Sejarah Tradisi Perayaan Maulid Nabi
Kata sejarah
berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun yang berarti pohon, artinya sebuah
pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih
kompleks atau lebih maju. Arti sejarah dalam kamus besar bahasa Indonesia
adalah mengandung tiga pengertian sebagai berikut:
1.
Sejarah berarti silsilah atau asal
usul.
2.
Sejarah berarti kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
3.
Sejarah berarti ilmu, pengetahuan,
cerita pelajaran tentang kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada
masa lampau.
Ibnu Khaldun (1332-1406) mendefinisikan sejarah sebagai catatan tentang masyarakat umum
manusia atau peradaban manusia yang terjadi pada watak atau sifat masyarakat
itu.
Kita mengatakan perayaan Maulid Nabi adalah bagian dari
tradisi umat islam karena Maulid Nabi hanyalah sebagai salah satu
tradisi dan kebudayaan umat Islam sejak masa lalu dan bukan bagian agama
(syari’at) sebuah kegiatan yang bertujuan
menyemarakkan syiar dakwah agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, maka perayaaan Maulid Nabi SAW
dikatagorikan sebagai kebudayaan Islam yang merupakan hasil kreasi umat Islam
yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri dan bertujuan untuk
mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Allah SWT karena Dia telah menurunkan
hamba-Nya Muhammad sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam.
Dalam bahasan ini nanti kita berusaha untuk merekonstruksi
sejarah tradisi perayaan Maulid Nabi ini dengan membuktikan siapa yang pertama
kali mencetuskan dan mengadakan perayaan Maulid dengan menggunakan banyak
sumber literatur sejarah untuk
membuktikan kevalidan sejarah tersebut. Sebab banyak sekali perdebatan mengenai
tradisi Maulid telah mengemuka sejak dulu sampai saat ini. Perdebatan ini bisa
dibaca dari banyaknya karya para ulama baik sejarawan barat ataupun sejarawan
muslim yang meneliti tentang awal mula
tradisi Maulid Nabi ini. Diantaranya
kitab-kitab yang menjadi sumber utama studi literatur dalam buku kita
ini adalah : Pertama “Tarikh al Ihtifal
Bil Maulid Annabawi Min Ashril Islam” karangan Prof Hasan Sanduby
diterbitkan di Cairo tahun 1948. Kedua “The
Birth of the Prophet Muhammad: Devotional Piety in Sunni Islam”. Karangan
Prof Dr.Marion Holmes Katz diterbitkan di New York tahun 2007. Ketiga “Muhammad's Birthday Festival: Early history
in the Central Muslim Lands and Development in the Muslim West until the
10th/16th Century”. Karangan N.J.G. Kaptein diterbitkan di Leiden tahun
1993.
Tidak tercatat
dalam kitab-kitab sejarah Islam informasi adanya Perayaan Maulid Nabi pada masa
beliau hidup seperti yang kita rayakan saat ini. Nabi hanya mengisyaratkan dalam sebuah
haditsnya yang diriwayatkan dalam kitab Sahih Muslim, Kitab As-siyam,
bahwa Nabi ditanya tentang puasa hari senin, dan ia menjawab: ". Itu
adalah hari aku dilahirkan dan itu adalah hari saya menerima wahyu
kenabian".
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin
karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini
adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin
karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu,
maka demikian pula bagi kita sudah
selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan
dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau
perbuatan baik lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang
setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya.
Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama
mengenai tanggalnya bukan pada harinya[1] maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal
12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah
bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini
juga ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada
Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari
tersebut. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti
sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca Al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah
kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini? Adakah
nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini? Adakah nikmat dan
karunia yang lebih agung daripada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita
dari jalan kesesatan? Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalani dalam syarah hadits ini
Adapun hadits-hadis yang
menceritakan secara khusus adanya anjuran perayaan Maulid Nabi di saat beliau
hidup yang sering dalam pengajian-pengajian maulid, para muballigh sering
ceritakan misalnya adalah:
"Barangsiapa
mengagungkan hari kelahiranku, maka kelak ia akan tinggal di surga bersamaku”.
atau 'hadits' lain seperti, "Barangsiapa
mendermakan satu dirham untuk merayakan hari kelahiranku maka tak ubahnya ia
mendermakan emas sebesar Gunung Uhud," dan
lain sebagainya.
'Hadits-hadits' ini dalam kitab-kitab kompilasi Hadits shahih
(kitab-kitab mu’tabar yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar rujukan
Hadits) tidak pernah didapati.
Jadi kesimpulannya, pada zaman
Nabi peringatan besar agama seperti perayaan Maulid Nabi ataupun peringatan
hari besar lainnya yang biasa pada zaman sekarang disebut Perayaan Hari Besar
Islam (PHBI) tidak pernah dilakukan. Perayaan Hari Raya resmi sebagaimana yang
dilakukan pada zaman Nabi hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Kemudian pada periode khulafa rasyidin dalam perayaan
hari-hari besarnya juga belum mengadakan perayaan Hari besar islam seperti
Maulid Nabi dan sebagainya. Menurut Prof. Hasan Sandubi saat itu semangat
spiritual umat Islam masih kokoh, pada periode ini hal yang urgen adalah memperkokoh konsolidasi
umat Islam setelah ditinggal wafatnya
Rosulullah sang pembawa risalah yang mulia dengan memerangi setiap
pemberontakan-pemberontakan internal umat Islam, serta menetapkan
praktek-praktek ritual keislaman yang masih sederhana agar lebih meresap dalam
jiwa setiap umat islam, serta berjihad untuk menyebarkan ajaran ajaran suci Islam
melalui penaklukkan-penaklukkan negara-negara sekitarnya .
B.
Kontroversi Pencetus
Perayaan Maulid Nabi
Sebenarnya banyak terjadi perbedaan pendapat sejarawan
dalam menentukan siapa yang pertama kali
mengadakan acara perayaan Maulid Nabi. Bisa disimpulkan ada dua pendapat
yang menengarai awal munculnya tradisi Maulid ini.
1.
Pendapat Pertama
Menurut
Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi'i (854 H)[2]
(seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya "Al-Khutath" menjelaskan
bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti
Fathimiyyah[3] di
Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan
rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kapten peneliti
sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University, sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman
tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah
hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti
Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun[4]
dan Ibnu Tuwayr[5].
a.
Ibnu Al-Ma’mun
Kitab
Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah
kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya
kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari
hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[6],
Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang
paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah
sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi'i .
Dalam
beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu
sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh
Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan
sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa
menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.
Maulid
di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali[7] menjadi wazir dia menghapus empat perayaan
maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah.
Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi
seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang.
b.
Ibn Al-Tuwayr
Sumber
kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr.
Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di
antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H),
Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H),
Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa
peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya
yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan
selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman
sekarang.
Ibn
Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam
perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib,
Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul
Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an,
pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk
merayakannya.
2.
Pendapat kedua
Sedangkan
Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh
Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn
Al-Maqsid Fi 'Amal al-Maulid juga
pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam
kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As
Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang
Raja Irbil[8] yang
dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kaukabri ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada
tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian
mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H.
Sekalipun dalam dua pendapat ini
menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai
dilakukan pada permulaan abad ke 4 H
dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi
Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang
atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu
bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami
terangkan secara detail nanti pada bab hukum merayakan Maulid Nabi.
C.
Acara Maulid Nabi
Ilustrasi sebuah acara keagamaan era
fatimiyyah di Masid Al Azhar
Dalam bab ini, kami
akan mendeskripsikan
secara detail acara
Maulid sebagaimana
yang telah
dijelaskan oleh Ibnu Al-Ma'mun
dan Ibnu Al-Tuwayr.
Sebagaimana akan kami jelaskan bagaimana acara Maulid terkenal yang dilakukan
oleh raja Irbil.
Perayaan Maulid Nabi yang diprakarsai oleh raja Al-Muiz Lidinillah selalu dibarengi dengan acara perayaan Maulid yang
lain yaitu Maulid
Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan imam yang sedang memerintah. Pihak pemerintah dinasti Fathimiyyah yang
mengadakan dan membiayai semua acara peringatan Maulid Nabi.
Perayaan
ini adalah hari besar Islam dan manjadi hari libur resmi negara. Perayaan ini
didukung oleh seluruh elemen masyarakat Mesir untuk meramaikannya. Pemerintah
membagi-bagikan sedekah kepada para fakir miskin dan membagikan hadiah pada
masyarakat secara umum. Sebagaimana para pembesar negara dan tokoh masyarakat
mengadakan jamuan-jamuan makan untuk merayakan maulid, para qori juga
meramaikan maulid dengan tilawah Quran di masjid jami’, ribat[9] dan zawiyah[10] di semua pelosok daerah. Acara-acara diadakan untuk
dzikir bersama dan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Itu adalah
pemandangan yang sangat menarik pada zaman itu sebagaimana ide raja Muiz
Lidinillah untuk mengadakan maulid kemudian diteruskan oleh raja-raja
setelahnya.
Ibnu
Tuwayr berkata: ”Pada saat 12 Rabiul awwal tiba Khalifah akan memberikan
perintah untuk membagikan 20 qintar kue dan roti halawiyyat serta manis-manisan di Dar Fitrah dan ini ditempatkan
pada 300 piring tembaga besar dalam rangka jamuan untuk maulid Nabi. Kemudian
piring-piring besar tersebut dihidangkan untuk para pembesar-pembesar (rusum Arbab) dan para pegawai
pemerintahan (rutab Arbab), dan
setiap hidangan itu terus diisi dari qawara, dari mulai waktu shubuh
sampai menjelang petang. Pembesar yang paling penting saat itu adalah kepala
hakim (qodhil qudhot) kemudian para Da’i, para qori Al-Quran juga masuk
di dalamnya para khotib, para guru dari masjid di Kairo dan para juru kunci
makam Ahl bayt. Dan undangan ini terbatas pada mereka saja sesuai perintah yang
dikeluarkan oleh majelis acara.
Istana
khalifah tentu saja adalah tempat pusat
perayaan Maulid, dan hanya para tamu undangan yang bisa hadir. Perayaan
Maulid dimulai dengan munculnya Khalifah dari jendela istana, Dari paviliun acara maulid dimulai dengan
sambutan Khalifah yang dibawakan oleh para pemuka kerajaan kemudian para qori
membacakan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran, para Da’i dan Muballigh
menyampaikan ceramah tabligh akbar yang mencakup banyak audiens, dan diakhiri
dengan Khatib dari Masjid Azhar yang tentu saja pada waktu itu, adalah lambang
dari lembaga dakwah dan keilmuan dinasti Fathimiyyah.
Juga sejumlah makanan yang dibagikan pada hari itu,
terutama di sekitar makam Ahl bayt terkenal Kairo (orang yang dianggap
sebagai keturunan Nabi) Perayaan-perayaan seperti ini juga terjadi misalnya pada perayaan hari besar Idul
Fitri, Idul Adha, perayaan Layali
al-wuqud[11] dan Ghadir
Khum[12].
Kemudian
pada tahun 487 H pada saat Al-Afdhal naik memerintah sebagai wazir yang sangat
berpengaruh kekuasaannya, perayaan Maulid Nabi dan perayaan Maulid yang lainnya
dihapuskan dan tidak diperingati lagi, Al-Afdhal ini meninggal pada tahun 515
H. Pada tahun 515 H dilantik Raja yang baru bergelar Al-Amir liah kamillah, dia
menghidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut, begitulah seterusnya
peringatan maulid Nabi Shallallahu `Alaihi Wasallam yang jatuh pada bulan Rabiul Awal diperingati dari tahun
ke tahun hingga zaman sekarang dan meluas hampir ke seluruh dunia.
1.
Perayaan Maulid Nabi Pada Masa Malik
Muzhaffaruddin
Sepeninggal
pemerintahan Fathimiyyah, Dinasti Ayyubiyah memelihara tradisi Maulid Nabi,
walaupun mereka menghapuskan sebagian perayaan-perayaan lain yang dipraktekkan
oleh dinasti Fathimiyah. Bahkan menurut Hasan Sandubi justru
Sholahuddin menghapus seluruh perayaan Dinasti Fathimiyyah termasuk Maulid Nabi
karena alasan politis jadi asumsi sebagian orang yang mengatakan bahwa
Sholahuddin adalah yang pertamakali mengadakan perayaan Maulid Nabi adalah sama
sekali tidak berlandaskan bukti yang valid. Sejarah hanya mencatat salah satu
pembesar Dinasti Ayyubiyah yang memerintah Irbil yaitu Malik
Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada tahun
630 Hijriyah mengadakan Maulid Nabi secara besar-besaran. Dia juga salah
seorang kerabat Sholahudin Al-Ayubi, dimana ia menikahi Rabi’ah Khatun, adik
Shalahudin Al-Ayubi karena kontribusinya yang besar dalam menegakkan pondasi
dinasti Ayyubiyah, ia juga merupakan teman seperjuangan Shalahudin dalam
melawan tentara Salib, terutama kecerdikannya dalam memenangkan peperangan
Khittin melawan tentara Salib.
Ibn Katsir
bercerita mengatakan: “Malik Muzhaffaruddin mengadakan
peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul
Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth
(cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan
seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits,
ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga
hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia
menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30
ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid
Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan
ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampai
Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat
itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar
tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi
yang digelar besar-besaran itu.
Menurut ibn khalikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama
dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar,
Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram
sampai Rabiul Awwal. Pada
awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan
kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok,
dan setiap bulan Safar kubah-kubah
tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat
sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat
terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah
tersebut.
Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam
Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju
Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin,
raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.
Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid
Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya
ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu
dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul
Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi.
2.
Tradisi Maulid Sepanjang
Zaman
Abu’l Husayn Muhammad,
yang lebih dikenal sebagai Ibn Jubayr (540-614H) menceritakan dalam kitab Rihal
[13].
“Maulid
Nabi (tempat lahir dan rumahnya Nabi) pada setiap hari senin selama bulan Rabiul Awal dibuka untuk umum dan orang-orang Mekkah serta para
jamaah umrah berduyun-duyun mendatanginya untuk mengambil berkah (tabarruk)”.
Abu Al-Abbas Ahmad
Al-Azafi dalam kitabnya Ad-durr Al-Munazzam fi Al Mawlid Al-mu’azzam menceritakan bahwa pada hari Maulid Nabi di kota Mekkah saat itu dalam memperingati
Maulid pintu Ka’bah dibuka dan semua
bentuk transaksi jual-beli diliburkan,
semua toko dan halaqah pengajian ditutup. Penduduk Mekkah dan para peziarah
sibuk bergegas mengunjungi rumah kelahiran Nabi.
Gbr. 1.
Ini adalah Foto tempat lahirnya
Nabi yang saat ini oleh pemerintah Saudi Arabia dijadikan sebagai perpustakaan
Mekkah Al-Mukarromah.
Gbr. 2. Foto Rumah kelahiran
Nabi yang oleh ibu khalifah Harun Rasyid dijadikan masjid kemudian oleh
pemerintah Saudi Arabia yang bermadzhab Wahabi dan tidak memperbolehkan Maulid
Nabi dihancurkan dan dijadikan perpustakaan (lihat foto atas).
Pada malam Maulid Nabi, penduduk Mekkah memperingatinya dengan
memasak makanan-makanan yang istimewa sebagaimana menyambut hari besar Islam
Idul Fitri. Pemimpin Mekkah (syarif) segera memerintahkan para askar
tentara untuk mendatangi tempat kelahiran Nabi dan melafalkan Qasidah
maulid di sana. Deretan lilin dan
lampu bersinar gemerlapan ditempatkan dari Masjidil Haram
sampai rumah tempat lahir Nabi. Toko dan rumah di jalan-jalan Mekkah juga dihiasi oleh berbagai
macam pernak-pernik lampu. Perayaan acara Maulid Nabi dimulai setelah sholat Maghrib
dengan membaca Qasidah Maulid di rumah tempat kelahiran Nabi.
Sejarawan terkenal Ibnu Bathuta menjelaskan dalam
bukunya Rihla bahwa sejak masuk bulan Rabiul Awwal setiap jum’at setelah shalat pintu Ka’bah dibuka oleh
pemimpim Bani Shayba petugas penjaga pintu Ka’bah dan pada tanggal 12 pemimpin
Qodhi Najmuddin Muhammad ibn Imam Muhyiddin Al-Tabari membagi-bagikan makanan
dan hadiah kepada para syurafa (keturunan Nabi) dan penduduk Mekkah
secara umum[14].
Setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul
Awal dalam rangka memperingati Maulid Nabi setelah sholat Maghrib keempat qodi
Mekkah yang mewakili dari 4 madzhab termasuk diantaranya para ulama tokoh tokoh
masyarakat Syeikh Zawiya dan para santrinya, ruasa (para fungsionaris pemerintahan) berduyun-duyun meninggalkan
Masjid Haram dan mendatangi tempat kelahiran nabi untuk mengikuti acara
perayaan Maulid mereka membaca dzikir dan membaca qosidah Maulid. Rumah-rumah
dan jalan umum dihiasi oleh berbagai lentera, lampu dan lilin-lilin besar para
penduduk Mekkah menggunakan pakaian istimewa dan mengajak anak-anak dan
keluarganya untuk menghadiri acara tersebut. Selepas acara di tempat kelahiran Nabi mereka berdesak-desakan kembali ke
Masjid Haram untuk melakukan sholat Isya berjamaah dan duduk bersimpuh di depan
Maqom Ibrahim kemudian mulai acara Maulid dimulai dengan sambutan kepada
khalifah, amir Mekkah dan para qodhi kemudian ceramah tentang sirah Nabi
diakhiri dengan doa.
[1]
Lihat
dalam kitab al-Ajwibah al-Mardliyyah karangan al-Imam al-Hafizh
as-Sakhawi
[2]
Karya beliau diantaranya adalah 1. Itti'azhul Khunafa`bi Akhbaril Al Aimmah al
fatimiyyin al khulafa (sebuah kitab tentang sejarah khalifah Fathimiyyah)
2. Al-Muqoffa 3. Mawa’iz Al-I’tibar fi Khitat Misr wal Amsar yang
biasa disebut kitab Al-Khitat
[3]
Penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai
wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam..Dinasti Fathimiyyah berkuasa selama 262
tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai tahun 567 H/ 1171 M. Fathimiyyah
didirikan pada 909 oleh ‘Abdullāh Al-Mahdi di Tunisia yang menurut sebagian
sejarawan adalah keturunan Fatimah Azzahra putri Rosulullah karenanya disebut
dinasti Fathimiyyah. Diantara sumbangsih dinasti Fathimiyyah bagi Islam adalah
membangun kota Kairo dan Masjid Al-Azhar yang menjadi lembaga pendidikan Islam
tertua dalam sejarah Islam (sekarang menjadi Universitas Al-Azhar)
[4]
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi
dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti
Fathimiyyah
[5] Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus
Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani
Al-Qaysarani (525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara
kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi
akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah.
[6]
Akbar
al-duwal al-munqati‘a, ed. A. Ferre, Cairo, 1972
[7]
Seorang wazir yang sangat berkuasa yang memerintah antara tahun 487H/1094M -
515H/1112M di bawah pemerintah khalifah Al Mustansir, Al Musta’li dan Al Amir
[8] Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau
amir. Irbil saat itu adalah propinsi dalam wilayah kekuasaan Dinasti
Ayyubiyyah. Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq
[9]
Awalnya adalah istilah Arab untuk
benteng kecil yang dibangun di sepanjang perbatasan negeri sebagai camp
sukarelawan militer (disebut Murabitun). Benteng ini kemudian berfungsi
untuk menjaga jalan dan sebagai tempat beristirahat para musafir. kemudian
istilah ini menjadi asrama bagi para kaum sufi sejenis zawiyah atau pondok
sufi, yang menyebar dari mesir sampai hingga maroko di ujung Afrika Barat,
disebut juga Khanqah dalam bahasa Persia.
[10] Adalah istilah Maghrib dan Afrika Utara
sejenis ribat, asrama sufi, madrasah tempat belajar (pesantren). Ini masih
berlaku di kebanyakan Negara Maghrib, dan terus menjadi sarana pendidikan yang
utama di semenanjung Afrika Utara, dari Mauritania ke Nigeria.
[11]
Adalah semacam perayaan negara malam lima belas Sya'ban dirayakan di
negara-negara pada zaman Abbasiyah dan Fathimiyah dengan menyalakan api unggun
dan lampu-lampu.
[12]
Adalah perayaan hari besar Islam menurut
muslim syiah pada tanggal 18 Dzulhijjah dalam penanggalan kalender Islam untuk
memperingati pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh Nabi Muhammad sebagai
khalifahnya.
[13]
Sebuah sebuah catatan perjalanannya menuju kota
suci Mekkah dari kampung halamannya di Andalusia (sekarang Spanyol) melakukan
perjalanannya selama dua tahun, antara tahun 1183 M dan 1185 M, hanya beberapa
tahun sebelum kemenangan Salahuddin Al-Ayyubi dalam Pertempuran Hattin tahun
1187 M, serta penaklukkan Jerusalem. Dia menulis dalam Rihalnya tempat-tempat
yang dilaluinya serta budaya dan tradisinya, dan lebih khusus lagi kota Makkah
dan Madinah.
Ada baiknya, setiap makalah disertai nama penulisnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah.
BalasHapus