orang tua kita adalah surga sekaligus neraka bagi kita, surga bila kita berbakti dan neraka bila kita durhaka.

Selasa, 27 April 2010

Nonton Film , Manfaat atau Mudharat

Siapakah diantara kita yang tidak pernah menonton film ? rasanya sulit kita menjawab pertanyaan ini, di Era kecanggihan tekonologi informasi seperti sekarang ini, rasanya film teramat mudah untuk diakses semua orang baik melalui televisi, internet, Dvd, Cd atau bahkan layar ponsel. Pendek kata, disadari atau tidak bahwa film sudah menjadi budaya baru dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini dan betapapun, seringkali kita jumpai tema-tema sensitif " yang mestinya hanya boleh ditonton orang-orang tertentu", sekarang banyak di filmkan. Akibatnya anak-anak di bawah umur dengan bebasnya nonton hal-hal yang “ begituan “. Ringkasnya tema yang disajikan Produser film dan stasiun televisi lebih banyak mempertimbangkan faktor bisnis dari pada pendidikan. Masyarakatpun tidak perduli lagi. Yang penting senang.

Disaat banyak orang “terbang” bersama impian-impian dalam film, marilah kita mencoba melihat persoalan ini secara jernih dengan pendekatan moral agama. Bagaimana sesungguhnya islam memandang persoalan ini? bolehkah kita menonton fil? dan apakah semua film boleh untuk kita tonton?

Mungkin terlalu arogan jika kita mengatakan semua film jelek dan tidak bermanfaat. Sebab kenyataanya memang ada yang baik. Untuk itu, hukum menonton film pun perlu dipilah-pilah. Paling tidak, ada lima kategori film. Pertama : film yang dimaksudkan sebagai data sejarah ( dokumenter ). Kedua : Film yang bernilai dakwah dan budaya islami ( Seperti Ayat-ayat cinta, Ketika cinta bertasbih, Kiamat sudah dekat, nada dan dakwah dll ) Ketiga : Film yg dapat memberi spirit dari gambaran potret kehidupan seseorang atau budaya masyarakat tertentu seperti film laskar pelangi, si Doel anak sekolahan dll. Keempat : Film yang hanya dimaksudkan sebagai hiburan ( Kartun, animasi, komedi, cerita keluarga, laga, romantic atau fiksi ). Kelima : Film panas ( Syuur ) .
Untuk jenis pertama, kedua dan ketiga barangkali tidak ada masalah karena dapat dijadikan bahan pendidikan dan wawasan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk jenis keempat, dapat dibolehkan ( mubah ) bila memenuhi dua syarat : 1) cerita dan adegan dalam film tersebut tidak mendorong seseorang untuk berbuat kefasikan dan tidak bertentangan dengan aqidah, syariah serta akhlaq islamiyyah dan jika cerita serta adegan dalam film itu mengajak kepada pemikiran yang menyimpang, aqidah yang bathilah atau kebebasan mengumbar aurat, memicu terhadap kriminalitas maka jelas film tersebut tidak layak untuk di tonton 2) Islam tidak menginginkan waktu terbuang sia-sia ( lahwu ). Asal film jenis ini tidak menyebabkan orang lupa akan kewajibannya maka tidak masalah. Demikian pernyataan DR. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal Wal- Haram Fi Al-Islam .
Sedangkan untuk film jenis terakhir, perlu dicermati secara lebih dalam. Bolehkah seseorang melihat aurat wanita lain ? Syekh Al-Qodhi Abi Syuja’ Ahmad bin Al-husain Al-Asfihani dalam kitabnya Matnul Ghoyah Wattaqrib menyatakan : Seorang laki–laki tidak boleh melihat aurat wanita lain tanpa ada keperluan. Seseorang boleh melihat aurat wanita lain dengan syarat, jika ada keperluan seperti (pengobatan) dan hal inipun terbatas pada bagian anggota tubuh yang diperlukan saja.
Lalu bagaimana jika seseorang melihat aurat wanita lain itu secara tidak langsung misalnya melalui layar (televisi, HP, notebook) atau monitor komputer ?
Jika kita melacak literatur hukum fiqh, kita akan menemukan ungkapan yang cukup unik, Syekh Abi Bakar Bin Sayyid Muhammad Syato’ Ad-Dimyati dalam kitabnya I’anatut-Tholibin menyatakan : bahwa melihat wanita melalui cermin atau bayangan pada air tidak masalah . Mengapa ? Sebab yang dilihat hanya bayangan.
Apakah adegan di dalam film dapat disamakan dengan bayangan dalam cermin atau air? Tentu tidak. Sebab gambar yang diperoleh melalui cermin atau air tidak seindah aslinya, sehingga kemungkinan bangkitnya birahi sangat kecil. Lain halnya dengan syuting film. Orang yang kurang cantik, dengan make-up yang sempurna bisa tampak cantik ( karena hanya memperlihatkan bagian-bagian yang “syuur” ), apalagi yang memang cantik ! Oleh karena itulah, kemungkinan bangkitnya syahwat dan birahi oleh adegan dalam film lebih besar.
Apakah salah jika seseorang yang dewasa melihat adegan “ syurr “ kemudian syahwatnya bangkit ? Memang, tidak selamanya salah. Lebih-lebih jika syahwat tadi disalurkan di tempat yang semestinya (Istrinya yang sah). Akan tetap, jika kita analisa masalah ini dengan metodologi ilmu ushul fiqh, maka dapat kita nyatakan bahwa syahwat itu musabbab, sedangkan melihat film itu sebab. Pakai istilah yang lebih lugas, syahwat itu ma’innah, melihat film itu illat. Jika hukum didasarkan pada illat, maka melihat adegan “ syuur “ dalam film, baik bersyahwat atau tidak, hukumnya tidak boleh. Akan tetapi, jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan hukum didasarkan pada ma’innah , maka menonton adegan ‘syuur” dalam film dilarang jika kita bersyahwat.  " Lah wong melihat batu saja ( jika bersyahwat ) tidak boleh kok "

Wallahu a’lam .

Mengapa Wanita Harus Berhijab

Santri TPQ Al-Wustho
Pertanyaan ini sangat penting untuk dilontarkan dan jawabannya sangat lebih penting lagi. Akan tetapi, pertanyaan di atas membutuhkan jawaban yang sangat panjang. Di sini akan kami sebutkan sebagian dari jawaban tersebut:
Pertama; Sebagai Realisasi Ketaatan Kepada Allah dan Rasul-Nya
Karena ketaatan tersebut akan menjadi sumber kebahagiaan dan kesuksesan besar di dunia dan akhirat. Maka seseorang tidak akan merasakan manisnya iman sebelum mampu melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta berusaha merealisasikan semua perintah-perintah tersebut. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al- Ahzab :71)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Sungguh akan merasakan manisnya iman seseorang yang telah rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi (yang diutus Allah).” (H.R. Muslim)
Di samping itu, bahwa tujuan utama Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana yang telah difirmankan di dalam surat adz-Dzariyat ayat 56. Maka segala aktivitas dan kegiatan manusia hendaklah mencerminkan nilai ibadah kepada Allah termasuk dalam berbusana dan berpakaian.Caranya adalah dengan meyesuaikan diri dengan aturan dan ketentuan berpakaian yang telah digariskan dalam syari’at Islam.
Kedua; Menampakkan Aurat dan Keindahan Tubuh Merupakan Bentuk Maksiat yang Mendatangkan Murka Allah dan Rasul-Nya
Allah Subhannahu wa Ta'ala Berfirman,“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab :36).
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Setiap umatku (yang bersalah) akan dimaafkan, kecuali orang yang secara terang-terangan (berbuat maksiat).”(Muttafaqun ‘alaih).
Sementara wanita yang menampakkan aurat dan keindahan tubuh, telah nyata-nyata menampakkan kemaksiatan secara terang-terangan. Hal ini dikarenakan Allah telah menjelaskan batasan aurat seorang wanita, perintah untuk menutupinya ketika di hadapan orang asing (bukan mahram) serta mencela dan melaknat wanita yang memamerkan auratnya di depan umum.
Jika seorang wanita hanya sekedar lewat dengan memakai parfum di hadapan kaum lelaki saja dapat dikategorikan zina, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam di dalam makna memancing dan mengundang perbuatan tersebut, maka bagaimana lagi dengan mempertontonkan sesuatu yang tak selayaknya diperlihatkan?
Bau wangi yang bersumber dari seorang wanita dapat membangkitkan imajinasi kaum lelaki yang mencium aroma tersebut.Maka membuka aurat jelas lebih dilarang dalam Islam karena bukan sekedar memberikan gambaran, namun benar-benar menampakkan bentuk riilnya.
Ketiga; Hijab Dapat Meredam Berbagai Macam Fitnah.
Jika berbagai macam fitnah lenyap, maka masyarakat yang dihuni oleh kaum wanita berhijab akan lebih aman dan selamat dari fitnah. Sebaliknya apabila suatu masyarakat dihuni oleh wanita yang tabarruj atau pamer aurat dan keindahan tubuh, sangat rentan terhadap ancaman berbagai fitnah dan pelecehan seksual serta gejolak syahwat yang membawa malapetaka dan kehancuran. Bagian tubuh yang terbuka, jelas akan memancing perhatian dan pandangan berbisa.
Keempat; Tidak Berhijab dan Pamer Perhiasan Akan Mengundang Fitnah bagi Laki-Laki.
Seorang wanita apabila menampakkan bentuk tubuh dan perhiasannya di hadapan kaum laki-laki bukan mahram, hanya akan mengundang perhatian kaum laki-laki ” Penyair berkata, Berawal dari pandangan lalu senyuman kemudian salam, Disusul pembicaraan lalu berakhir dengan janji dan pertemuan”.
Kelima; Menunjukkan Kepribadian dan Identitas serta Mencegah dari Gangguan.
Jika seorang wanita muslimah menjaga hijab, secara tidak langsung ia berkata kepada semua kaum laki-laki “Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu serta kamu juga bukan milikku, tetapi saya hanya milik orang yang dihalalkan Allah bagiku. Aku orang yang merdeka dan tidak terikat dengan siapa pun dan aku tidak tertarik kepada siapa pun, karena saya jauh lebih tinggi dan terhormat dibanding mereka yang sengaja mengumbar auratnya supaya dinikmati oleh banyak orang.”

Orang berakal kok , mudah mempercayai sesuatu yang tidak masuk akal.

Suatu hari Ibnu abbas mengunjungi Aisyah, lalu ia bertanya kepada Aisya. Wahai Aisyah ! ada seorang laki-laki yang sedikit bangunnya dan banyak tidurnya, kemudian ada lagi orang yang sedikit tidurnya dan banyak bangunnya, mana yang lebih kau sukai diantara keduanya wahai aisyah ? Aisyah lalu menjawab, saya pernah bertanya kepada Rasul sebagaimana yang kau tanyakan saat ini kepadaku, dan jawaban Rasul adalah, “ yang paling baik diantara keduanya adalah orang yang paling baik akalnya.
Dari dialog diatas, jelas bagi kita bahwa nilai pembeda ( value different ) sekaligus nilai tambah ( value added ) antara manusia yang satu dengan yang lain adalah akal, yaitu akal yang dapat dipergunakan dengan semestinya.
Para ulama Mantiq mendefinisikan manusia dengan istilah yang populer ” al-insan hayawan an-natiq ” ( manusia adalah hewan yang berakal ), The thinking animal. artinya bahwa manusia itu adalah hewan, namun yang membedakannnya dengan hewan lain adalah bahwa ia itu berakal. jadi akal adalah nilai pembedanya. sebab jika manusia akalnya sudah konslet tak ubahnya ia seperti hewan dalam sudut pandang psikologis maupun psikis ( bukan fisik )
Dengan landasan ini, sudah cukup bagi kita betapa pentingnya akal dan penggunaannya bagi manusia. Oleh karenanya maka jangan heran bila para ulama fiqh menetapkan : syarat sahnya beribadah adalah jika seseorang dinyatakan a’qil ( berakal ) dan tidak ada taklif apapun bagi orang yang tidak berakal ( Orang yang tidak berakal bukanlah mukallaf ).
Dengan adanya akal yang kita miliki, kita di tuntut untuk mempergunakannya dengan semestinya dalam bentuk berpikir yang sehat, logika yang benar, nalar yang tidak semrawut sebab berpikir yang benar merupakan titik tolak kemajuan seorang manusia dan tergantung kepada kwalitas berpikirnya ukuran keunggulannya.
Memang kita harus mengakui bahwa berpikir secara benar dan teliti adalah sesuatu yang cukup sulit, sebab didalam aktivitas berpikir kita sangat dituntut untuk sanggup mengamati sesuatu yang kita pikirkan secara cermat, mampu melihat segala hubungan dan kejanggalan, menjauhi sikap pembenaran diri ( rasionalisasi ) yang di cari-cari, menepis prasangka dan praduga, membuang jauh-jauh pembutaaan oleh rasa pribadi atau kelompok ( fanatisme ).
Pemikiran kita terhadap sesuatu bisa menjadi subyektif manakala kita menganggap benar apa yang kita sukai, apa yang kita kehendaki. Dan ketika pemikiran kita sudah tercampur dengan perasaan dengan tanpa landasan logika, maka perasaan itu sering kali mengelabui kita, mengaburkan pandangan kita dan berakibat terjadinya suatu kesimpulan yang ngawur dan gegabah.
Dan lebih Subyektif lagi jika seseorang menerima secara bulat-bulat suatu ungkapan-ungkapan dan pemahaman–pemahaman yang salah kaprah ( salah tetapi terlanjur di anggap benar dalam suatu masyarakat yang malas berpikir kritis ). Pendapat dan pemahaman umum tersebut sering kali mempengaruhi jalan pemikiran kita. Sebagai makhluq yang berakal kita harus menggunakan akal sehat dalam semua bidang kehidupan dengan memahami dan meyakini segala sesuatu, serta mendasarkan segala tindakan kita atas pertimbangan-pertimbangan yang ” masuk akal ” .
Hal ini, sangat dibutuhkan bagi kita sebagai penghuni dunia abad ini ( Era kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi ). Dimana kita harus cakap dalam berpikir dengan obyektif, rasional, kritis dan tidak hanya membeo dan memakan mentah-mentah terhadap segala sesuatu yang ada dalam media komunikasi dan informasi maupun yang beredar pada lingkungan masyarakat atau pernyataan seseorang. Dengan demikian kita mampu membedakan mana yang benar dan salah dengan mendasarkan pada nalar dan logika yang tepat, bukan atas dasar emosi ( cinta atau benci ), perasaan pribadi dan prasangka.

Standarisasi Suatu Pemikiran

Tujuan Pemikiran manusia adalah mencapai suatu pengetahuan yang benar, meski dalam kenyataannya hasil pemikiran dan alasan–alasan yang di kemukakan belum tentu selalu benar. Dengan konsep yang sederhana kita dapat merumuskan bahwa : ( Benar = sesuai dengan kenyataaan ) dan ( salah = tidak sesuai dengan kenyataan ).
Dengan demikia, Standar untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang tetapi sesuai atau tidakkah dengan kenyataan yang sesungguhnya. Suatu contoh misalnya ; ” Pohon itu tumbang karena tanah longsor ”, padahal dalam kenyataannya tidak terjadi tanah longsor maka ucapan dan pendapat tersebut tidak benar alias salah besar ( betapapun seseorang merasa yakin atas ucapannya itu ). Sebab faktanya tidak ada tanah longsor di tempat itu.
Kekeliruan lain yang sering kita dapati adalah, banyak orang yang terlalu cepat menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dan menganggap pasti sesuatu yang belum pasti atau melakukan generalisasi yang tergesa-gesa misalnya ucapan seperti ; Orang desa itu bodoh, Orang poris itu doyan kawin, orang timur itu halus, Perokok itu kurus badannya. Ucapan–ucapan seperti itu dikemukakan seakan–akan berlaku universal ( untuk semua ) padahal sama sekali belum tentu adanya demikian. Kalau ada beberapa perokok seperti si Iwan dan si Batok yang kurus badannya, belumlah cukup menjadi dasar bahwa semua perokok itu kurus badannya, nyatanya si Aziz, si Fadli, si Usman, si Ilul. yang kesemuanya itu merupakan pecandu rokok, gemuk badannya. Demikian pula halnya dengan pernyataan ” Orang poris itu doyan kawin ”, Kalau ada sebagian orang poris yang doyan kawin ( kawin lebih dari satu ) belumlah cukup menjadi dasar bahwa semua orang poris itu doyan kawin. Kesalahan seperti ini disebut generalisasi yang tergesa-gesa, karena menyatakan sesuatu berlaku umum, untuk semua. padahal sebenarnya tidak berlaku secara umum dan merata.
Agar suatu pemikiran dan penalaran menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, paling tidak harus memenuhi beberapa syarat :
Pertama : suatu pemikiran harus Realistis ( harus berdasarkan pada kenyataan yang sesungguhnya ) dan titik pangkalnya harus benar. Suatu pemikiran bila tidak berdasarkan pada kenyataan dan dalil yang benar, maka tidak akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, meskipun jalan pemikiran tersebut bersifat logis dan rasional. Suatu contoh misalnya ; Karena sakit si Budi mati, sekilas memang benar menurut kita contoh seperti ini, karena hubungan antara sakit dan mati adalah suatu hubungan yang logis. Tetapi kalau dalam kenyataannya si budi mati bukan sebab sakit, tapi karena di tabrak mobil. Maka kesimpulan seperti ini jelas tidak benar karena titik pangkalnya tidak benar dan tidak sesuai pula dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Meminjam istilah para ulama ushuliyyin ( ahli ushul fiqh ), cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang harus relevan antara dalil dan istidlal.
Kedua : Alasan dan argumentasi yang di ajukan dalam suatu pemikiran bukan dengan landasan mistik, bersifat prediksi dan praduga yang ngaco, namun berlandaskan pada sesuatu yang logis, rasional ( masuk akal ).
Masak orang berakal seperti kita harus percaya sama ki joko bodo, imam suroso, mama laurent dan dedi corbuzier sih.
Dan sangat tidak lucu lagi kalo aktivitas kehidupan kita harus ditentukan dengan bunyi tokek, suara burung tutit-tutit, Hitung-hitungan hari. Sungguh!!! Hal seperti ini sangat tidak rasional .....
Ketiga : Langkah-langkah pemikiran harus lurus dan berimbang. Sebab bisa jadi suatu pemikiran mempunyai titik pangkal yang benar tetapi langkah-langkah pemikiran tersebut tidak mempunyai hubungan yang relevan, akibatnya kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat dan salah.
Suatu contoh :
Semua orang bertato adalah penjahat
Dan semua penjahat harus dihukum
Jadi, semua orang yang bertato harus dihukum.
Sepintas, langkah dan jalan pemikiran ini cukup logis, tetapi kesimpulannya adalah salah sebab titik pangkal yang ditetapkan salah. Orang bertato itu tidak sama dengan penjahat. Meskipun sebagian penjahat itu bertato .
Atau contoh :
Semua sapi itu binatang
Semua kuda itu binatang
Jadi, sapi itu kuda
Titik pangkal pada kalimat pertama dan kedua ini adalah benar, tetapi kesimpulannya salah sebab tidak relevan antara titik pangkal dan kesimpulan .

Dalam suatu bentuk pemikiran, ada juga istilah yang dikenal dengan nama Open system problems ( system terbuka ), dan bentuk pemikiran seperti ini amat banyak beredar di kalangan masyarakat ; seperti contoh: jangan hujan-hujanan nanti terkena demam,jangan duduk diatas bantal lho nanti bisulan, kamu harus membaca amalan ini nanti kamu jadi orang kaya, jangan berenang dan mandi di air sekotor ini nanti terkena penyakit kulit. Bentuk pemikiran seperti ini sebetulnya bersumber dari suatu pengalaman seseorang atau orang lain, lalu di tarik suatu kesimpulan yang bersifat umum ( induksi ); memang berenang di air yang kotor bisa menyebabkan penyakit kulit, tapi apakah setiap orang yang berenang di air yang kotor akan terkena penyakit kulit? mungkin, tapi belum tentu demikian! dan apakah setiap orang yang kehujanan pasti jatuh sakit ! dan apakah setiap orang yang membaca bacaan tertentu pasti jadi kaya !! belum tentu .
Termasuk juga dalam bentuk pemikiran jenis ini, seperti orang yang mengatakan ; kalau ibu A kamu tempatkan di samping ibu B, mereka pasti bertengkar. Seseorang menyatakan dengan sebuah kesimpulan seperti ini, karena di landasi oleh pengetahuannya bahwa ibu A dan ibu B itu bermusuhan, dan ketika ada orang lain yang menginformasikan bahwa kedua ibu tersebut telah berbaikan bahkan sudah menjalin suatu persahabatan yang cukup karib, maka kesimpulan tentang mereka berdua pasti bertengkar bila bertemu sudah tidak pasti lagi.
Dan banyak contoh-contoh lain yang sering kita temui dalam persoalan kehidupan sehari-hari, baik dari pemahaman yang beredar di lingkungan masyarakat kita atau dari berita, ceramah dan isu-isu yang berkembang. Persoalan–persoalan seperti ini disebut Open system problems di mana semuanya tidak dapat di pastikan sebagaimana halnya dalam soal-soal ilmu pasti, selalu ada kemungkinan “dari luar” , yang mungkin bisa mengubah suatu kesimpulan yang telah dinyatakan .
Berbeda halnya dengan jenis pemikiran yang Closed system problems (sistem tertutup) yang telah di landasi oleh suatu rumusan dan aturan–aturan logika yang sudah pasti. Jika sudah di ketahui rumusan-rumusannya, maka dengan jalan pikiran yang logis dapat di tarik kesimpulan-kesimpulan yang pasti; dan tidak akan ada seseorangpun “ dari luar “ yang dapat menggoyangkan jalan pikiran atau kepastian kesimpulan. seperti halnya persoalan-persoalan dalam ilmu matematika, main catur, system mekanika. dan lain-lain. Selamanya, dan siapapun, kapanpun, dimanapun pasti setiap orang menyatakan bahwa 2+2=4 , sebuah segitiga sama sisi ketiga sudutnya adalah 180 derajat .
Lazim bagi kita untuk menumbuh kembangkan sikap kritis di era seperti ini agar kita tidak selalu menjadi obyek pembodohan massal oleh pemikiran–pemikiran seseorang atau informasi-informasi sampah yang banyak kita temui di internet, face book atau media-media informasi lainnya. Dengan kita selalu mempertanyakan kesemuanya itu melalui beberapa pertanyaan kritis :

1- Apa dasar dan alasan seseorang menyatakan pemikiran demikian? dan apakah cukup alasannya? bila pemikiran tersebut bersifat islami, apa dalilnya dan bagaimana cara istidlalnya?
2- Bagaimana jalan pemikirannya ? dan bagaimana langkah-langkahnya? dan apakah relevan keterkaitan satu langkah dengan langkah pemikiran berikutnya?
3- Apakah pernyataan itu tepat dan benar ? pasti ? sangat mungkin? atau sangat mungkin tidak benar?
4- Atas dasar informasi apakah pernyataan itu dikemukakan? apakah informasi tersebut benar?
5- Apa konsekwensinya jika pernyataan tersebut dipikirkan lebih lanjut? dan apakah ada hal lain yang dapat disimpulkan dari pernyataan tersebut?
6- Jika kita tidak setuju dengan pemikiran dan pernyataan seseorang, argumentasi apa yang harus kita miliki untuk membantahnya?

Wallahu a’lam.

Selasa, 20 April 2010

Kami Bangga Sebagai Remaja Masjid

Pengurus Harian IRMAP
Masjid- masjid bertebaran berdiri megah. Di pinggir–pinggir jalan, di perkampungan, bahkan di perkotaan sudah biasa kita saksikan kemegahan masjid-masjid itu. Berdirinya masjid-masjid yang terkesan megah dari satu sisi patut kita syukuri, sebab setidak-tidaknya kaum muslimin memiliki kesadaran betapa pentingnya mendirikan sarana-sarana ibadah, termasuk masjid. Betapapun pada akhirnya masjid–masjid itu kesepian. Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya apalagi Subuh bisa dihitung dengan mudah berapa jumlah orang yang mengunjunginya untuk berjamah. Dan bahkan tidak jarang masjid–masjid itu kosong dari kegiatan-kegiatan selain hanya sebuah tempat untuk sholat saja.

Lalu apa sebenarnya cita-cita islam dengan menganjurkan mendirikan masjid ?

Syekh Sa’id Romadhon Al-Buthi dalam kitabnya Fiqh as-sirah menjelaskan : Ketika Rasulullah Saw hijrah ke Madinah yang merupakan awal kebangkitan islam, Pertama-tama yang di bangun Rasulullah adalah masjid. Setiba di Madinah, Rasul membeli tanah dari dua orang anak yatim seharga sepuluh dinar, pada tanah itu terdapat pohon-pohon dan pekuburan kuno orang yahudi. Selanjutnya Rasul memerintahkan para sahabat untuk memotong pohon-pohon itu dan membongkar kuburan kuno orang-orang yahudi. Dan dibangunlah masjid dengan bahan seadanya, tiangnya dari kayu dan atap-atapnya dari pelepah kurma.

Mengapa Rasulullah memprioritaskan masjid ???

Ternyata apa yang dilakukan oleh Rasul dengan mendirikan masjid merupakan langkah strategis yang efektif untuk menyatukan umat islam. Bukan hanya bersatu dengan jasad melainkan bersatu dalam aturan, akidah ,keyakinan, misi dan visi dan lebih dari itu masjid di jadikan sarana yang paling efektif untuk penyebaran agama islam ( Dakwah ) dan sesuai dengan tengara ini Syekh yusuf Qordhowi menjelaskan dalam kitabnya Hadyul islam fatawa mua’shirah : Masjid pada zaman Rasul, merupakan pusat seluruh kegiatan kaum muslim, maka masjid bukan semata-mata di gunakan untuk shalat dan ibadah lainnya, bahkan ia merupakan pusat ibadah, ilmu pengetahuan, peradaban, sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan sebagai tempat untuk ta’arruf ( perkenalan ) di masjid itulah utusan dari berbagai jazirah arab datang dan disana pula Rasul menerima utusan-utusan itu. Disana pula beliau menyampaikan Khutbah dan pengarahan mengenai semua masalah kehidupan, baik yang berkenaan masalah agama, social maupun politik.
Dan di karenakan Masjid adalah pusat kegiatan umat dan pusat dakwah maka ia butuh kepada sumber daya yang potensial dan tak lain hal itu hanyalah pantas dan layak dibebankan kepada para remaja, sebab remaja ( pemuda ) adalah asset berharga dan benteng ummat yang paling kuat, selain daripada itu mereka adalah tiang, sumber kekuatan dan harapan masa depan ummat. Dan ummat yang sadar adalah yang memperhatikan para pemudanya.
Pemuda dalam pandangan islam adalah orang-orang yang paling mampu memikul beban amanat serta melaksanakan risalah dakwah yang terus menerus. Allah S.W.T. berfirman :

Sesungguhnya mereka itu( Ashabul kahfi ) adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada tuhan mereka dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk-petunjuk
( Q.S Al-Kahfi 18.13 )

Rasulullah Saw menasehati para pengikutnya untuk mempergunakan lima kondisi sebelum datang lima kondisi sebaliknya, antara lain kepemudaan sebelum ketuaan, betapa Rasul dengan hadist-nya ini menyadari bahwa masa muda adalah masa yang paling produktif dalam kehidupan manusia.Lebih dari itu Rasulpun dalam perjuangan dakwahnya banyak di dukung oleh sumber daya pemuda seperti Ali bin abi thalib dll.
Para penjajah, ketika hendak menghancurkan suatu bangsa, memusatkan perhatiannya terhadap penghancuran nilai-nilai, pikiran, dan akhlaq pemudanya sampai ke akar-akarnya. sebaliknya, apabila suatu bangsa ingin bangkit dan maju, hendaknya memperhatikan akidah, pikiran, akhlaq, dan tingkah laku pemudanya.
Para pemuda muslim saat ini sedang menghadapi krisis akidah, akhlaq, alam pikiran, budaya dan social, mereka hanya dapat dan harus diselamatkan dengan Islam, agar pada gilirannya mereka mampu menyelamatkan ummat, dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi ummat dan agen perubahan dalam masyarakat ( Agen of change ). Maka untuk mencapai tujuan ini suatu solusi yang efektif adalah harus dikembangkannya risalah masjid agar secara ideal kembali ke masa lampau sebagai pusat ibadah dan ilmu, pendidikan dan social sehingga para pemuda dapat berperan aktif didalamnya. Dengan demikian masjid akan menjadi pusat pencerahan keagamaan, moral, kebudayaan, social dan wahana ilmiah dalam masyarakat dewasa ini.
Allah menyatakan dalam Al-Qur’an : "Hanyalah yang memakmurkan masjid –masjid Allah ialah orang–orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian" ( Q.S At-taubah, 9.18 ).

Wallahu a’lam bisshowab.

Batasan Tawa dan Canda Menurut agama

Rasanya diantara kita tidak ada seorangpun yang tidak pernah tertawa. Dalam kehidupan kita sehari-hari pun banyak hal – hal yang membuat kita tertawa, tak jarang pula dalam pergaulan kita dengan orang lain, kita seringkali menyisipkan canda yang membuat kita tertawa. Singkat kata, Canda, tawa dan humor adalah sesuatu yang sudah lekat dengan kehidupan kita, lalu bagaimana pandangan agama tentang tawa dan canda ? Apakah hal itu dilarang dalam agama ? Dan sejauh mana kita diperbolehkan tertawa dan bercanda ?

Suatu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa tertawa itu termasuk ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang, karena tertawa itu terjadi setelah seseorang memahami dan mengerti perkataan yang didengarnya atau setelah melihat sesuatu, lalu ia tertawa karenanya.

Oleh sebab itu, kita bisa saja menyatakan : “ Manusia itu itu adalah binatang yang dapat tertawa “ ( Al-Insan hayawan ad-Dhohik ) selain itu para ulama mantiq mengatakan bahwa manusia itu adalah binatang yang dapat berbicara ( Al-Insan hayawan an-Nathiq ) . Maka benarlah jika ada orang yang mengatakan “ Saya dapat tertawa, karena saya manusia “ .
Hidup terasa hambar dan datar tanpa humor dan canda bagaikan masakan tanpa garam. Namun hanya dalam kadar kuantitas, kualitas dan penyajian tertentu akan menjadi penyedap kehidupan. Suatu kali Imam al-Ghazali melontarkan 6 pertanyaan kepada murid-muridnya yang hadir dalam majelis ta’limnya. Salah satunya adalah: Benda apa yang paling tajam di dunia ini?. Beragam jawaban muncul dari murid-murid beliau. Pisau, silet, sampai pedang. Imam al-Ghazali menanggapi jawaban murid-muridnya tersebut. “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tapi ada yang lebih tajam dari itu semua. Yaitu LIDAH”.

Meskipun lidah tidak bertulang, namun memang lidah bisa lebih tajam dari apapun, karena dia bisa ‘merobek’ hati. Bahkan kadang lidah bisa membuat lubang menganga di hati lawan bicara yang mungkin perlu waktu lama untuk mengembalikannya ke kondisi semula.

Dalam keseharian, kewajiban menjaga lidah ini tidak saja harus kita laksanakan baik di kala sedang bicara serius ataupun di kala bercanda. Point terakhir ini seringkali membuat kita tidak sadar telah melukai hati teman kita. Kata-kata yang kita maksudkan sebagai candaan, seringkali menusuk hati teman kita, bisa karena bercanda yang keterlaluan, bercanda di saat yang tidak tepat, dan sebagainya. Karena di saat bercanda, seringkali kita tidak memperhatikan bagaimana mood teman kita itu yang sebenarnya.
Memang bercanda kadang diperlukan untuk memecahkan kebekuan suasana sebagaimana yang dikatakan Said bin Al-’Ash kepada anaknya. “Kurang bercanda dapat membuat orang yang ramah berpaling darimu. Sahabat-sahabat pun akan menjauhimu.” Namun canda juga bisa berdampak negatif, yaitu apabila canda dilakukan melampaui batas dan keluar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nashaihul I’bad menyatakan bahwa Canda atau Tawa yang berlebihan dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, mendatangkan murka Allah dan dapat menimbulkan rasa dengki.

Allah Swt. berfirman, Artinya: “Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis” (QS An-Najm: 43).

Menurut Ibnu ‘Abbas, berdasarkan ayat ini, canda dengan sesuatu yang baik adalah mubah (boleh). Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan ayat diatas bahwa Allah Swt. telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis. Karena itu silahkan Anda tertawa dan menangis, namun tawa dan tangis itu harus sesuai dengan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.

Secara medis-pun terbukti bahwa tertawa dapat merangsang dan meningkatkan pelepasan endorphin, "hormon bahagia" tubuh. Tertawa juga meningkatkan sejumlah sel yang memproduksi antibodi dan meningkatkan efektivitas T-Cells (sel yang masuk ke dalam grup sel darah putih yang diketahui sebagai limfosit dan memainkan peran utama pada sistem kekebalan tubuh) dalam tubuh. Hal ini memperkuat sistem kekebalan tubuh dan juga membantu mengurangi gejala tekanan fisik.
Mungkin sebagian orang merasa aneh dengan pernyataan tersebut dan mencoba mengingkarinya, seperti yang pernah terjadi pada seseorang yang mendatangi Sufyan bin ‘Uyainah ra. Orang itu berkata kepada Sufyan, “Canda adalah suatu keaiban (sesuatu yang harus diingkari).” Mendengar pernyataan itu Sufyan berkata, “Tidak demikian, justru canda itu sunnah hukumnya bagi orang yang membaguskan dan menempatkan candanya sesuai dengan situasi dan kondisi.”

Dalam Kitab Fatawa Mu’asharah, Syekh Yusuf Qardhawi menyatakan : bahwa pada dasarnya tertawa dan bercanda ( bergurau ) itu diperbolehkan oleh syara’, namun harus sesuai dengan beberapa ketentuan dan persyaratan , yaitu :

  1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan candaan dan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?” (QS. at-Taubah: 65).
  2. Jangan menjadikan kebohongan dan mengada-ada sebagai alat untuk menjadikan orang lain tertawa , Sabda Rasulullah saw: “Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim)
  3. Jangan mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan orang lain. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain., karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan); dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk gelar ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” (QS. al-Hujurat:11) “Cukuplah keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
  4. Tidak boleh menimbulkan kesedihan dan ketakutan terhadap orang lain. Sabda Nabi saw: “Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti sesama muslim lainnya.” (HR. ath-Thabrani) “Janganlah salah seorang diantara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan maksud bermain-main maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Tirmidzi)
  5. Jangan bergurau untuk urusan yang serius dan jangan tertawa dalam urusan yang seharusnya menangis. Tiap-tiap sesuatu ada tempatnya, tiap-tiap kondisi ada (cara dan macam) perkataannya sendiri. Allah mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengarkan al-Qur’an padahal seharusnya mereka menangis, lalu firman-Nya: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis. Sedang kamu melengahkannya.” (QS. an-Najm:59-61). Hendaklah gurauan itu dalam batas-batas yang diterima akal, sederhana dan seimbang, dapat diterima oleh fitrah yang sehat, diridhai akal yang lurus dan cocok dengan tata kehidupan masyarakat yang positif dan kreatif.
  6. Islam tidak menyukai sifat berlebihan dan keterlaluan dalam segala hal. Dalam hal hiburan ini Rasulullah memberikan batasan dalam sabdanya; “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). Imam Ali ra juga mengatakan dalam salah satu untaian kata hikmahnya “Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.”Begitupula Sa’id bin Ash ( Sahabat rasulullah ) menyatakan “Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.”

Humor dan Canda Rasulullah SAW

Berikut ini Beberapa riwayat tentang humor dan canda Rasulullah saw. semoga dapat menjadi inspirasi humor yang sehat, cerdas, positif dan menyegarkan.
Syekh az-Zubair dalam kitabnya al-Fukahah wal Mizah meriwayatkan ; bahwa Zaid bin aslam bercerita : seorang wanita yang bernama Ummu Aiman pernah datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata, sesungguhnya suamiku mengundangmu, Rasul bertanya siapakah dia ? apakah orang yang matanya ada putih-putihnya ? ummu aiman menjawab, ‘ Demi Allah, di matanya tidak ada putih-putihnya.’ beliau lalu menimpali,’ ya dimatanya ada putih-putihnya. Ummu aiman berkata lagi, ‘ Tidak, Demi Allah.’ Lalu Rasul bersabda : ‘ Tidak ada seorangpun melainkan dimatanya ada putih-putihnya.’ yakni bagian mata yang putih yang melingkari biji mata yang hitam.
Imam at-Tirmidzi dalam kitabnya Sunan At-Tirmidzi meriwayatkan : Seorang perempuan tua bertanya pada Rasulullah: “Wahai Utusan Allah, apakah perempuan tua seperti aku layak masuk surga?” Rasulullah menjawab: “Ya Ummi, sesungguhnya di surga tidak ada perempuan tua”. Perempuan itu menangis mengingat nasibnya Kemudian Rasulullah mengutip salah satu firman Allah pada surat Al Waaqi’ah ayat 35-37 “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Riwayat At Tirmidzi, hadits hasan)
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Musnad Ahmad meriwayatkan : Seorang sahabat bernama Zahir, dia agak lemah daya pikirannya. Namun Rasulullah mencintainya, begitu juga Zahir. Zahir ini sering menyendiri menghabiskan hari-harinya di gurun pasir. Sehingga, kata Rasulullah : “Zahir ini adalah lelaki padang pasir, dan kita semua tinggal di kotanya”. Suatu hari ketika Rasulullah sedang ke Pasar, beliau melihat Zahir sedang berdiri melihat barang-barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah memeluk Zahir dari belakang dengan erat. Zahir terperanjat dan berkata : “Heii……siapa ini ? lepaskan aku !!!”, Zahir memberontak dan menoleh ke belakang, ternyata yang memeluknya Rasulullah. Zahir-pun segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah. Rasulullah berkata: “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini??” Zahir: “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai di pandangan mereka” Rasulullah: “Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir. Mau dibeli Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa damai dalam pelukan Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad dari Anas ra)
Dan juga suatu riwayat dari Imam al-Bukhari : Suatu ketika, Rasulullah saw dan para sahabat ra sedang ifthor ( Berbuka puasa ) dengan hidangan kurma dan air putih. Dalam suasana hangat itu, Ali bin Abi Tholib ra timbul isengnya. Ali ra mengumpulkan kulit kurma-nya dan diletakkan di tempat kulit kurma Rasulullah saw. Kemudian Ali ra dengan tersipu-sipu mengatakan kalau Rasulullah saw sepertinya sangat lapar dengan adanya kulit kurma yang lebih banyak. Rasulullah saw yang sudah mengetahui keisengan Ali ra segera menanggapi Ali ra dengan mengatakan kalau yang lebih lapar sebenarnya siapa ? (antara Rasulullah saw dan Ali r.a). Sedangkan tumpukan kurma milik Ali r.a sendiri tak bersisa. (HR. Bukhori,).

Wallahu a’lam.