KH Muhammad Sholeh
dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 10 Januari 1913 bertepatan pada 1 Shafar 1331 H di Poris Gaga
(kini bernama Poris Jaya) dari pasangan H. Sabun dan Saonah. Nasabnya dari
jalur ayah yaitu; H. Sabun bin Cabol bin Biman bin Abdul Khaer. Abdul Khaer
yang dimakamkan di Srengseng, Jakarta Barat diyakini sebagai salah satu
keturunan dari Kesultanan Cirebon.
Sementara dari
jalur ibu yaitu; Saonah binti Inta bin H. Utsman. Dalam catatan nasab keluarga,
H.Utsman adalah menantu dari Ulama kenamaan di wilayah Lengkong Kyai (kini
bernama Lengkong Ulama) yaitu Syekh Mustaqim bin Darda. H. Utsman menikahi
putri Syekh Mustaqim yang bernama Sa’diyah. Hingga kini makam Syekh Mustaqim
bin Darda yang terletak di belakang mimbar Masjid Jami’ Al Muttaqin, Lengkong,
Serpong masih ramai diziarahi.
Ada cerita unik
yang melatarbelakangi Muhammad Sholeh saat masih pemuda untuk menuntut ilmu,
cerita tutur mengisahkan bahwa motifnya menuntut ilmu berawal dari
keprihatinannya karena jum’atan yang sempat urung diadakan di Majid Poris sebab
para tokoh keagamaan saat itu sedang sibuk mengantar beberapa warga Poris yang
ketika itu akan berangkat haji hingga akhirnya jumatan batal dilangsungkan
karena ketiadaan petugas Ibadah Shalat Jum’at.
Sayangnya, tekad
kuat untuk menuntut ilmu agama ini kurang begitu didukung oleh orang tuanya,
tenaga Sholeh diperlukan untuk mengurus ternak kerbau. Hal ini yang menyebabkan
kepergian Sholeh untuk mondok pertama kalinya tanpa izin dari orang tuanya,
Sholeh yang sedang mengembala kerbau pergi mondok dan meninggalkan kerbaunya di
tepi sungai Cisadane.
Pondok pesantren
pertama yang dituju oleh Pemuda Sholeh saat itu adalah Pondok Pesantren
Pakulonan, Serpong dibawah asuhan KH Abdul Ghoni yang tak lain masih terhitung
pamannya sendiri sebab KH Abdul Ghoni adalah sepupu dari Saonah. Setelah kurang
lebih dua tahun menimba ilmu di pakulonan (1937-1939) Sholeh melanjutkan
thalabul Ilminya pada Kyai Tahir di Pondok Pesantren Plamunan, Kramatwatu,
Serang.
Di Pesantren
Plamunan ini, Sholeh berkawan akrab dengan sesama santri Tangerang yang di
kemudian hari sama-sama berjuang di jalan Tarbiyah, yaitu Abdurrahim yang kelak
akan dikenal sebagai KH Abdurrahim bin
H. Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muallim Drahim pendiri
Pondok Pesantren As Salam, Grendeng, Tangerang.
Setelah tiga
tahun (1939-1941) menuntut ilmu di Plamunan, Sholeh melanjutkan perjalanan
menuntut Ilmu pada KH Tubagus Sholeh
Ma’mun di Lontar, Serang. Di pondok pesantren ini Sholeh memfokuskan diri untuk
lebih mendalami Ilmu Al Quran dan Qiraat. KH
Sholeh Ma’mun memang termasuk ulama yang concern di bidang ilmu-ilmu Al
Quran, konon beliau pernah menjabat sebagai Imam di Masjidil Haram.
Murid-muridnya pun di kemudian hari lebih banyak yang berkonsentrasi di bidang
Ilmu-Ilmu Al Quran. Diantara murid KH
Tubagus Sholeh Ma’mun dikenal banyak orang adalah Prof KH Ibrohim Hosen LML (pendiri
Institut Ilmu Alquran dan ketua komisi fatwa MUI) dan KH Muhajirin Amsar
(pendiri Pondok Pesantren An Nida Al Islamy, Bekasi).
Di Lontar, Sholeh
menamatkan pelajaran Ilmu Al Quran dan Qiraat dalam tenggang waktu kurang lebih
setahun (1941-1942), setelah selesai menamatkan pelajarannya Sholeh diberi
sanad dan izin mengajar (Ijazah) untuk mengembangkan kajian Al Quran di kampung
halamannya.
Untuk
menyemangati Sholeh yang baru mulai mengabdikan diri di bidang pengajaran Al
Quran, nama Sholeh direferensikan oleh gurunya, KH Tubagus Sholeh Ma’mun pada
calon-calon santri yang berasal dari wilayah Tangerang bagian Timur &
Jakarta bagian barat. Calon santri yang akan belajar di Lontar direkomendasikan
untuk mengaji di Poris dibawah bimbingan Muhammad Sholeh.
Terhitung sejak
1943 Muhammad Sholeh mulai membaktikan dirinya di bidang kajian ilmu-ilmu Al
Quran. Meskipun juga ia menguasai disiplin bidang keilmuan lainnya, tetapi
nampaknya pengajaran yang diterimanya di Lontar itu yang lebih cocok dengan
karakter dirinya. Setelah sekian lama bergelut di bidang pengajaran Al Quran,
ia berinisiatif membentuk pendirian Jam’iyah Qurra wal Huffadzh di wilayah
Poris dan sekitarnya.
JQH atau
Jam’iyyatul Qurro wal Huffadz merupakan jam’iyyah atau organisasi yang
didirikan KH Wahid Hasyim pada tanggal 12 Rabul Awwal 1371 H bertepatan 15
Januari 1951 M, yang berkonsentrasi di bidang kajian Al Quran yang membidangi
seni baca Alquran, tajwid, tafsir, dan tahfidz juga bertujuan meningkatkan
kualitas pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an, terpeliharanya persatuan Qurra
wal-Huffazh Ahlussunah wal-Jama’ah.
Selain kesibukan
mengajar Al Quran, KH Muhammad Sholeh atau juga lebih dikenal di kalangan
murid-murid dan masyarakat sekitar dengan panggilan Guru Sholeh juga ikut
berpartisipasi dalam bidang sosial kemasyarakatan, tercatat Guru Sholeh
diberikan amanah untuk menjadi ketua pembangunan Masjid Al Wustho dan pada
tahun 1977, Guru Sholeh mensupport putranya KH Mas’ud Sholeh untuk mendirikan
Pondok Pesantren putri yang dinamakan Darus Salam.
Guru Sholeh
menikah dengan kerabatnya yang bernama Hj Naimah binti H Naiman, beberapa tahun
setelah wafatnya sang istri, Guru Sholeh menikah lagi dengan putri salah
seorang gurunya yang bernama Nyai Hj Apun binti KH Mirun.
Setelah sekian
lama menjalani hidup yang sarat pengabdian Guru Sholeh wafat pada hari Ahad
tanggal 23 Februari 1992 bertepatan 19 Sya’ban 1412 H dalam usia 79 tahun
dengan meninggalkan 3 orang putra dan putri yaitu:
1. Hj. Salbiyah
2. Ma’mun Sholeh (meninggal dalam usia muda)
3. KH Mas’ud Sholeh
4. Hj. Safinah
5. Hj. Shohifah
6. Ust. H. Masykur Sholeh
Guru Sholeh
wafat meninggalkan banyak murid-murid, diantaranya yang berhasil penulis catat
berdasarkan wawancara dengan putranya adalah:
1. Ust. H. Suhada, Kampung Malang
2. Ust. H. Dasuqi, Tangerang
3. Muallim Suhada, Poris Ampera
4. Ust. H. Jalim (ayahanda KH Ahmad Abdul Halim pengasuh pondok
pesantren Darul Quran Lan Taburo)
5. Ust. H. Sahroni, Ketapang
6. KH. Abdul Ghoni (pengasuh yayasan pendidikan islam Ibnu Rusyd)
7. Drs. Ust. H. Munir El Rasyid (Imam Masjid Al A’zhom)
8. Ust. H. Bakri (ketua yayasan pendidikan islam Nurul Hikmah, Cipondoh)
9. Drs. Ust. H. Ahmad Su’aidi, (ketua yayasan pendidikan islam
Darus Salam, Kalideres)
10. Dan lain-lain