Senin, 15 Maret 2010

Islam Bukan agama Materialisme

Kehidupan di dunia ini penuh dengan tipuan, ketika kita hidup di alam fana ini hanya sekedar memperhatikan kebendaan semata , maka kita akan terjatuh ke tempat yang paling rendah . contoh yang paling aktual adalah uni soviet yang menganut ajaran Karl marx / marxisme, para penganut marx ( marxian ) mengenal apa yang disebut “ diameter “ ( dialektika – materialism ). saat ini soviet hancur berantakan, terbagi-bagi menjadi negara-negara kecil, Rusia, Latvia, Lituania, dan sebagainya .dan sekarang Rusia kacau ekonominya,  terhempas barbagai krisis dalam negerinya. ini salah satu bukti manakala kita hidup hanya mementingkan dan memperhatikan material belaka.
Paling tidak pengalaman jatuhnya uni soviet, bisa di jadikan pelajaran bagi umat islam untuk tidak berorientasi pada materi belaka, umat islam harus selalu menyambung hubungan ilahiyyah  Firman Allah dalam surat al-mu’minun “Apakah kalian menyangka bahwa kami menciptakan kalian itu sia-sia dan bahwa tidak akan di kembalikan kepada kami ? Allah Maha Tinggi, Raja sebenarnya, Tiada Tuhan selain Dia, Tuhan yang mempunyai Arsy yang mulia ”.
Kata sia-sia dalam ayat di atas ditafsirkan dengan makna main-main yang berarti tidak sia-sia  segalanya memiliki kemanfaatan, dan ayat itu pula menjelaskan kepada kita bahwa manusia seluruhnya akan kembali kepada Allah Swt.
Berangkat dari itu, manusia dalam kehidupannya melakukan pengajaran yang bila diklasifikasikan menjadi dua . Pertama : Pengajaran yang bertujuan dan bersifat jasadi yaitu : makan, minum  olahraga dan sebagainya yang semuanya berorientasi pada penjagaan dan pemeliharaan tubuh agar tetap sehat . Kedua : pengajaran yang bersifat ruhani yaitu pengajaran yang berorientasi untuk memberikan gizi pada ruhani kita, di antaranya adalah pengajaran agama sejak dini kepada anak-anak kita, bagaimana cara membaca Al-Qur’an, Shalat dan sebagainya.
Jika jalinan ini tercipta dan manusia telah terikat dalam islam, maka amal perbuatannya akan sampai kepada Allah Swt, karena telah terikat dengan Aqidah Islam.
Dengan aqidah islam inilah kemudian manusia akan selamat dari kejatuhan total, karena ia akan terhindar dari pandangan yang materialistis dan seseorang yang berpegang teguh terhadap aqidah islam , maka tidak ada lagi pemisah antara hidup dan mati, dan menjadi menyatu antara islam dan muslim, karena islam dan muslim seperti ikan dan airnya, dan tidak ada lagi pemisah antara mu’amalah dan ibadah, dunia dan akhirat.
Dan dalam dunia ilmu juga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, kebanyakan dari kita saat ini memprioritaskan kepada salah satu fan yaitu ( ilmu umum )ini semua adalah ulah orang-orang sekuler yaitu orang barat yang notabene kristiani yang mensekulerkannya dan sekarang kita di tuduh fundamentalis .
Kita harus tahu bahwa islam adalah agama yang mengutamakan keseimbangan,
Firman Allah : "Dan carilah olehmu apa yang di berikan Allah tentang akhirat, tapi jangan lupa akan bagianmu dari dunia,"
  Ayat ini merupakan metode pertengahan dalam islam, kalau kita aplikasikan dalam sehari-hari, maka dalam islam tidak ada pengertian jasad mengalahkan ruh, keduanya berjalan seimbang, kepentingan jasad dan ruh sama-sama memiliki kedudukan yang serasi, tapi anggapan orang sekarang karena sudah terpengaruh ajaran materialisme, menilai pembangunan ruhani tidak bisa dikatakan sebagai pembangunan  jadi kalau yang terlihat mata itulah yang di sebut pembangunan, ini merupakan kekeliruan besar yang sering kita lakukan. oleh karena itu jelaslah bagi kita bahwa islam bukan agama yang materialistis, tetapi memberi perhatian pada kepentingan dunia ( materi ) dan akhirat ( spritual ) .

“ Pacaran “ Boleh Gak Sih ?

Akhwat IRMAP
Pacaran, sebuah kata yang semakin dapat tempat dalam kenyataan sosial budaya kita dewasa ini. ABG, Anak–anak sekolahan, artis, dan banyak orang muda melakukannya. Koran-koran, majalah, radio dan tayangan–tayangan televisi turut memberi andil pemasyarakatannya lewat publikasi dan sosialisasi soal yang satu ini. Pada salah satu surat kabar misalnya, kita akan temukan rubrik konsultasi psikologi untuk para ABG. Dan tak heran, kalau anak baru gede ini, dengan polos bertanya, “ Bagaimana ini, Mbak... Pacar saya begini, begitu, dan seterusnya. “ Kalau di barat sana, anak-anak muda lebih bebas lagi, mereka bisa bertemu, kenalan, saling jatuh cinta, jalan bareng dan kalau cocok mereka bisa tinggal serumah tanpa repot berpikir kapan mereka harus menikah.

Singkatnya, pacaran sudah menjadi kenyataan sosiologis dimana saja, dibanyak negara. Alasan dan motifnya bisa jadi macam–macam, tetapi yang jelas, satu anggapan yang seragam bahwa pacaran adalah ajang untuk melakukan penjajakan, saling mengerti pribadi masing-masing, dan akhirnya ada juga yang melanjutkannya ke jenjang pernikahan. meskipun tidak sedikit kenyataan buram yang ditimbulkannya. seperti hamil di luar nikah, kawin lari, degradasi moral, dan lain-lain. Pertanyaannya adalah : Bagaimana hukum islam menyikapi kenyataan ini ? Apa jawaban hukum islam terhadap pacaran ? Bagaimana kalau pacaran adalah bentuk perwujudan cinta kasih tulus antara laki-laki dan perempuan ? Bagaimana, kalau pacaran dilakukan secara serius, dengan motivasi untuk melanjutkannya ke jenjang pernikahan ?
Kita mulai dari bagaimana islam memandang persoalan cinta. Cinta menurut islam adalah sesuatu yang agung. ia ( Cinta ) adalah hak preogratif Allah dan suatu anugerah yang di berikan kepada manusia. Cinta adalah di atas kuasa manusia ( Fauqo mustatha’ al-insan ). Cinta yang tulus, biasanya datang tanpa diundang.dan hanya Allah jua yang mampu menghapus dan membaliknya menjadi rasa yang lain. Al-Qur’an dan hadist menunjukkan kebenaran ungkapan ini .. Dan bahkan orang yang mati karena tak kuasa memanggul beban cinta, termasuk orang-orang yang mati syahid demikian penjelasan Ibnul Qoyyim Al-jauziyah dalam kitabnya Raudhatul muhibbin. Al-Qur’an menggambarkan dengan begitu impressif bagaimana cinta Zulaikha kepada Nabi yusuf As .Qod syagofaha hubba, kata Al-qur’an. Imam Al-alusi dalam kitab tafsirnya Ruhul ma’any menafsirkan syagof sebagai rasa cinta yang menghujam ke dalam lubuk hati, sehingga sulit terhapuskan.
Sampai disini sebenarnya tidak ada masalah, No Problem. Orang bebas untuk mencintai siapa saja dan kapan saja. Asalkan yang bersemayam di dalam hatinya adalah cinta suci, jujur yang merupakan anugerah Allah, ia tidak terkena tuntutan hukum apa-apa. Masalah baru muncul manakala rasa cinta ini berpindah dari dunia rasa ke dunia nyata, berpindah dari alam idiil ke alam riil. Dan oleh karena batas antara cinta dan nafsu teramat tipis, seringkali dalam praktik, sulit membedakan apakah yang sedang kita ekspresikan dan kita nyatakan adalah cinta atau nafsu .
Dan sebagai kelanjutannya, seringkali anak-anak muda menjadikan cinta sebagai landasan pengabsahannya untuk naksir terhadap seorang wanita, mengadakan PDKT ( Pendekatan ) mengirim SMS mesra, telpon-telponan lalu chatting dan on line bersama di facebook, jalan bareng dan pulang larut malam kemudian berpacaran dan bahkan ber-indehoi . Yang memprihatinkan, tidak sedikit orang tua yang cuek bebek dengan kenyataan ini, inilah yang dilansir oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-sunnah : 

Lambat laun, banyak orang mengentengkan persoalan ini. Sehingga mereka memperbolehkan puterinya, keluarganya untuk berbaur dengan tunangannya dan berduaan tanpa pengawasan, dan bebas keluyuran kemana saja tanpa arahan, ini yang menyebabkan perempuan kehilangan kemuliaan, rusak akhlaqnya, dan hancur kehormatannya . 

Kritik pedas sayyid sabiq ini di tujukan kepada mereka yang sudah sampai pada taraf tunangan ( khitbah )  Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya pacaran ?

Namun bukan berarti islam tutup pintu ( sadd al- bab ) dalam arti laki-laki ditutup aksesnya sama sekali untuk berhubungan dengan perempuan yang belum dinikahinya. Islam tidak menghendaki tindakan ekstrim dalam bentuk apapun. Maka dalam bukunya, Al-hijab, Abul A’la al-Maududi mengambil jalan tengah dalam penjelasannya soal system social dalam islam. Beliau menengahi dua aliran besar system sosial barat dan timur. Barat di wakili oleh struktur budaya yang liberal. Karena tuntutan alami laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling menarik dan menyatu, orang bebas untuk berhubungan dalam bentuk apapun, bahkan kumpul kebo sekalipun. Timur diwakili oleh budaya para rahib, biksu, yang memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang menjijikan dan kotor. Sehingga mereka menjauhi perempuan, sejauh-jauhnya. Islam memandang bahwa hubungan laki-laki dan perempuan adalah insting alami manusia yang wajar dan normal. Tapi, islam tidak lantas mengumbar kebebasan dalam hubungan itu, ia membuat aturan – aturan .
Lantas bagaimana kalau motifasi melakukan pacaran adalah untuk mengenali si perempuan; kecantikannya, bodinya, kesuburannya, sifatnya, kecerdasannya, dan latar belakangnya. Apakah karena semua ini begitu dibutuhkan sebagai landasan awal membangun rumah tangga yang langgeng, bahagia dan sejahtera membuat pacaran menjadi boleh ? tunggu dulu !! untuk inipun hukum islam memberikan rambu-rambu yang jelas .
Pertama-tama, fiqh memang respek dan memberikan perhatian serius soal usaha laki-laki untuk mengerti calon istrinya dan begitu pun sebaliknya. karena pernikahan adalah ikatan kuat ( mitsaqon ghalidza ) yang akan dijalani dalam waktu lama, bahkan sampai ajal merenggut. Sehingga proses awalnya harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak kecewa dan salah pilih.

Maka ketika sahabat mughirah bin syu’bah menyatakan kepada Rasul Saw bahwa ia telah meminang seorang perempuan, Rasul bertanya, “ anadzarta ilayha “ ( sudahkah kau melihatnya ?)  " La “ ( tidak ) jawab mughirah . Kemudian Rasul bersabda :
“ lihatlah perempuan itu, karena biasanya, (melihat itu ) bisa melanggengkan ( jalinan cinta kasih ) antara kamu berdua “ ( H.R Tirmidzi )

Dalam riwayat jabir disebutkan :

Jika diantara kalian ada yang meminang seorang perempuan, jikalau ia bisa melihat si perempuan yang ia butuhkan untuk menikahinya, maka hendaklah ia lakukan itu ( H.R Abu dawud )

Kalau dengan cara ini laki – laki belum puas atas pengetahuannya tentang perempuan yang di taksirnya , misalnya ia ingin tahu lebih jauh tentang perangai perempuan tersebut, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-sunnah memberikan jalan keluar yang bijak :
Melihat seperti ini, dapat mengungkapkan kecantikan ( si perempuan ), adapun akhlaqnya, dapat diketahui dengan mengerti sifat-sifatnya dan meminta penjelasan terhadap orang yang akrab dengan si perempuan itu , seperti tetangga, atau dengan meminta penjelasan orang yang sangat pantas di percaya penjelasannya, seperti ibu atau saudari perempuan tersebut .

Jika dengan begini, masih saja ada ganjalan di hati. Sehingga ia perlu ngobrol dan pergi bareng dengan perempuan itu untuk penjajakan dan berbagi rasa, masih dipandang boleh oleh fiqh dengan syarat pertemuan tersebut di sertai mahram si perempuan, agar ada yang mengawasi dan mereka berdua tidak terjerumus melakukan hal-hal yang di haramkan, Sebagaimana Syekh Yusuf Qordowi menjelaskan dalam kitabnya Al-Halal wal Haram fil islam :
Selanjutnya mereka berkata bahwa si laki–laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah satu mahramnya – dengan pakaian menurut syara’ – ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengerti kecerdikannya, perasaannya, dan kepribadiannya, semua ini termasuk dalam kata sebagian yang disebut dalam hadist Nabi di atas yang menyatakan : ‘ Kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya “

Sampai disini, Fiqh masih toleran. Ini semua menunjukkan hasrat besar fiqh untuk mewujudkan struktur social yang mantap dan stabil. Sehingga dari unit keluarga yang merupakan komunitas terkecil dari sebuah masyarakat, Fiqh memberi arahan sedemikian rupa agar misi ini terwujud . Apa jadinya kalau pacaran yang sebebas- bebasnya di justifikasi. Bukan kedamaian dan ketentraman yang di dapat, melainkan kekacauan dan kerancuan . Falyata’ammal ya syabab !!

Tulisan ini diangkat sebagai tanggapan dan jawaban atas pertanyaan Sdr Ahmad Fathuddin Cipondoh. dengan ajuan pertanyaan “ Bagaimana Hukum Pacaran menurut Agama dan Apakah Ada Pacaran Islami ? “

Wallahu a'lam bisshawab.

Sabtu, 13 Maret 2010

Perayaan Maulid Nabi Dalam perspektif Syari’ah Perayaan Maulid Nabi Dalam perspektif Syari’ah

Setiap tahunnya sebagian umat islam di belahan dunia tidak pernah absen dari perayaan maulid Nabi Saw.. Bahkan perayaan ini seakan sudah menjadi sebuah adat tersendiri di beberapa daerah atau bahkan negara. Momen hari kelahiran Nabi Saw yang bertepatan dengan tanggal 12 Robiul Awal dipergunakan oleh umat islam untuk semakin meningkatkan kecintaan kepada Nabi Saw . Maulid Nabi memang bukan hari besar ( raya ) Islam jika di tinjau dari perspektif al-Qur’an dan al-Hadist .Sebab hanya Idhul fithri dan Idhul adha sebagai hari raya islam . Oleh karena itu pada zaman nabi tidak pernah di kenal istilah perayaan Maulid nabi .lalu bagaimana pandangan fiqh terhadap hukumnya Maulid ? bila Maulid tidak pernah di rayakan pada zaman Rasul , dapatkah ia kita sebut dengan istilah bid’ah , sebagaimana pendapat orang-orang yang tidak sejalan dengan pemahaman kita.
Kita awali dengan apa yang di sebut bid’ah . Pengertian bid’ah dalam segi bahasa adalah : Setiap hal baru yang di lakukan tanpa contoh sebelumnya. Sedangkan pengertian bid’ah menurut Syara’ adalah : Segala hal baru yang tidak ada keterangan dan ketentuannya dalam al-Qur’an maupun al-Hadist.
Bid’ah menurut Syara’ terbagi kepada dua:
Pertama : Bid’ah hasanah yaitu suatu hal baru yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan al-hadist .
Kedua : Bid’ah sayyiah ( dholalah ) yaitu hal baru yang bertentangan dengan ajaran al-Qur;an dan al-Hadist .
Pembagian bid’ah ini menjadi dua adalah berdasarkan pemahaman terhadap suatu hadist Yang di riwayatkan oleh Jarir bin Abdillah ia berkata : Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ سَنَ فِيْ الإِسْلاَمِ سَنَةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرِ مِنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَئَْ, وَمِنْ سَنَّ سَنَةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهَ وَزِرُهَا وَوِزْرَ مِنْ عَمَلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارُهُمْ شَئٌ ) رواه مسلم و أحمد(.
Artinya:
" Barang siapa memulai hal baru yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melaksanakan hal itu setelahnya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang memulai hal baru yang jelek, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakannya setelahnya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun". (HR: Muslim dan Ahmad).
Sejalan dengan hadist diatas Imam Baihaqi seorang Imam Hadis di jamannya dalam kitab "Manaqib as- Syafi’i", (biografi Imam Syafii) menjelaskan dan meriwayatkan perkataan Imam Syafii –rahimahullah- dengan sanad muttashil dalam menyikapi hal-hal yang baru dalam agama. Imam Syafii berkata:
المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا, أو سنة, أو أثرا, أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من المذكورات, فهذه محدثة غير مذمومة.
Artinya:
" Hal-hal yang baru itu adalah dua macam: pertama; hal baru yang menyalahi kitab, sunnah, atsar dan ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua; hal baru yang termasuk kebaikan dan tidak menyalahi satupun dari yang sudah disebutkan (kitab, sunnah, atsar, dan ijma’), maka ini termasuk hal baru yang tidak tercela".
Imam Ghozali dalam Ihya' Ulumuddin (1/248) menegaskan:"Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid'ah yang sesat adalah bid'ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama. Bid'ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid'ah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid'ah terjadi di semua sendi kehidupan.
Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid'ah terjadi dalam masalah ibadah, mu'amalah (perniagaan) dan bahkan akhlaq. Contohnya seperti adzan dua kali waktu sholat Jum'at, menambah tangga mimbar sebanyak tiga tingkat, membaca al-Quran dengan suara keras atau memutar kaset Qur'an sebelum sholat Jum'at, muadzin membaca sholawat dengan suara keras sebelum adzan, melantunkan azan pada mayyit sebelum di kuburkan , bersalaman setelah sholat, membaca "sayyidina" pada saat tahiyat. Sebagian ulama menganggap itu semua bid'ah karena tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan sebagian lain menganggap itu merupakan inovasi beragama yang diperbolehkan dan baik, dan tidak betentangan dengan ketentuan umum agama Islam.
Maulid Nabi Adalah Bid’ah Hasanah.
Dengan logika yang sederhana kita dapat menyatakan bahwa maulid nabi bukan sesuatu yang termasuk bid’ah dholalah , tapi ia adalah bid’ah yang hasanah . Sebab bagaimana mungkin kita melarang sesorang yang membaca sholawat , berzikir bersama dan mendengar mauizoh hasanah tentang keteladanan nabi Muhammad Saw.
Imam jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Husnul maqsid Fi ‘Amalil maulid menyatakan : Bahwa hukum dasar perayaan maulid nabi yang berupa berkumpulnya orang banyak , membaca al-Qur’an , membaca riwayat tentang awal perjalanan hidup nabi dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran beliau , kemudian di hidangkan makanan untuk mereka adalah termasuk bid’ah hasanah dan di berikan pahala bagi orang yang melakukannya , karena dalam acara itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw serta menunjukkan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.
Dan beliaupun menambahkan : Kegiatan perayaan maulid nabi Saw tidak bertentangan dengan al-Qur’an , sunnah , atsar maupun ijma ulama . Maka ini bukan sesuatu yang tercela .
Kesimpulan Hukum
Dari penjelasan singkat di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa perayaan maulid Nabi Saw adalah bid’ah hasanah (baik dan inovativ). Hal ini dengan beberapa alasan sebagaimana berikut:
1. Tidak ada larangan secara jelas dari Al Quran dan Sunnah mengenai hal itu.
2. Rasulullah juga merayakan kelahirannya sendiri setiap hari senin dengan cara berpuasa.
3. Tidak ada hal yang terlarang dalam agenda acara perayaan maulid Nabi. Karena justru isinya adalah hal-hal yang masyru’ seperti, baca al Quran, baca sirah Nabi, ceramah agama, Ith’amut Tho’am (memberi makan), dan saling ramah-tamah.
4. Maulid Nabi tetap bisa dikatakan mempunyai landasan syariat, paling tidak maslahah mursalah.
5. Rasul mempunyai tradisi untuk mengenang dan memperingati hari besar Nabi terdahulu, sebagaimana yang terjadi pada puasa ‘Asyura’.
6. Dalam perayaan maulid juga terdapat sebuah Syi’ar Islam.
Adapun perayaan maulid Nabi yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang oleh agama semisal; mengadakan maulid Nabi dengan mengundang dangdut, orkestra, band, barongsay, doa bersama antar agama dan lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan, bahkan bisa kita katakan bid’ah yang sesat. Wallahu a’lam


Mutiara hadist
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : لايؤمن أحدكم حتي أكون أحب إليه من نفسه وماله وولده ووالده والناس أجمعين . ( رواه مسلم )
Rasulullah Saw bersabda : Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kamu , sehingga aku lebih di cintai daripada dirinya , hartanya , anak-anaknya , orangtuanya dan seluruh manusia. ( H.R Muslim )
Do’a Rasul

اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن وأعوذ بك من العجز والكسل وأعوذبك من الجبن والبخل وأعوذبك من غلبة الدين وقهر الرجال
Artinya: Ya Allah! Aku berlindung kepada Engkau daripada duka dan susah dan berselindung daripada lemah dan malas dan berlindung daripada takut dan bakhil dan berlindung daripada banyak hutang dan penindasan orang.

Sejarah Dan Tradisi Peringatan Maulid Nabi

Tim Hadroh IRMAP bersama Habib Husain Al-A'thos
Setiap rabi’ul awwal datang menyapa, masyarakat muslim Indonesia mulai sibuk menyusun acara untuk mengenang kelahiran Nabi Agung Muhammad Saw yang kerap di sebut Maulid Nabi, bahkan perayaan maulid Nabi ini seakan sudah menjadi sebuah adat dan budaya tersendiri pada masyarakat muslim Indonesia.
Lalu bagaimana sejarah awal mula perayaan maulid Nabi ini ? dan apa motivasi yang melatarbelakanginya ?
Ada beragam versi terkait sejarah tradisi perayaan Maulid Nabi Saw. Ada yang menyebutkan, peringatan Maulid Nabi Saw pertama kali di gelar dan di perkenalkan oleh Abu sa’id al-Qaukabry, seorang gubernur Irbil di negara irak. Syekh Abu bakar bin Muhammad syato’ ad-Dimyati dalam kitabnya I’anat ath-Thalibin menjelaskan : bahwa Imam ibnul jauzy dalam kitabnya Mir’atuz zaman menceritakan tentang peringatan maulid yang di adakan raja Mudhaffar abu sa’id al-Qaukabry, seorang gubernur irbil. diceritakan dalam upacara peringatan itu di sembelih sebanyak 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 roti mentega dan 30.000 piring yang berisi kue-kue. Hadir pada upacara itu, pemuka-pemuka  alim ulama , ahli tasawwuf dan orang-orang besar lainnya, biaya seluruhnya mencapai 300.000 dinar, dan mulai saat itu hingga kini umat islam serentak memperingati maulid nabi Muhammad Saw .
Ada pula yang berpendapat bahwa ide itu justru berasal dari sultan shalahuddin al-Ayyubi , the great warrior the crusade ( panglima besar perang salib ), tujuannya untuk membangkitkan kecintan ummat kepada nabi Muhammad Saw, serta meningkatkan semangat juang kaum muslim. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa  Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan . Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual saja.
Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi , seorang pemimpin yang pandai mengenal hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub –katakanlah- dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW ( 12 Rabi’ul Awal ) yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera men-sosialisasi-kan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji bin husin bin Abdul karim , Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di seluruh pelosok negeri ini {termasuk masyarakat poris } pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya ( al-Barjanzi ) .
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan masyarakat muslim Indonesia termasuk warga masyarakat Poris. Maka setiap masuk bulan Rabi’ul awwal masyarakat kita tidak pernah lupa untuk mengadakan acara maulid Nabi, Acara yang disuguhkan dalam peringatan maulid Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany, ada yang menyelenggarakan acara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, dimana masyarakat secara serentak mengirimkan hidangan dalam bentuk bongsang atau besek ( box makanan khas warga poris ) lalu di sedekahkan kepada para jama’ah yang menghadiri maulid , bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri ratusan sampai ribuan umat Islam dengan memanggil mubaligh-mubaligh kondang.
Dalam rangkaian acara itu, baik yang besar atau yang sederhana  ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan kitab al-barjanzi, lidah orang kita menyebutnya ( baca rawi ) atau kitab-kitab sejenis, semisal Simth ad-Durar, ad-Diba’iy, Syaraful anam atau al-Burdah.
Pada perkembangan berikutny, pembacaan barjanzi ( baca rawi ) di lakukan dalam berbagai kesempatan semisal saat acara kelahiran bay, mencukur rambut bayi, pemberian nama ( tasmiyah ), dan aqiqah  khitanan, pernikahan serta walimatus safar dll. - kita sering menyebutnya dengan istilah malam rasul - Sebagai tafa’ulan ( pengharapan mencapai sesuatu yang lebih baik ) dan tabarrukan ( mengharap keberkahan ) dengan banyaknya lantunan shalawat yang termaktub dalam kitab tersebut. maka jangan heran bila banyak orang tua dalam masyarakat kita yang hafal bait-bait dalam kitab barjanzi, karena begitu seringnya mereka mendengar bait-bait itu di berbagai event acara di atas .
Dalam Kitab Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
Akhirnya kita berharap semoga kita semua selalu menjadi ummat yang mencintai dan dicintai Allah dan rasul-Nya.
Wallahu a'lam
Penulis : H. Khoirul Anwar S.Si.