A.
Zakat
Gaji Bulanan/ Zakat Profesi.
1. Pengertian
Zakat Gaji Bulanan/ Zakat Profesi
Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih),
al-nama’ (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang
lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua
makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam al-Hadits.
Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang
harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan
harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menumbuhkan
kebaikan-kebaikan yang banyak.[ [1]]
Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession”
yang artinya pekerjaan. Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi”
dalam makalah ini ialah zakat hasil
kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri,
pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Yang
dimaksud dengan gaji (salary) adalah upah kerja yang dibayar di waktu yang
tetap, dan di Indonesia biasanya gaji itu dibayar setiap bulan. Disamping gaji
merupakan penghasilan tetap setiap bulan, seorang karyawan terkadang menerima
honorium sebagai balas jasa terhadap suatu pekerjaan yang dilakukan diluar
tugas pokoknya, misalnya seorang dosen PTN mengajar beberapa fakultas yang
melebihi tugas pokok mengajarnya, ia berhak menerima honorium atas kelebihan
jam kerjanya.
Selain
penghasilan gaji dan honor yang bisa diterima oleh pengawas atau karyawan
adapula jenis penghasilan yang relative besar dan bersisa melebihi gaji resmi seorang
pegawai negeri. Seperti pengacara, notaris, konsultan, akuntan, dokter
spesialis dan profesi lainnya, merupakan profesi modern yang .tampaknya dengan mudah
bisa mendatangkan penghasilan besar. Zakat penghasilan tersebut termasuk
masalah ijtihad, yang perlu di kaji dengan skema menurut pandangan hukum
syariah dengan memperhatikan hikmah zakat dan dalil-dalil syar’i yang berkaitan
dengan masalah zakat.
Dalam prakteknya pekerjaan yang diserap di lapangan jasa
(bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak
terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan
yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb
al-’amal). Yang pertama adalah orang-orang yang bekerja memberikan
pelayanan atau jasa tanpa terikat dengan suatu kontrak atau perjanjian dengan
pihak lain. Contohnya seperti dokter yang melakukan praktek umum, notaris,
seniman, pengacara, artis, konsultan (termasuk mediator atau calo), dan
sebagainya. Masing-masing memperoleh upah atau imbalan yang cukup besar dari
jasa dan pelayanan yang mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap minggu
atau setiap praktek dan setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang yang
melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak
lain, misalnya seperti pegawai negeri, polisi, pegawai pabrik, atau menjadi
pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin
pada setiap bulan.[ [2]]
Zakat profesi didefinisikan sebagai zakat yang
dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang
dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan
penghasilan (uang) yang memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan,
advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya.[[3]]
2. Landasan Hukum Zakat Gaji Bulanan.
Ada beberapa konsep yang berkaitan
dengan permasalahan yang berkaitan dengan zakat profesi pada umumnya dan zakat
gaji pada khususnya. Masalah
zakat gaji di dalam al-Qur’an dan al-Hadis Nabi tidak dapat
dijumpai secara tertulis. Walaupun demikian tetap dapat digunakan keumuman ayat
267 surat al-Baqarah untuk dijadikan landasan hukum zakat gaji ini yaitu
sebagai berikut :
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا ڪَسَبۡتُمۡ
وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”…. (QS
:Al-Baqarah : 267).
Dalam ayat tersebut, kata “anfiqu” memberikan makna
wajib sesuai dengan kaedah ushul fiqh:
الأصل فى الأمر للوجوب
Artinya : “
Kaidah umum dalam kalimat perintah menunjukan wajib “
Ayat di
atas dapat dipahami secara umum, yaitu sebagai panggilan kepada orang yang
beriman setiap zaman dan generasi, memuat harta yang sampai ketangan mereka,
juga harta yang dihasilkan dengan tangan mereka dari yang halal dan yang baik,
serta apa yang dikeluarkan oleh Allah untuk mereka dari bumi, tanaman, tambang
dan minyak. Dari sana maka nash mencakup semua harta yang dikenal pada masa
Nabi dan yang akan datang, sehingga nash itu bersifat universal tidak lepas
dari harta yang terjadi di zaman manapun dan nash itu mewajibkan zakat atas
semua harta yang ada tersebut. Adapun aturannya terdapat dalam sunah yang
menerangkan macam-macam harta yang dikenal pada masa itu.
Kata “ma
kasabtum” dalam surat al-Baqarah ayat 267 itu bersifat umum (‘am)
dan memang sudah mendapat takhsisnya yaitu hadits Rasulullah Saw tentang bentuk
dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi, karena hukum pada
‘am dan khas ini sama, maka keumuman itu tetap berlaku secara
utuh untuk menetapkan zakat profesi. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul
:
Oleh karena
itu, mengambil keumuman lafadz dari ayat 267 surat al-Baqarah itu lebih
tepat dari pada mempertahankan kekhususan asbabun nuzul nya, sebab
kaedah ushul mengatakan :
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Sehingga, meskipun zakat itu
termasuk ibadah, tetapi bukan ibadah mahdah melainkan ibadah ijtima’iyah.
Zakat pada dasarnya adalah untuk merealisasikan keadilan yang menjadi tujuan
Islam. Zakat berfungsi untuk menyucikan harta dan mempersempit jurang pemisah
antara si-kaya dan si-miskin.[[4]]
Dalam menafsirkan ayat sebagian
ulama mengatakan : Kata ما termasuk kata yang mengandung
pengertian yang umum, yang artinya “sebagian dari hasil (apa saja) yang kamu
usahakan yang baik-baik”. Maka jelaslah
semua macam penghasilan (gaji, honorarium dan lainnya) terkena wajib zakat.
Dapat
dikatakan bahwa gaji termasuk al-mal al-mustafad yang dikeluarkan zakatnya
begitu diterima, meskipun kepemilikannya belum sampai setahun, berdasarkan
kepada pendapat sebagian sahabat (Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Muawiyah), serta
pendapat Umar bin Abdul ‘Aziz, al-Baqir, al-Shadiq, al-Nashir, Daud al-Zahiri.[[5]]
Besarnya
zakat yang harus dikeluarkan ialah seperempat puluh, berdasarkan nas-nas yang
mewajibkan zakat pada uang, baik kepemilikannya telah berlangsung selama
setahun penuh maupun belum mencapai setahun.
Jika
seorang muslim mengeluarkan zakat atas pendapatan atau profesi atau
pekerjaannya ketika dia menerimanya, dia tidak diwajibkan untuk mengeluarkan
zakat lagi pada akhir tahun, dengan begitu akan terjadi kesamaan antara
pendapatan yang diperoleh melalui profesi-profesi seperti itu dan penghasilan
para petani yang diharuskan mengeluarkan zakat tanaman dan buah-buahan ketika
mereka memetik dan memanen tanamannya.[[6]]
Mal mustafad
sudah disepakati oleh jamaah sahabat dan ulama-ulama berikutnya untuk wajib
dikenakan zakat. Perbedaan pendapat hanya pada wajib zakat, yaitu tentang
persyaratan haul, diantaranya :
1. Menurut Imam Abu Hanifah
Mal mustafad tidak
dizakati sebelum sempurna satu tahun ditangan pemiliknya, kecuali apabila
pemilik mempunyai harta sejenis yang pada permulaan tahun sudah mencapai satu
nisab, maka mal mustafad itu dipungut
zakatnya bersamaan dengan harta yang sudah ada setelah harta yang sudah ada itu
mencapai satu tahun.
2. Menurut Imam Malik
Mal mustafad tidak dizakati sebelum
sempurna setahun, baik si pemilik mempunyai harta yang sejenis ataupun tidak, kecuali
binatang ternak. Kalau mal mustafad itu benatang ternak sedangkan si pemilik
mempunyai ternak sejenis, maka mal mustafad binatang ternak itu
mengikuti tahunnya binatang ternak yang ada.
3. Menurut Imam Asy-Syafi’i
Mal Mustafad tidak dizakati
sebelum setahun, meskipun si pemilik mempunyai harta yang sejenis, kecuali anak
ternaknya sendiri, maka mal mustafad yang berupa anak ternaknya sendiri
dizakati mengikuti induknya.
4. Menurut Imam Ibnu Hazm
Mengkritik penafsiran ulama empat tersebut dan ia menyatakan
pendapat-pendapat tersebut tanpa dalil sama sekali. Menurut dia, semua harta
itu disyaratkan setahun, baik harta mustafad maupun tidak, baik anak binatang
ternak maupun tidak.
5. Menurut Daud az-Zahiri
Mal mustafad wajib zakat tanpa syarat sampai setahun.
5. Menurut Yusuf al-Qardawi
Mal mustafad seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter,
pengacara, pemborong dan penghasilan modal diluar perdagangan, persewaan mobil,
perahu, penerbangan, hotel, tempat hiburan dan lain sebagainya, wajib dikenakan
zakat dan tidak disyaratkan sesampainya setahun, akan tetapi dizakati pada
waktu menerima pendapatan tersebut.
Landasan fikih (at-takyif al-fiqhi) zakat
profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat
untuk al-maal al-mustafaad (harta
perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah
setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara
kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang
semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu
Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan
Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal
al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki
selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang
mewajibkan haul
bagi harta zakat, yaitu hadits Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi
Saw bersabda: "Tidak ada zakat
pada harta hingga berlalu atasnya haul." (HR Abu Dawud). [[7]]
B. Syarat Wajib Zakat
Ada 2 syarat wajib zakat, yang
pertama menyangkut orang dan yang kedua berkenaan dengan harta. Syarat yang
berkenaan dengan orang yang wajib zakat, diantaranya :
1.
Islam
Ini
berdasar pesan Rasulullah saw. kepada Mua’dz bin Jabal saat mengutusnya ke
Yaman, “… beritahukan kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dari para orang kaya dan dibagikan
kepada para orang fakir.” (muttafaq alaih). Artinya zakat adalah kewajiban
yang tidak diwajibkan kepada seseorang sebelum masuk Islam. Meskipun zakat itu
adalah kewajiban sosial yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat,
tetap saja zakat merupakan ibadah dalam Islam. Dan makna ibadah inilah yang
lebih dominan sehingga tidak diwajibkan atas non muslim.
2. Merdeka
Menurut kesepakatan
ulama tidak ada zakat atas hamba sahaya, sebab hamba sahaya tidak bisa memiliki
apa-apa, bahkan tuannyalah yang memiliki apa yang ada ditangan hambanya. Begitu
juga tidak ada zakat atas mukatab ( hamba sahaya yang dijanjikan akan
merdekakan oleh tuannya dengan catatan menebus dirinya ) atau sesamanya, sebab
walupun ia memiliki harta, maka kepemilikan hartanya tidak penuh. Dengan
demikian menurut mayoritas ulama, zakat diwajibkan atas tuan, sebab dialah yang
memiliki harta hambanya. Oleh sebab itu zakat diwajibkan atas tuannya, seperti
halnya harta yang berada ditangan syarik dalam sebuah usaha perdagangan dan di
tangan wakil. Mazdhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada zakat pada harta milik
seorang hamba sahaya, baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas
tuannya, sebab harta bendanya milik hamba sahaya yang tidak penuh.Padahal zakat
hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh.
3. Baligh
dan berakal
Baligh
dan berakal merupakan syarat bagi mazdhab hanafi, sehingga tidak ada beban zakat
bagi harta anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak termasuk dalam kriteria
orang yang wajib menunaikan ibadah seperti shalat dan puasa. Sedang menurut
mayoritas ulama, keduanya dipandang bukan sebagai syarat. Oleh sebab itu zakat
wajib dikeluarkan dari harta anak kecil dan orang gila. Namun yang wajib mengeluarkan zakatnya adalah walinya,
berdasarkan hadist berikut :
منْ
وَلَى يَِتـيْمًا لهُ مَالٌ فَـلْيَـتَّجِرْ لَهُ. وَلا يَتْرُكهُ حـتَّى تَأكـلهُ
الصََّدقَـة
Artinya:
“
barang siapa menjadi wali atas anak yatim yang mempunyai harta, maka
hendaklah ia memperdagangkan untuknya. Dia tidak boleh membiarkannya sehingga
harta tersebut habis dimakan zakat “.
Sedangkan yang menyangkut harta, harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya adalah harta yang telah memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1.
Kepemilikan
penuh (Milk at-Taam) Maksudnya, penguasaan seseorang terhadap harta kekayaan
sehingga bisa menggunakannya secara khusus. Karena Allah swt. mewajibkan zakat
ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya. Perhatikan firman Allah
swt. ini, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103)
Karena itulah zakat tidak diambil dari harta yang tidak
ada pemiliknya secara definitif. Seperti al-fa’i (harta yang diperoleh tanpa
perang), ghanimah, aset negara, kepemilikan umum, dan waqaf khairi.
Sedang waqaf pada orang tertentu, maka tetap kena wajib zakat menurut pendapat
yang rajih (kuat) .
Tidak wajib zakat pada harta haram, yaitu harta yang
diperoleh manusia dengan cara haram, seperti ghasab (ambil alih semena-mena),
mencuri, pemalsuan, suap, riba, ihtikar (menimbun untuk memainkan harga),
menipu. Cara-cara ini tidak membuat seseorang menjadi pemilik harta. Ia wajib
mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka
ia wajib bersedekah dengan keseluruhannya.
2.
Berkembang
(an-Nama) artinya, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus harta yang
berkembang aktif, atau siap berkembang, yaitu harta yang lazimnya memberi
keuntungan kepada pemilik. Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang muslim tidak
wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya.” (HR.Muslim). Dari hadits
ini beberapa ulama berpendapat bahwa rumah tempat tinggal dan perabotannya
serta kendaraan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harta itu disiapkan
untuk kepentingan konsumsi pribadi, bukan untuk dikembangkan. Dari ini pula
rumah yang disewakan dikenakan zakat karena dikategorikan sebagai harta
berkembang, jika telah memenuhi syarat-syarat lainnya.
3.
Mencapai
nishab, yaitu batas minimal yang jika harta sudah melebihi batas itu, wajib
mengeluarkan zakat; jika kurang dari itu, tidak wajib zakat. Jika seseorang
memiliki kurang dari lima ekor onta atau kurang dari empat puluh ekor kambing,
atau kurang dari dua ratus dirham perak, maka ia tidak wajib zakat. Syarat
mencapai nishab adalah syarat yang disepakati oleh jumhurul ulama. Hikmahnya
adalah orang yang memiliki kurang dari nishab tidak termasuk orang kaya, sedang
zakat hanya diwajibkan atas orang kaya untuk menyenangkan orang miskin. Hadits
Nabi, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (Bukhari dan Ahmad)
4.
Nishab
itu sudah lebih dari kebutuhan dasar pemiliknya sehingga ia terbukti kaya.
Kebutuhan minimal itu ialah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi ia akan mati.
Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, alat kerja, alat perang, dan
bayar hutang. Jika ia memiliki harta dan dibutuhkan untuk keperluan ini, maka
ia tidak zakat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah swt., “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih
dari keperluan.” (Al-Baqarah: 219). Al-afwu adalah yang
lebih dari kebutuhan keluarga, seperti yang dikatakan oleh kebanyakan ahli
tafsir. Demikian juga yang Rasulullah saw. katakan, “Tidak wajib zakat,
kecuali dari orang kaya.” (HR.Bukhari dan Ahmad). Kebutuhan dasar itu
mencakup kebutuhan pribadi dan yang menjadi tanggung jawabnya seperti isteri,
anak, orang tua, kerabat yang dibiayai.
5.
Pemilik
lebih dari nishab itu tidak berhutang yang menggugurkan atau mengurangi
nishabnya. Karena membayar hutang lebih didahulukan waktunya daripada hak orang
miskin, juga karena kepemilikan orang berhutang itu lemah dan kurang, orang yang
berhutang adalah orang yang diperbolehkan menerima zakat, termasuk dalam
kelompok gharimin.
Syarat hutang yang menggugurkan atau mengurangi zakat itu
adalah:
a.
hutang
yang menghabiskan atau mengurangi nishab dan tidak ada yang dapat digunakan
membayarnya kecuali harta nishab itu.
b.
hutang
yang tidak bisa ditunda lagi, sebab jika hutang yang masih bisa ditunda tidak
menghalangi kewajiban zakat.
c.
Syarat
terakhir, hutang itu merupakan hutang adamiy (antar manusia), sebab hutang dengan Allah seperti
nadzar, kifarat tidak menghalangi kewajiban zakat.
6.
Telah
melewati masa satu tahun ( haul ). Harta
yang sudah mencapai satu nishab pada pemiliknya itu telah melewati masa satu
tahun qamariyah penuh. Syarat ini disepakati untuk harta seperti hewan ternak,
uang, perdagangan. Sedangkan pertanian, buah-buahan, madu, tambang, dan
penemuan purbakala, tidak berlaku syarat satu tahun ini. Harta ini wajib
dikeluarkan zakatnya begitu mendapatkannya. Dalil waktu satu tahun untuk
ternak, uang, dan perdagangan adalah amal khulafaur rasyidin yang empat, dan
penerimaan para sahabat, juga hadits Ibnu Umar dari Nabi saw., “Tidak wajib
zakat pada harta sehingga ia telah melewati masa satu tahun.” (HR Ad-Daru
Quthni dan Al-Baihaqi).[[8]]
C.
Harta Yang Wajib Dikeluarkan
Zakatnya
Harta (maal) yang wajib dikeluarkan zakatnya dapat dibedakan atas obyek zakatnya antara lain:
1.
Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi
hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba).
a. Nishab zakat unta
Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, "Onta yang kurang dari lima ekor tidak dipungut
zakat."
Maka Nishab onta adalah 5, maka
barangsiapa memiliki 4 ekor onta, ia belum wajib zakat. Zakat wajibnya seperti
dalam tabel berikut ini :
Jumlah
|
Zakat
wajibnya
|
5
– 1 9
|
Seekor kambing
|
10
– 14
|
Dua ekor kambing
|
15
– 19
|
Tiga ekor kambing
|
20
– 24
|
Empat ekor kambing
|
25
– 35
|
1 bintu makhadh/anak onta yang
induknya sedang hamil (usia > 1 tahun)
|
36
– 45
|
1 bintu labun/anak onta yang
induknya sedang menyusui (usia > 2 tahun)
|
46
– 60
|
1 onta hiqqah (onta betina berusia
> 3 tahun)
|
61
– 75
|
1 onta jadza’ah ( onta betina berusia
> 4 tahun)
|
76
– 90
|
2 ekor onta bintu labun
|
91
– 120
|
2 hiqqah
|
Lebih dari 120, maka
setiap 50 ekor zakatnya satu hiqqah, dan setiap 40 ekor zakatnya satu bintu
labun.[[9]]
b. Nishab dan besar zakat sapi
Nishab sapi yang dipilih oleh empat madzhab adalah 30
ekor sapi. Kurang dari itu, tidak wajib zakat.
Mulai
|
Sampai
|
Besar zakat wajibnya
|
1
|
29
|
Tidak wajib zakat
|
30
|
39
|
Seekor Ta bi’ ( sapi berusia > 1 th
)
|
40
|
59
|
Seekor Mu’sinah ( Sapi berusia >
2th )
|
60
|
69
|
2 ekor anak sapi
|
70
|
79
|
1 ekor Tabi’ dan 1 ekor Mussinah
|
Setiap 30
ekor, zakatnya 1 ekor sapi jantan/betina umur 1 th Dan setiap 40 ekor,
zakatnya 1 ekor
|
Dalil masalah ini adalah hadits Masruq dari Mu’adz bin
Jabal. Muadz berkata, “Rasulullah saw. mengutusku ke Yaman, dan menyuruhku
untuk mengambil setiap 30 ekor sapi, seekor tabi’ jantan atau betina, dan
setiap 40 ekor zakatnya satu ekor musinnah.”
Namun, Said bin Al Musayyib dan Ibnu Syihab Az Zuhriy
berpendapat bahwa nishab sapi adalah sama dengan nishab onta, yaitu 5 ekor.
Imam At-Thabari berpendapat bahwa nishab onta adalah 50 ekor. [[10]]
Nishab dan besar
zakat kambing :
Hukumnya wajib berdasarkan As-Sunnah dan Ijma’. Abu Bakar
r.a. memberikan catatan kepada Anas r.a. tentang nishab hewan ternak, seperti
yang telah disebutkan di depan. Al-Majmu’ (Imam An-Nawawi) dan Al-Mughni (Ibnu
Qudamah) menyebutkan telah terjadi ijma’ tentang wajib zakat kambing. Besar
zakat kambing seperti yang ditulis Abu Bakar r.a. dapat dilihat dalam table
berikut ini:
Mulai
|
Sampai
|
Besar zakat wajibnya
|
1
|
39
|
Tidak wajib zakat
|
40
|
120
|
Seekor kambing
|
121
|
200
|
Dua ekor kambing
|
201
|
299
|
Tiga ekor kambing
|
300
|
399
|
Empat ekor kambing
|
400
|
499
|
Lima ekor kambing
|
Berikutnya setiap
seratus ekor kambing zakatnya satu ekor kambing
|
Perlu dicatat di sini, bahwa syariah Islam meringankan
zakat kambing. Semakin banyak, zakatnya 1%, padahal persentase zakat yang lazim
2,5%. Hikmah yang tampak adalah, bahwa kambing itu banyak yang kecil karena
dalam setahun ia beranak lebih dari sekali, dan setiap kali beranak lebih dari
satu ekor, terutama domba. Kambing-kambing kecil ini dihitung, tetapi tidak
bisa digunakan untuk membayar zakat. Dari itulah keringanan ini tidak menjadi kecemburuan
pemilik onta dan sapi atas pemilik kambing. Sedangkan bilangan 40 pertama,
wajib mengeluarkan zakatnya seekor kambing, karena di antara syaratnya -menurut
pendapat yang rajah (kuat) - 4 ekor kambing itu telah dewasa. Dan inilah
pendapat madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i dalam membahas zakat seluruh hewan
ternak.
2. Emas Dan Perak ( Nuqud )
Dari Ali
bin Abi Thalib r.a. dari Nabi saw. bersabda, "Jika kamu memiliki
dua ratus dirham dan sudah sampai haul, maka zakatnya lima dirham, dan kamu
tidak wajib mengeluarkan zakat yaitu dari emas sebelum kamu memiliki dua puluh
dinar. Jika kamu memiliki dua puluh dinar dan sudah sampai haul, maka zakatnya
½ dinar." (HR Abu Daud )
Dari hadits di atas maka kita ketahui bahwa nishab emas ialah sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar islam. 1
dinar = 4,25 gr emas Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni. sedangkan perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr
dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas. Termasuk dalam kategori emas dan perak adalah
mata uang yang berlaku pada waktu itu di masing-masing negara. Oleh karena segala bentuk penyimpanan uang
seperti tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya, termasuk
kedalam kategori emas dan perak. sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat
disetarakan dengan emas dan perak.
Pada emas dan perak atau
lainnya yang berbentuk perhiasan yang digunakan, asal tidak berlebihan maka tidak
diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.
3. Barang Perniagaan/Perdagangan
Nishabnya ialah senilai 85 gram emas murni dalam satu tahun =
zakatnya 2,5%, Barang perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk
diperjualbelikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat,
pakaian, makanan, perhiasan, dan lain-lain.
4. Hasil Pertanian
Tanaman-tanaman
dan buah-buahan yang terkena wajib zakat hanya ada empat macam. Berdasar hadits
dari Abi Burdah dari Abu Musa dan Mu'adz r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah
mengutus keduanya ke Yaman menjadi da'i di sana, lalu beliau memerintah mereka
agar tidak memungut zakat, kecuali dari empat macam ini: gandum sya'ir (sejenis
gandum lain), kurma kering, dan anggur kering."
Terdapat
beberapa pendapat atas jenis tanaman yang terkena zakat diatas :
a.
Hasil pertanian yang
terkena wajib pajak ialah hanya seperti tersebut diatas (gandum, padi, kurma
dan anggur kering) Pendapat Hasan Bashri
b.
Hasil pertanian yang
tumbuh-tumbuhan atau tanaman merupakan makanan pokok (pendapat Imam Syafi’i).
c.
Hasil pertanian yang
tanamannya bernilai ekonomis baik makanan pokok atau sayur-sayuran dan
buah-buahan kecuali rumput dan pohon yang tidak berbuah.
5.
Kekayaan Laut
Ma’din ( hasil tambang ) adalah benda-benda yang terdapat di
dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seprti perak,emas, timah, tembaga, marmer, minyak bumi, batu bara dan
lain-lain, kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut,
seperti mutiara, ambar dan lain-lain.
6.
Rikaz / Barang temuan
Rikaz adalah harta terpendam
dari zaman dahulu atau biasa disebut Harta Karun. Termasuk didalamnya harta
yang diketemukan dan tidak ada yang mengakui sebagai pemiliknya.
Rikaz, (barang
galian) ialah harta karun yang didapat tanpa niat mencari harta terpendam dan
tidak perlu bersusah payah. Zakat dari rikaz ini harus segera dikeluarkan,
tanpa dipersyaratkan haul (melewati setahun) dan tidak pula nishab. Berdasarkan
keumuman sabda Nabi saw., "Dalam barang rikaz itu ada zakat (yang
harus dikeluarkan) sebanyak seperlima bagian (20%)." (Muttafaqun
‘alaih).[[11]]
C.
Tujuan dan Manfaat Zakat Uang
Seperti diisyaratkan dalam ayat 103 dari surat At-Taubat, bahwa secara
teologis kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai
syubhat dan sekaligus membersihkan jiwa pemiliknya dari berbagai kotoran
rohani. Dan secara sosial menunjukkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan
orang-orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga terjalin persaudaraan yang
kokoh di masyarakat yang saling menolong dan saling menyayangi.
Rasulullah SAW memberikan petunjuk
agar mengeluarkan zakat secara proporsional, sehingga harta yang digunakan
untuk keperluan keluarga adalah harta yang sudah bersih, sedangkan harta yang
dikeluarkan untuk kelompok fakir miskin berfungsi sebagai tali kasih yang
memperkokoh persaudaraan dan kekeluargaan. Fungsi dan manfaat zakat yang lain
disebutkan oleh Wahbah az-Zuhaily antara lain :
1. Menghindari kecemburuan sosial sehingga harta
menjadi aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di
masyarakat.
2. Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin.
Apabila mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan
sebagi modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai kerampilan, maka akan
dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya.
3. Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang
tidak terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mu’min yang
telah membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan.
4. Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah
SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan kemudahan-kemudahan mencari
rizki. Bukankah banyak orang yang telah
bekerja keras dan membanting tulang
tetapi rizkinya pas-pasan.[[12]]
Menurut Yusuf Qardhawi
: Sesungguhnya kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar, maka
dimanfaatkanlah oleh orang-orang yang mengedarkannya. Sebaliknya penyimpanan dan pemendamannya akan
menyebabkan tidak lakunya pekerjaan-pekerjaan, merajalelanya pengangguran,
matinya pasar-pasar, dan mundurnya kegiatan perekonomian secara umum[[13]].
E.
CARA-CARA MENGELUARKAN ZAKAT GAJI BULANAN
Sebelum kita mengetahui bagaimana cara mengeluarkan zakatnya
maka terlebih dahulu kita mengetaui berapa kadar / nishab harta ( penghasilan )
yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Muhammad Al-Ghazali menggunakan pendekatan analogis (al-qiyas)
dalam menentukan nisab dan kadar zakat profesi. Beliau menyamakan jasa profesi
dengan pertanian dan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya hanya
memperhitungkan keuntungan (miqdar al-dakhl), tidak memperhitungkan
modal, karena modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan pikiran Muhammad
Al-Ghazali ini berakar dari masalah pembebanan kewajiban zakat. Menurut beliau
obyek zakat secara garis besarnya dapat dibagi dua :
1.
Harta kekayaan yang menggunakan
modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang, yaitu modal uang tunai (al-nuqud)
dan modal barang-barang dagangan.
2.
Harta kekayaan yang relatif tetap
yang hanya memperhitungkan keuntungan yang masuk, seperti tanah-tanah pertanian
dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi disamakan dengan jasa tanah-tanah
pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya tidak
menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya menghitung hasilnya saja.
Berbeda dengan modal uang atau barang-barang dagangan, dalam hal ini modal dan
keuntungannya dihitung dan dijumlahkan.
Pemikiran
Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sector
perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller, garmen dan
sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata.
Nisabnya 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras dan kadar zakatnya 5-10%.[[14]]
Yusuf
Qardhawi mempunyai pendapat lain, beliau mengakui betapa rendahnya nisab sektor
pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang diwajibkan, yaitu nisabnya 12
kwintal gabah x Rp 330.000,- = Rp
3.960.000,- atau 7.20 kwintal beras x Rp 5.500,- = Rp 3.960.000,-
sedangkan kadar zakatnya 10% yaitu 120 kg gabah atau 72 kg beras = Rp 396.000,-
atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg gabah atau 36 kg beras = Rp 198.000,-
(dengan perhitungan 5 wasaq x 60 sha’ x 4 mud x 0,6 kg dan setiap 1 kwintal
gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusuf Qardhawi memberikan komentar barang kali
pembuat syari’at menghendaki demikian karena hasil pertanian menjadi bahan
makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya beliau menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih
tepat, yaitu bahwa hasil profesi disamakan dengan uang emas (al-nuqud),
bukan dengan pertanian (al-zuru’). Alasannya karena gaji pegawai atau imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan
uang tunai. Dengan demikian nisabnya 85 gram emas atau Rp 30.600.000,-
(dengan perkiraan harga Rp 360.000,-/gram) dan kadar zakatnya 2,5% Rp 765.000,-
Pendapat Yusuf Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum)
yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar :
a. Pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min
thayyibati ma kasabtum).
b. Pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min
ma akhrajna lakum min al-ardhi).
Maka
menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat
jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam.
Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sektor pertanian
sebesar Rp 3.960.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 396.000,- atau Rp 198.000,- adalah memberatkan. Karena kaum tani yang memperoleh penghasilan 12 kwintal permusim (lebih kurang
selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum termasuk kategori orang kaya, apa lagi dengan
membebankan kadar zakat yang cukup tinggi, yaitu 10%. Hal ini bertentangan
dengan prinsip zakat, yaitu diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada
orang-orang miskin.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas tentang cara penghitungan nisab, maka cara
mengeluarkan zakatnya ada beberapa opsi :
1. Menganalogkan zakat profesi
dengan zakat penghasilan bumi baik nisab maupun kadarnya karena
kedua-duanya sama-sama hasil jasa. Maka nisabnya senilai Rp 3.960.000,- dan
zakatnya Rp 396.000,- atau Rp 198.000,- dikeluarkan
pada saat menerima gaji atau jasa profesi tersebut (wa’tu haqqahu yauma
hashadih).
2. Menganalogkan zakat profesi dengan zakat emas
atau perdagangan secara mutlak, mengingat karena kedua-duanya berbentuk usaha (kasab
al-’amal). Maka nisabnya Rp 30.600.000,- dan zakatnya Rp 765.000,- dengan
memandang bahwa tahun adalah satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan
(haul) dan seluruh pendapatan dalam tahun itu dijumlahkan dengan asumsi bahwa
zakat adalah kewajiban yang dibebankan kepada nilai (al-qimah), bukan
kepada materinya (al-’ain). Pembayarannya dapat dilaksanakan pada
akhir tahun (haul) atau dicicil pada setiap menerima gaji atau hasil profesi
3. Ada pendapat lain yang mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu zakat
pada gaji bisa dianalogikan pada dua hal secara sekaligus, yaitu pada zakat
pertanian dan pada zakat emas dan perak.. Dari sudut nisab dianalogikan pada
zakat pertanian, yaitu sebesar lima ausaq atau senilai 653 kg
padi/gandum dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Karena dianalogikan pada
zakat pertanian maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul. Ketentuan
waktu menyalurkannya adalah pada saat menerimanya. Penganalogian zakat profesi
dengan zakat pertanian dilakukan karena ada kemiripan diantara keduanya, yaitu
pada waktu memanen/menerima gaji itu. Sedangkan
dari sudut kadar zakat, maka dianalogikan pada zakat uang, karena memang gaji
pada umumnya diterima dalam bentuk uang, karena itu kadar zakatnya adalah sebesar rub’ul
usyri atau 2,5 %.
Contoh qiyas
syabah diatas, adalah sebagaimana hamba sahaya yang diqiyaskan pada dua hal
sekaligus, yaitu pada manusia dan pada hewan piaraan yang dapat diperjual
belikan.[[15]]
2 Wahbah
az-Zuhaily. Al-Fiqh
Islamiyah Al-Wa’adillatuh. Jld 2 (1985) Damaskus:Darul fiqr. Hal:
865-866.
[3]
Didin
Hafidhuddin. Zakat dalam
Perekonomian Modern (2002) Jakarta:Gema Insani Press. Hal : 95
[4] Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqh
Kontemporer (2002). Jakarta: Salemba Diniyah. Hal: 62.
[5]
Wahbah al-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab,
pengantar Jalaluddin Rahmat, (1995) Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal : 275
[6] Loc Cit
[7] Wahbah
az-Zuhaily. Al-Fiqh
Islamiyah Al-Wa’adillatuh. Jld 2 (1985) Damaskus: Darul fiqr. Hal :
756-758
[8] Wahbah
az-Zuhaily. Al-Fiqh
Islamiyah Al-Wa’adillatuh. Jld 2 (1985) Damaskus: Darul fiqr. Hal :
738-740
[9] Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib, Jld 1 (1983)
Kudus: Menara Kudus. Hal 23-24
[10] Loc Cit
[11] Ibid hal 25
[12]
Wahbah az-Zuhaily. Al-Fiqh Islamiyah Al-Wa’adillatuh.Jld II
(1985) Damaskus: Darul fiqr. Hal:732-733
[15] Didin Hafiduddin, Zakat dalam
Perekonomian Modern (2002) Jakarta: Gema Insani. hal.97-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar